Selasa, 30 April 2013

Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta



Manfaat Museum Dan Hakekat Sejarah Bila Dikaitkan Dengan Kunjungan Ke Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta

Museum, berdasarkan definisi yang diberikan International Council of Museums disingkat ICOM, adalah institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan publik, dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan oleh arena itu bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis. Hakekat museum yaitu sebagai media edukasi, gudang ilmu dan tempat pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
Museum Kareta Kraton Ngayogyakarta terletak tidak jauh dari Kraton Yogyakarta itu sendiri. Museum ini menyimpan berbagai koleksi kereta-kereta yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta. Bila kita berkunjung kesana, ada baiknya jika didampingi oleh pemandu ketika memasuki museum kereta tersebut, karena kalau tidak belum tentu kita  akan mengerti cerita dan latar belakang sejarah tiap-tiap kereta yang pastinya tidak sama. Biaya masuk untuk mengunjungi Museum Kareta Karaton Nyogyakarta ini adalah sebesar 3000 rupiah per orang dan 1000 rupiah untuk ID foto (bagi yang membawa kamera). Jam buka museum sendiri mulai pukul 08.30 sampai dengan pukul 16.00 WIB.
Umumnya semua kereta dibeli pada jaman Sri Sultan HB VIII yang dianggap sebagai Sultan pembaharu. Beliau jugalah yang melakukan renovasi Kraton, membeli banyak kereta dan dianggap Sultan yang kaya karena pada jamannya tidak terjadi peperangan (peperangan banyak terjadi pada masa Sri Sultan HB VII).
Berdasarkan penjelasan guide yang bernama Bapak Kardi, kita dapat mengetahui sejarah-sejarah kereta yang terdapat disana seperti berikut :
1.      Kareta Kyai Jongwiyat.
Kereta ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1880. Kereta Kyai Jongwiyat ini merupakan salah satu kereta peninggalan Sri Sultan HB VII. Kereta ini ditarik enam ekor kuda dan digunakan oleh manggala yudha atau panglima perang. Tetapi pada tanggal 18 Oktober 2011 kereta ini digunakan untuk upacara pernikahan anak bungsu Sultan, sebelumnya pada tahun 2002 juga digunakan untuk pernikahan anak pertama. Sekarang kereta ini digunakan untuk acara pernikahan dan usianya sekarang 133 tahun
2.      Kareta Kyai Jolodoro.
Kareta ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1815 dan merupakan peninggalan Sri Sultan HB IV. Ditarik dua ekor kuda. Kareta ini digunakan oleh manggala yudha atau panglima perang untuk mengontrol pasukan barisannya. Usia kareta ini 198 tahun.
3.      Kareta Roto Biru.
Kareta ini buatan Belanda pada tahun 1901. Peninggalan HB  VIII. Kereta ini dinamakan roto biru karena sesuai dengan warna dan sudah mengalami renovasi. Kareta ini ditarik oleh enam ekor kuda. Dahulu kareta ini digunakan oleh manggala yudha atau panglima perang. Dua tahun yang lalu kareta ini digunakan untuk pengiring-pengiring pengantin yang semuanya menggunakan baju berwarna biru yang disesuaikan dengan warna kareta.
4.      Kyai Rejo Pawoko.
Kareta ini dibuat pada tahun 1901 dan merupaka buatan Belanda. Kareta ini adalah peninggalan Sultan HB VIII dan ditarik oleh empat ekor kuda. Kareta ini digunakan oleh keluarga-keluarga sultan, pada waktu pernikahan dua tahun lalu dinaiki oleh adik-adik sultan. Kareta ini sudah mengalami renovasi.
5.      Kareta Landower.
Kareta ini dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1901, buatan Belanda. Dahulu sempat dipamerkan di Hotel Ambarukmo. Ditarik oleh 4 ekor kuda.
6.      Kareta Premili.
Kareta ini dirakit di Semarang pada tahun 1925 dengan spare-part yang didatangkan dari Belanda. Digunakan untuk menjemput penari-penari Kraton. Ditarik oleh 4 ekor kuda.
7.      Kareta Kus Sepuluh.
Buatan Belanda pada tahun 1901 pada masa Sri Sultan HB VIII. Aslinya adalah kareta Landower dan bisa dipergunakan untuk pengantin. Walaupun bisa dipergunakan sebagai kareta pengantin namun pada acara pernikahan putri Sri Sultan HB X yang baru saja kareta ini tidak dipakai oleh mempelai.
8.      Kareta Kapulitin.
Kereta ini maerupakan kereta buatan dalam negeri yaitu Yogyakarta pada tahun 1921. Merupakan kareta untuk pacuan kuda. Peninggalan Sultan HB VIII, ditarik oleh 1 ekor kuda saja . Kereta ini digunakan untuk berburu..
9.      Kareta Kyai Kutha Kaharjo.
Kereta ini buatan Berlin, Jerman pada tahun 1927 danditarik oleh empat ekor  kuda. Kereta ini adalah peninggalan Sultan HB VIII dan digunakan sebagai kendaraan istri Raja dan untuk mengiringi acara-acara yang diselenggarakan oleh Kraton.
10.  Kareta Kus Gading.
Dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII. Buatan Belanda pada tahun 1901. Ditarik oleh 4 ekor kuda.
11.  Kareta Kyai Puspoko Manik
Kareta buatan Belanda pada tahun 1901 yang dipergunakan sebagai pengiring acara-acara Kraton termasuk untuk pengiring pengantin. Ditarik oleh 4 ekor kuda. Kereta ini adalah peninggalan Sultan HB VIII. Tahun 2011 kemarin digunakan untuk prosesi tukar cincin.
12.  Kareta Roto Praloyo.
Merupakan kareta jenazah yang dibuat pada tahun 1938. Kereta Roto Praloyo (roto = kereta, praloyo = meninggal). Kareta inilah yang membawa jenazah Sultan dari Kraton menuju Imogiri. Ditarik oleh 8 ekor kuda. Kereta ini asli buatan Yogyakarta. Kereta Roto Praloyo ini sudah dua kali digunakan yaitu ketika meninggalnya Sultan HB VIII dan Sultan HB IX.
13.  Kareta Kyai Jetayu.
Kereta ini merupakan peninggalan Sultan HB VIII. Buatan Yogyakarta pada tahun 1931. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda dan digunakan oleh putri raja untuk menonton pacuan kuda.
14.  Kareta Kyai Harsunaba.
Kereta ini adalah buatan Belanda dan dibuat pada tahun 1870. Kereta ini peninggalan Sultan HB VI dan digunakan oleh pangeran (putra raja dari selir), tidak berhak menggantikan raja maka simbol mahkota pada kereta kecil. Ditarik oleh 4 ekor kuda.
15.  Kareta Kyai Wimono Putro.
Dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VI tahun 1860.  Dipergunakan pada saat upacara pengangkatan putra mahkota. Kondisinya masih asli (warna kayu). Ditarik oleh 6 ekor kuda.
16.  Kareta Kyai Manik Retno.
Kereta ini adalah buatan Belanda pada tahun 1815. Kereta ini digunakaan untuk pesiar atau untuk jalan-jalan Sultan dan permaisuri. Kereta ini sudah mengalami renovasi yaitu pada bagian jok dan atapnya.
17.  Kareta Kanjeng Nyai Jimad.
Merupakan kereta paling tua dan masih dikarematkan. Kereta ini buatan Belanda pada tahun 1750. Usia kereta ini sudah mencapai 263 tahun, dan pernah digunakan oleh Sultan HB I sampai Sultan HB V untuk pelantikan atau penobatan raja. Kereta ini ditarik oleh delapan ekor kuda warna putih. Setiap 1 tahun sekali di bulan muharam atau suro, kereta ini dimandikan dan airnya banyak diperebutkan oleh masyarakat setempat untuk dicari berkahnya
18.  Kareta Mondro Juwolo.
Kereta ini adalah buatan Inggris, pada tahun 1800. Kereta ini peninggalan Sultan HB III, ayah dari Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1825-1830 digunakan untuk perang melawan Belanda yang ditarik oleh enam ekor kuda. Kereta ini merupakan kereta anti peluru dan anti bom, apabila di naiki oleh Pangeran Dionegoro. Cat-nya diperbarui pada saat diadakannya Festival Kraton Nusantara. Fungsinya adalah sebagai alat transportasi.
19.  Kareta Garudo Yeksa..
Kereta ini disebut Kereta Kencana. Dihiasi dengan emas 18 karat dan dibuat oleh Belanda pada tahun 1861. Kereta ini adalah peninggalan dari Sultan HB VI. Kereta Garuda Yeksa ditarik oleh delapan ekor kuda warna putih dan digunakan untuk pelantikan raja mulai dari Sultan HB VI sampai sekarang. Kereta ini sakral karena saat menaiki kereta ini raja tidak boleh didampingi oleh istri.
20.  Kareta Landower Wisman.
Dibeli dari Belanda pada tahun 1901 pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII dan direnovasi pada tahun 2003, Dipergunakan sebagai sarana transportasi pada saat melakukan penyuluhan pertanian. Ditarik oleh 4 ekor kuda.
21.  Kareta Landower Surabaya.
Kereta ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1901. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda dan sudah mengalami renovasi. Kareta ini buatan Swiss dan dipergunakan sebagai sarana transportasi penyuluhan pertanian di Surabaya.
22.  Kareta Landower.
Kereta ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1901. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kuda dan sudah mengalami renovasi. Digunakan sesuai dengan namanya yaitu untuk antar jemput tamu mancanegara.
23.  Kyai Noto Puro.
Kareta ini buatan Belanda pada tahun 1870, pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII yang aslinya dipergunakan untuk manggala yudha atau dalam peperangan. Bentuk fisiknya sudah mengalami renovasi. Ditarik oleh 4 ekor kuda.
Selain koleksi kareta, kita juga bisa melihat replika pelana yang dipergunakan oleh Sultan, yaitu  Pelana Kyai Cekatha. Pelana Sultan yang asli mengandung emas dan butiran berlian. Beberapa pelana terbuat dari kulit macan. Ada juga koleksi pakaian dan aksesori pengendali kuda.
Sebagai sebuah museum, Museum Kereta Keraton Ngayogyakarta tentunya memiliki manfaat seperti museum pada umumnya.:
1.      Manfaat Edukatif:
Pendidikan telah menjadi alasan utama hadirnya sebuah museum ditengah-tengah masyarakat. Dimana museum dijadikan sebagai media pendidikan dengan metode pembelajaran dan kurikulum yang berbasis edukasi yang mendidik dan menghibur. Museum memiliki peran dan tanggung jawab sebagai media untuk menyampaikan pesan tersembunyi dibalik sebuah obyek (koleksi museum) melalui teks dan informasi lainya seperti dari guide. Pengalaman dan melihat objek secara langsung menjadi kelebihan tersendiri dan menjadi hal yang menarik yang dapat kita temukan di museum. Dengan mengunjungi Museum maka akan mendapatkan pengetahuannya terutama yang berkenaan dengan benda-benda yang dikoleksi oleh Museum tersebut. Manfaat yang dapat dirasakan saat kita mengunjungi Museum Kareta Karaton Yogyakarta, kita bisa mendapatkan informasi dan wawasan mengenai sejarah kareta-kareta keraton di Yogyakarta secara lebih rinci. Hal tersebut dapat menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas untuk membuktikan fakta dan teori yang terdapat dalam buku.
2.      Manfaat inovatif:
Dengan mengunjungi Museum kita diharapkan mampu menghasilkan ide baru sehingga dapat menghasilkan karya baru yang bermanfaat. Misalnya setelah mengunjungi Museum Kareta Karaton Nagyoyakarta dapat di jadikan sumber inspirasi bagi model-model transportasi darat masa kini dan penggantian tenaga kuda sebagai penarik kereta pada zaman dahulu dapat digantikan dengan tenaga mesin mengikuti perkembangan zaman saat ini.
3.      Manfaat Imajinatif:
Dengan mengunjungi museum maka seseorang dapat berimajinasi membayangkan sesuatu yang berasal dari koleksi museum itu dan dapat mengembangkan imajinasinya. Manfaat Imaginatif yang didapat setelah mengunjungi museum kereta adalah kita bisa membayangkan bagaimana keadaan masa lalu. Bahwa pada masa lalu raja-raja Mataram menggunakan kereta–kereta tersebut untuk berbagai aktivitasnya. Masing-masing kereta mempunyai fungsi dan kegunaan yang berbeda. Seperti kereta yang digunkan oleh pangeran Diponegoro saat berperang melawan Belanda, kita bisa membayangkan seolah-olah kita bisa menyaksikan sendiri perang tersebut.
4.      Manfaat Rekreatif:
Dengan mengunjungi museum maka seseorang dapat rileks, bersantai dan melepaskan beban kegiatan sehari-harinya. Dengan mengunjungi Museum kita bisa belajar sambil berekreasi. Dan dengan kegiatan berfoto-foto bersama kareta-kareta tersebut. Kita bisa merasa senang dan rileks.
Museum sebagai tempat penyimpanan dari benda-benda bersejarah pasti meliliki hubungan dengan hakekat sejarah itu sendiri. Hakekat sejarah bila dikaitkan dengan Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta :
a.      Sejarah sebagai peristiwa, maksudnya sejarah itu hanya sekali terjadi atau sering dikenal dengan einmalig.  Semua koleksi yang ada di Museum umumnya peninggalan dari peristiwa-peristiwa sejarah. Apa yang terjadi pada masa lalu merupakan fakta sejarah atau kenyataan sejarah dan menjadi peristiwa sejarah. Misalnya cerita mengenai  Kareta Mondro Juwolo yang merupakan Kareta peninggalan Sultan HB III, ayah Pangeran Diponegoro yang dipakai oleh Pangeran Diponegoro pada waktu perang untuk melawan Belanda pada tahun 1825-1830. Peristiwa perangnya Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda tersebut tidak akan terulang kembali.
b.      Sejarah sebagai Kisah, maksudnya sejarah bisa berulang kembali namun pasti ada sesuatu yang berbeda. Misalnya Terdapat didalam cerita mengenai kegunaan Kareta Roto Praloyo sebagai Kareta Jenazah yang digunakan untuk membawa jenazah Sultan HB IX ke Makam Raja-raja di Imogiri. Kemungkinan kejadian ini bisa terulang kembali ketika ada orang kerajaan atau keluarga Sultan yang meninggal. Selain itu ada juga Kareta Garudo Yekso atau Kareta Kencono Emas yang ditarik oleh delapan ekor kuda warna putih yang digunakan untuk pelantikan raja dari Sri Sultan HB VI sampai sekarang . 

pokok-pokok gerilya - Hotoriografi pada masa revolusi


Hotoriografi pada masa revolusi di Indonesia diwarnai dengan tulisan-tulisan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa Nasionalisme masyarakat Indonesia. Salah satunya yaitu buku Pokok-Pokok Gerilya Dan Pertahanan Rebuplik Indonesia Di Masa Lalu Dan Yang Akan Datang, karangan A.H. Nasution. Pokok-pokok Gerilya menjelaskan tentang sejarah militer di Indonesia.
Setelah membaca buku Pokok-pokok Gerilya, Kita bisa membagi inti dari buku tersebut dalam 3 bagian, yaitu pada bagian awal penulis menjelaskan tentang pengertian perang gerilya dan bagaimana perang gerilya seharusnya dilaksanakan, serta  strategi dan taktik perang gerilya juga dijelaskan secara rinci. Menurut penulis, peperang dewasa ini merupakan perang rakyat semesta dimana perang tersebut melibatkan sektor militer, politik, psikologis, dan social-ekonomi. (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 1-76)
Bagian kedua, yaitu Gerilya dan Perang Kita yang Akan Datang. Pada bagian kedua, penulis menceritakan tentang bagaimana perang anti gerilya  dilaksanakan. Selain itu juga mengenai pimpinan dan pembangunan gerilya yang harus regional (Sifat “wehrkreise”). (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 77-112)
Bagian ketiga, yaitu Instruksi-instruksi Gerilya yang Terpenting 1948-1949. Pada bagian ini, menjelaskan mengenai instruksi-instruksi penting pelaksanaan perang gerilya pada tahun 1948-1949. Contohnya yaitu instruksi-instruksi pokok mengenai pemerintahan gerilya dan pertahanan rakyat di Jawa. (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 119-271)
Berdasarkan buku Pokok-pokok Gerilya tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri historiografi revolusi Indonesia yaitu:
1.      Sudut pandang penuliasannya Indonesia sentries
Sudut pandang dalam penulisan pokok-pokok gerilya ini menggunakan sudut pandang dari orang Indonesia. Hal tersebut terlihat dari rakyat Indonesia yang dijadikan sebagai subyek penulisan atau kajiannya, penulisan sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan Negara Indonesia. Penyebutan kata “tanah air” sebagai kata ganti “Indonesia” juga sering dijumpai dalam buku itu. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“ Berhubung keadaan geografis tanah air, yang luas dan terpisah-pisah, maka tentara kita yang sederhana dalam 10 á 15 tahun yang akan datang, harus melakukan pertahanan yang regional. Maka pembangunan tentara pun dirancang sesuai dengan itu secara regional, meneruskan yang telah ada. Tiap-tiap darah, pada hakekatnya tiap suku bangsa, akan mempunyai resimennya untuk menghasilkan fanteri yang diperlukan buat tentara regular sederhana itu.” (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 102)

2.      Perhatian berpusat pada Militer dan politik.
Keseluruhan buku ini membahas tentang perang gerilya. Pada tahun 1953 semangat revolusi kemerdekaan masih terasa sangat kuat. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“ Ideology, semangat kemerdekaan, menjadi sumber kekuatan dan kesanggupan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya. Kesanggupan untuk menyalakan peperangan rakyat semesta…”(Pokok-pokok Gerilya, 2010: 15)

3.      Perhatian berpusat pada tokoh atau bisa disebut berkisar pada kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan.
Perhatian penulisan historiografi revolusi kebanyakan berpusat pada tokoh-tokoh nasional Indonesia. Dalam buku ini sedikit banyak dipengaruhi oleh tokoh seperti Jendral Sudirman dan Pangeran Diponegoro, sering pula tokoh-tokoh tersebut dijadikan sebagai inspirator. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“Jenderal Sudirman pernah mengisahkan bahwa waktu panglima Diponegoro diburu oleh Belanda, maka beliau lewat di depan sebuah pondok. Seorang perempuan segera menyapu bekas kudanya dan waktu musuh datang, tiada dapat diikuti lagi jejaknya dan tiada seorang pun yang “mengetahui”. (Pokok-pokok Gerilya, 2010:25)
Hal tersebut bisa membwerikan inspirasi atau pandangan bahwa kerjasama antara rakyat dan para gerilyawan sangat kompak untuk melaksanakan perang rakyat semesta.

4.      Penulisannya sudah menggunakan sumber yang otentik
Berbeda dengan historiografi tradisional yang sulit dibuktikan kebenarannya, penulisan historiografi revolusi ini sudah menggunakan fakta-fakta yang nyata serta didukung oleh penulisnya sendiri yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya lampiran-lampiran yang disertakan oleh A.H. Nasution dalam buku Pokok-Pokok Gerilnya ini.
5.      Tulisannya bertujuan untuk menunjukkan bahwa sejarah bisa digunakan untuk mengatasi masalah dimasa yang akan datang.
Seperti pendapat Edwar Gibbon, “Sejarah bertanggung jawab kepada masa lalu untuk masa depan”. Sejarah bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengatasi masalah dimasa yang akan datang. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai bagaimana proses antisipasi untuk melakukan perang seandainya Indonesia dihadapkan pada kondisi perang. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
... dan konsepsi perang gerilya dalam arti perang rakyat semesta yang juga tetap dipedomankan buat masa-masa yang akan datang, membawa corak yang tertentu pula bagi ketentaraan kita dimasa yang akan datang, sesuai dengan kodrat dari pertahanan yang sedemikian, yakni selaku perang ideologi rakyat”. (Pokok-pokok Gerilya, 2010:106)
Selain itu juga sudah dijelaskan oleh A.H. Nasution dalam kata pengantar bahwa prinsip perang gerilya tidak berubah, hanya coraknya yang berubah. Jadi pemikirannya tentang perang gerilya yang sudah dituangkan dalam buku Pokok-Pokok Gerilya ini masih tetap relevan.

prasejarah indonesia


Pleistoceen Bawah
            Lapisan ini terdiri atas batu pasir tufa (tufzands teen) dan tanah liat yang biru kehitam-hitaman. Dalam lapisan ini banyak ditemukan tulang-tulang dan geraham-geraham yang telah berupa fosil. Dalam periode ini terdapat fauna yang disebut “fauna Djetis” dan telah mengenal gajah, kerbau, sapi, rusa, menjangan, dan kuda air. Manusia yang hidup pada masa ini adalah pithecanthropus mojokertensis atau sering di sebut pithecanthropus Robustus dan Meganthropus peleojavanicus. Pada lapisan ini tempat penemuan yang paling kaya akan manusia dan binatang yang telah berupa fosil adalah “dome” Sangiran.

a.      Meganthropus palaeojavanicus (Raksasa Jawa)
Paling primitif dan tertua di jawa (Indonesia)

Ciri-ciri manusia ini adalah :
§  Memiliki tulang pipi yang tebal
§  Memiliki otot kunyah yang kuat
§  Memiliki tonjolan kening yang mencolok
§  Memiliki tonjolan belakang yang tajam
§  Mempunyai tempat perlekatan otot tengkuk yang besar dan kuat
§  Tidak memiliki dagu
§  Memiliki perawakan yang tegap
§  Memakan jenis tumbuhan

b.       Pithecanthropus Mojokertensis atau Robustus
Makhluk ini mungkin pelopor dari manusia-kera berdiri tegak di jawa (Trinil)

ciri-ciri manusia ini:
·         Tubuh lebih kuat dan lebih besar dari pithecanthropus erectus
·         Tingginya 165-180
·         Volume otak 750-1000cc
·         Bentuk tubuh dan anggota badan tegap
·         Bagian belakang kepala menonjol
·         Bentuk tonjolan kening tebal
·         Tulang rahang dan geraham kuat

Pleistoceen Tengah
Fase Awal lapisan ini bersamaan dengan zaman es (Himalaya). Permukaan laut telah turun sampai kira-kira 125 meter. Pulau- pulau besar (Jawa, Kalimantan, dan Sumatra) telah dihubungkan kembali, serta dihubungkan pula dengan benua Asia karena Laut Jawa telah kering.
Terjadi pula migrasi binatang menyusui pemakan tumbuhan dan binatang buas. Fauna Trinil pada periode ini kadang disebut juga Fauna Sino- Melayu, karena terdapat jenis-jenis yang dapat ditemui di Tiongkok tapi tidak dijumpai di India. Fauna ini seperti beruang malayu, tapir, badak, rusa dan gajah seperti elephans namadicus, hippokotamus dan stegedon.
Pithecanthropus erectus
Ciri-Ciri manusia ini adalah :
a.        Tinggi badan sekitar 165 – 180 cm
b.       Volume otak kira-kira 900cc
c.        Bentuk tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap megantropus
d.       Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat
e.        Bentuk hidung tebal
f.        Bentuk tonjolan kening tebal melintang di dahi dari sisi ke sisi
g.       Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat
h.       Muka menonjol ke depan
Pleistoceen Atas
            Permulaan  Pleistocene  Atas  bersamaan  waktunya  dengan  zaman glasial ketiga. Pada permulaan pleistosen atas mulailah terjadi suatu sistem sungai yang baru. Dan untuk kesekian kalinya Jawa dihubungkan kembali dengan Tanah Daratan (Asia). Pithecanthropus dan binatang menyusui tidak dapat mempertahankan hidupnya lebih lama. Fauna Ngandong pada periode ini adalah sama dengan fauna Trinil, tapi lebih berkurang jenisnya.tidak terdapat kijang lagi, hanya terdapat Stegedon yang sudah mencapai bentuk khusus. Fase terakhir dari pleistocen atas dapat dikorelasikan dengan zaman interglacial yang ketiga. Bekerja lagi gunung-gunung berapi yang telah menyebabkan banyak binatang terseret lahar dan lumpur dan di endapkan pada tepi-tepi sungai yang tertutup rapat(tidak terkena udara) dalam bubur lumpur dan lama- lama beku menjadi batu. Terjadi pula pengendapan palung-palung Notopuro. Pada kedua pembentukan tersebut telah ditemukan “flakes” dari palaeolitikum muda dan yang sejak saat itu terkenal dengan nama industri Sangiran (Sangiran Flake Industry). Manusia pendukungnya adalah Homo sapiens dan Homo soloensis (wajakensis).
a.      Homo Sapiens
Ciri-ciri manusia ini adalah :
a)      Volume otak antara 1000-1200cc
b)      Tinggi badan antara 130-210cm
c)      Otot tengkuk mengalami penyusutan
d)     Muka tidak menonjol kedepan
e)      Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna

b.      Homo soloensis atau wajakensis
Ciri-ciri manusia ini hampir sama dengan homo sapiens hanya saja isi tengkorak lebih besar