Jumat, 14 Agustus 2015

Kebijakan Ekonomi Presiden B.J Habibie tahun 1998-1999


KEBIJAKAN EKONOMI PRESIDEN B.J. HABIBIE 1998-1999

Oleh:
Devi Ciptyasari dan Dr. Aman, M.Pd

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden Republik Indonesia, (2) menganalisis kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie tahun 1998-1999, dan (3) menganalisis dampak kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie bagi Indonesia.
Metode penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis yang terdiri dari lima tahap penelitian menurut Kuntowijoyo. Tahapan tersebut adalah (1) pemilihan topik, (2) heuristik, (3) verifikasi atau kritik sumber, (4) interpretasi, dan (5) historiografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Presiden B.J. Habibie diangkat sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri. Presiden B.J. Habibie kemudian membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan, (2) Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie terlihat dari usaha menaikkan tingkat suku bunga Serifikat Bank Indonesia (SBI), mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat, menaikkan nilai tukar rupiah, restrukturisasi perbankan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pembentukan Bank Indonesia yang independen, penyelesaian utang luar negeri, mengesahkan Undang-Undang anti monopoli dan persaingan tidak sehat, mengesahkan Undang-Undang perlindungan konsumen, memperketat pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), serta kerjasama internasional, dan (3) Tingkat keberhasilan kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie belumlah berhasil dengan maksimal, hal ini terlihat dari masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi. Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Presiden B.J. Habibie juga membawa dampak bagi kehidupan masyarakat baik itu dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik.

Kata Kunci: Kebijakan Ekonomi, Presiden B.J. Habibie, Tahun 1998-1999.

I.         PENDAHULUAN
Pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto berjalan selama 32 tahun, selama jangka waktu tersebut banyak kemajuan yang terjadi di Indonesia seperti dalam hal pembangunan ekonomi dan kestabilan politik. Akan tetapi, memasuki tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merajalela sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Krisis ekonomi kemudian menjalar menjadi krisis multidimensional. Dampak dari ketidakmampuan rezim Soeharto dalam menangani krisis ekonomi tersebut menyebabkan rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat.[1] Terjadinya ketimpangan sosial yang mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi disegala bidang secara total. Akibat tekanan yang sangat besar dari masyarakat Indonesia, maka pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden.[2]
Berlandaskan pasal 8 UUD 1945,[3] Presiden Soeharto segera menunjuk Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie untuk disumpah sebagai penggantinya dihadapan Mahkamah Agung, karena DPR tidak dapat berfungsi dan gedungnya pada saat itu diambil alih oleh mahasiswa. Presiden B.J. Habibie harus mampu membenahi kondisi Indonesia saat itu, di mana hampir semua aspek kehidupan sangat memerlukan adanya reformasi total. Banyak kebijakan yang kemudian diambil oleh Presiden B.J. Habibie, salah satunya dalam bidang sosial dan ekonomi. Perekonomian Indonesia saat itu sudah diambang kebangkrutan, produksi macet, tingkat suku bunga tinggi, perbankan dan lembaga keuangan lainnya bermasalah serta cadangan devisa menipis.[4] Kebijakan yang diambil bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi dan melanjutkan reformasi ekonomi Indonesia. Upaya yang diambil oleh B.J. Habibie untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, yaitu menghentikan kenaikan harga-harga, memulihkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok, melaksanakan program Jaring pengaman sosial, mengembangkan ekonomi rakyat, merekapitulasi perbankan, melikuidasi beberapa bank bermasalah dan menaikan nilai tukar rupiah.
Walaupun berdasarkan konstitusi Republik Indonesia, B.J. Habibie sebagai wakil Presiden layak melanjutkan kekuasaan Soeharto, tetapi karena B.J. Habibie sendiri merupakan bagian dari lingkaran kekuasaan Soeharto, maka peralihan kekuasaan kepada Presiden B.J. Habibie tetap tidak dikehendaki oleh kelompok prodemokrasi.[5] Dampak dari kejengkelan terhadap pemerintahan Presiden B.J. Habibie melahirkan tuntutan agar Presiden B.J. Habibie segera mengagendakan pemilu dan membentuk pemerintahan sementara. Presiden B.J. Habibie sendiri dengan segala keyakinannya, segera mengagendakan pemilu untuk mengakhiri ketidakpastian politik.
Pemilu pertama pasca Soeharto berlangsung pada 7 Juni 1999 dan diikuti oleh 48 partai politik.[6] Hasil pemilu tersebut membentuk komposisi anggota parlemen yang berimbang dari berbagai kekuatan politik yang ada dan menutup kesempatan B.J. Habibie menjadi Presiden, karena B.J. Habibie gagal dalam sesi laporan pertanggungjawaban dalam sidang parlemen.[7] Parlemen menilai B.J. Habibie tidak mampu mengatasi tiga persoalan besar yang disebabkan oleh transisi yang rumit yakni; masalah sistemik, masalah transisional, dan masalah konsensual. Setelah melalui proses politik yang rumit dan berlangsung secara demokratis, Pemilu 1999 diakhiri dengan kepemimpinan nasional yang baru yaitu, terpilihnya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan wakil Presiden RI periode 1999-2004, yang diharapkan mampu membawa proses transisi kearah konsolidasi demokrasi.
A.  Kajian Pustaka
Penelitian ini memfokuskan pada kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie dalam memperbaiki perekonomian Indonesia. Penelitian ini terdiri dari tiga pembahasan yaitu, pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden Republik Indonesia, kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie di Indonesia tahun 1998-1999, dan dampak kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie. Pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden Republik Indonesia dikaji menggunakan buku  Hari-Hari Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto karya James Luhulima. Buku ini menjelaskan bagaimana proses pengunduran Presiden Soeharto, yang ditandai dengan adanya kerusuhan-kerusuhan sosial yang digerakkan oleh mahasiswa dalam upaya menuntut diadakannya reformasi dan proses menuju pengalihan kekuasaan ke tangan B.J. Habibie serta bagaimana reaksi masyarakat atas pengunduran diri Presiden Soeharto.
Kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie di Indonesia tahun 1998-1999 dikaji menggunakan buku Pandangan dan Langkah Reformasi B.J Habibie karya Ahmad Watik Pratiknya, dkk. Buku tersebut menjelaskan beberapa kebijakan yang dilakukan oleh B.J. Habibie dalam menangani krisis ekonomi Indonesia, salah satunya yaitu kebijakan pemerintah untuk menaikan suku bunga. Hal itu dilakukan oleh pemerintah karena ada indikasi kenaikan jumlah mata uang yang beredar di masyarakat.
Dampak kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie dikaji menggunakan buku Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF karya Syamsul Hadi, dkk. Buku tersebut menceritakan tentang krisis ekonomi yang melanda Indonesia, membawa dampak negatif sehingga menuntut pemerintah untuk segera berkonsentrasi pada upaya untuk keluar dari krisis. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah ternyata juga menimbulkan beberapa dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Buku yang berjudul Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis dengan judul asli Indonesian in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis yang diterjemahkan oleh Landung Simatupang, dkk juga penulis gunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga. Buku tersebut merupakan kumpulan beberapa artikel yang membahas tentang aspek-aspek reformasi dan krisis. Dalam salah satu artikel yang berjudul “Dampak Krisis Indonesia terhadap Kesejahteraan: Bagaimana Dua Tahun ke Depan?” karya Anne Booth menceritakan bagaimana dampak krisis bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang dilihat dari berbagai sisi serta dampak sosial yang ditimbulkan dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah bagi Indonesia.
B.  Historiografi yang Relevan
Historiografi relevan adalah kajian-kajian historis yang telah mendahului peneliti dengan tema dan topik yang hampir sama. Penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini adalah skripsi Yulianti Handayani mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian tersebut berjudul “Intervensi Australia dalam Masalah Timor Timur masa pemerintahan B.J. Habibie 1998-1999”. Penelitian yang dilakukan oleh Yulianti Handayani menekankan pada aspek politik dalam masalah Timor Timur masa pemerintahan B.J. Habibie, yang mana Australia juga ikut campur tangan dalam masalah terbsebut. Tahun 1998 B.J. Habibie mengeluarkan kebijakan yang menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Yulianti Handayani juga didapat beberapa alasan yang melatar belakangi keterlibatan Australia terhadap kasus Timor Timur. Australia ikut mendukung kemerdekaan Timor Timur karena adanya kepentingan Australia terhadap kandungan minyak yang ada disana. Karya tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis kaji, sebab dalam karya ilmiah ini penulis membahas mengenai kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie tahun 1998-1999.
C.  Metode dan Pendekatan Penelitian
1.        Metode Penelitian
Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk lisan.[8] Sebuah penulisan tentang suatu peristiwa sejarah pada dasarnya tidak dapat menjawab kebenaran secara mutlak, namun dalam proses pengkajiannya itulah kemudian menjadi warna dalam kompleksitas dari kebenaran suatu peristiwa sejarah. Menurut Kuntowijoyo, metode penelitian sejarah memiliki lima tahap, yakni (1) pemilihan topik, (2) Heuristik (pengumpulan sumber), (3) Verifikasi (Kritik sumber), (4) Interpretasi, (5) Historiografi.[9]
2.        Pendekatan Penelitian
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini sejarah sebagai suatu disiplin ilmu tidak hanya sekedar kisah semata. Kini ilmu sejarah telah berubah menjadi sejarah kritis. Dimana dalam penulisan kisah sejarah kritis didasarkan pada aturan penulisan sejarah, yang sering disebut dengan metode sejarah. Dalam merekonstruksi sebuah kisah sejarah diperlukan pendekatan multidimensional, yaitu mendekati suatu peristiwa dari berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Didalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi, sosial dan politik.
Pendekatan ekonomi adalah suatu pendekatan yang berusaha menghubungkan pandangan tentang ilmu ekonomi. Pendekatan ekonomi ini merupakan penjabaran dari konsep-konsep ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi dan konsumsi yang berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasinya yang dapat mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam kehidupan ekonomi, sehingga dapat dipastikan hukum dan kaidahya.[10] Pendekatan ekonomi dapat digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian Indonesia selama krisis dan langkah dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pendekatan ekonomi ini penulis gunakan untuk melihat kebijakan ekonomi apa saja yang diterapkan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Selain itu pendekan ini juga berguna untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan yang diterapkan bagi perekonomian Indonesia.
Pendekatan sosial merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakat yang terkait dengan ikatan adat, kebiasaan, kehidupan, tingkah laku, dan keseniannya.[11] Melalui pendekatan ini penulis akan mengkaji tentang keadaan sosial masyarakat Indonesia setelah diberlakukannya kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Presiden B.J. Habibie.
Politik adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Politik dalam bernegara selalu berkaitan dengan kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi.[12] Pendekatan politik didefinisikan oleh Miriam Budiardjo adalah sebagai macam kegiatan dalam suatu sistem politik menyangkut proses menetukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik mengandung konsep-konsep tentang tata negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan pembagian dari sumber-sumber yang ada.
Peneliti menggunakan pendekatan politik dikarenakan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie pasti berkaitan dengan konsep tata negara dan juga menyangkut tentang kepentingan negara. Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kepentingan negara yaitu untuk memperbaiki dan menstabilkan ekonomi yang rumit saat itu yang diidam-idamkan oleh masyarakat.
II.      PENGANGKATAN B.J. HABIBIE SEBAGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
A.      Kondisi Indonesia pada Akhir Pemerintahan Presiden Soeharto
Pemerintahan Presiden Soeharto berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Periode ini dikenal dengan sebutan Orde Baru. Program pemerintah pada masa awal Orde Baru berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional, terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.[13] Berbagai kebijakan dan langkah pembangunan pada masa Orde Baru telah berhasil mengendalikan inflasi dan meredam fluktuasi harga barang. Selain itu dibarengi juga dengan investasi yang strategis dalam peningkatan produktivitas pertanian.
Kebijakan peningkatan produktivitas pertanian tersebut telah berhasil meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat di pedesaan, sekaligus menciptakan stabilitas harga beras yang menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Peningkatan pendapatan masyarakat di tingkat bawah tersebut mendorong tumbuhnya berbagai industri, baik industri kecil maupun besar. Pemerintahan Soeharto juga mengenalkan pola umum pembangunan jangka panjang bertahap, yang dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Akan tetapi, tahun 1997 sistem politik otoriter yang dibangun dan dipimpin oleh Soeharto dihadapkan dengan krisis ekonomi yang berdampak menjadi krisis multidimensional. Dampak dari adanya krisis ekonomi menyebabkan nilai rupiah jatuh. Nilai tukar rupiah merosot drastis, dan bahkan menyentuh angka di atas Rp 16.500 per dolar AS. Situasi krisis yang memuncak inilah yang menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
B.       Proses Pelimpahan Kekuasaan kepada B.J. Habibie sebagai Presiden Pengganti
Sejak tahun 1968 Soeharto telah enam kali menjabat sebagai presiden. Krisis ekonomi tahun 1997, hampir membuat seluruh bidang kehidupan terkena krisis kepercayaan yang luar biasa. Bidang hukum misalnya, hukum telah menjadi politik kekuasaan, sehingga jaminan keadilan dan kebenaran seolah-seolah hanya merupakan sebuah mimpi. Aturan hukum disalah gunakan seenaknya sendiri demi menjaga stabilitas kekuasaan. Dalam bidang ekonomi, kesempatan berusaha bagi setiap pelaku ekonomi merupakan sesuatu yang mustahil, karena kegiatan ekonomi dalam skala dan volume yang besar telah dikuasai oleh elit-elit ekonomi yang memiliki akses dan kedekatan dengan pemegang kekuasaan politik.
Salah satu fenomena signifikan dan relevan untuk melihat krisis pada tahun 1997 adalah fenomena gerakan manusia, yang di dalamnya melibatkan mahasiswa. Adanya gerakan mahasiswa sebagai wujud gugatan terhadap setiap bentuk ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Mereka menuntut agar segera diadakan perbaikan ekonomi dan reformasi dalam segala bidang.
Rangkaian aksi dan kerusuhan mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998, banyak mahasiswa melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka dihadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang menewaskan empat orang mahasiswa. Tragedi ini menjadi pemicu bagi rangkaian kerusuhan yang lebih besar yaitu pada tanggal 13-15 Mei 1998.[14] Ketika puncak peristiwa kerusuhan itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir untuk mengadakan pertemuan KTT G-15. Tanggal 19 Mei 1998 di gedung MPR/DPR diselenggarakan Rapat Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-Fraksi untuk membahas soal permintaan pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto untuk mundur yang dikemukan oleh Ketua DPR Harmoko sehari sebelumnya. Dalam pertemuan yang berlangsung selama lima jam, akhirnya pimpinan Fraksi-Fraksi mendukung permintaan pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto, agar secara arif dan bijaksana mengundurkan diri dan menekankan bahwa proses pengunduran diri itu harus konstitusional. Tanggal 20 Mei 1998, pukul 16.30, sekitar 100 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menemui pimpinan MPR/DPR.[15] Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk memberikan batas waktu bagi pengunduran diri Presiden Soeharto sampai hari Jumat, 22 Mei 1998.
Kamis 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia, setelah terpilih secara konstitusional untuk yang ketujuh kaliya dan telah memegang jabatan kepresidenan selama 32 tahun. Sesuai pasal 8 UUD 1945, yang menyebutkan “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Berdasarkan hal tersebut Wakil Presiden B.J. Habibie akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR.
C.       Pembentukaan Kabinet Reformasi Pembangunan
Presiden B.J. Habibie mengucapkan sumpah pengangkatan sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Langkah yang kemudian diambil setelah menjabat sebagai presiden yaitu segera mengumumkan kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998.[16] Sesuai dengan pidato pengantar yang disampaikan Presiden B.J. Habibie ketika mengumumkan susunan kabinet pada 22 Mei 1998, kabinet tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil kebijakan dan langkah-langkah yang proaktif untuk mengembalikan roda pembangunan. Oleh karena itu, pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembanguan adalah peningkatan kualitas, produktifitas, dan daya saing ekonomi rakyat, dengan memberi peranan kepada perusahaan kecil, menengah, dan koperasi yang telah terbukti memiliki ketahanan ekonomi yang lebih kuat dalam menghadapi krisis. Hal tersebut dinilai tepat karena bila dilihat dari sudut manapun, sektor informal-lah yang cenderung muncul sebagai penyelamat saat ada goncangan ekonomi. Sasaran kerja Kabinet Reformasi Pembangunan dalam bidang ekonomi yaitu mengatasi masalah-masalah yang mendesak akibat krisis ekonomi dan melanjutkan serta mempercepat langkah-langkah reformasi.


III.   KEBIJAKAN SOSIAL EKONOMI PRESIDEN B.J. HABIBIE DI INDONESIA TAHUN 1998-1999
A.      Keadaan Ekonomi pada Masa Awal Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie pada tahun 1998-1999 merupakan masa transisi politik di Indonesia. Kondisi Indonesia tahun 1998 sangat rumit dilihat dari berbagai aspek kehidupan dan memerlukan pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Dalam bidang ekonomi Presiden B.J. Habibie harus mampu memperbaiki beberapa masalah ekonomi yang terjadi akibat adanya krisis moneter.
Perekonomian Indonesia pada saat awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie sudah di ambang kebangkrutan. Produksi macet, tingkat suku bunga tinggi, perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya bermasalah, cadangan devisa menipis karena ekspor tersendat, pencairan pinjaman luar negeri yang telah disepakati mengalami penundaan, banyak pengangguran, dan harapan rupiah akan menguat masih sebatas impian.
B.       Usaha Presiden B.J. Habibie dalam Menangani Krisis Ekonomi
Garis besar program pemerintahan kabinet Reformasi Pembangunan untuk kurun waktu sampai terebentuknya pemerintahan baru, maupun program tahunan sebagaimana tertuang dalam APBN sampai April 1999, masih harus merujuk pada komitmen kabinet Pembangunan VII yaitu Repelita VII dan RAPBN 98/99 yang masih memerlukan perbaikan.[17] Terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, menyebabkan pemerintah melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk memperbaiki dan melaksanakan pembangunan ekonomi.
Selama setahun lebih pemerintahan Presiden B.J. Habibie, upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi krisis pada dasarnya mengacu pada saran dan hasil konsultasi dengan International Monetary Fund (IMF). Secara garis besar kebijakan yang disarankan oleh IMF yaitu dengan memperkuat sektor moneter melalui instrumen suku bunga tinggi dan memperketat sektor fiskal.[18] Tujuan utamanya yaitu bagaimana memberikan sedikit ruang gerak kepada spekulan agar stabilitas rupiah dan stabilitas harga dapat dicapai. IMF memandang persoalan perekonomian Indonesia itu berat, sehingga langkah yang cocok yaitu dengan pengetatan ekonomi yang dilakukan serentak melalui jalur moneter dan fiskal. Biasanya kebijakan pengetatan ekonomi hanya dilakukan pada salah satu sisi yaitu moneter atau fiskalnya saja.[19]
Kebijakan moneter bertujuan untuk menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi yang rendah, dan peningkatan cadangan devisa. Sementara kebijakan fiskal difokuskan pada pengetatan APBN.[20] Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan pendapatan pajak non-migas serta pengetatan anggaran belanja negara seperti pembatalan beberapa proyek infrastruktur, penghentian perlakuan khusus bagi mobil nasional dan IPTN, serta pengurangan subsidi impor sembilan bahan pokok (sembako).
C.       Kebijakan-kebijakan Sosial Ekonomi yang dilakukan Presiden B.J. Habibie dalam Rangka Pembangunan Ekonomi Indonesia
Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie pertama-tama diarahkan pada usaha mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh besarnya hutang luar negeri swasta dan lemahnya sektor perbankan. Selanjutnya kebijakan diarahkan kepada upaya memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Presiden B.J. Habibie untuk menangani krisis ekonomi Indonesia yaitu dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI. Tingkat atau perubahan suku bunga SBI menjadi salah satu indikator dalam menentukan kebijakan moneter, apakah akan menggunakan kebijakan ekspansif (kebijakan uang longgar) atau kontraktif (kebijakan uang ketat).[21] Pemerintah dan IMF pada akhirnya memilih memberlakukan kebijakan uang ketat guna menghadapi situasi hiperinflasi. Bank Indonesia kemudian menerbitkan SBI yang bunganya terus di naikan. Pada Agustus 1998 SBI mencapai 70%, dengan seiring membaiknya perekonomian di Indonesia kebijakan uang ketat secara hati-hati dilonggarkan oleh pemerintah. Penurunan tingkat suku bunga SBI dilakukan sejak triwulan terakhir 1998,[22] hal itu didasarkan pada penurunan inflasi. Inflasi turun dari sekitar 77,60% selama 1998 menjadi hanya sekitar 2,00% pada tahun 1999.
Banyaknya jumlah uang yang beredar di masyarakat akhirnya membuat pemerintahan Presiden B.J. Habibie mengambil kebijakan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara menaikan suku bunga SBI. Dengan diterapkannya suku bunga yang tinggi diharapkan masyarakat mau menyimpan kembali uangnya di bank, sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang. Banyaknya jumlah uang yang beredar dapat menyebabkan timbulnya inflasi.
Krisis moneter yang melanda Asia menyebabkan nilai tukar rupiah merosot hingga Rp. 16.500 pada masa awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Guna mengatasi masalah tersebut pemerintah melalui BI menerapkan kebijakan menaikan nilai tukar rupiah. Sejak awal pemerintahannya Presiden B.J. Habibie menganggap bahwa mata uang yang stabil (mata uang yang berkualitas) adalah satu pilar utama dari perekonomian yang sehat. stabilias nilai rupiah bersama dengan stabilitas harga atau laju inflasi yang tekontrol merupakan dua syarat penting bagi pencapaian kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas perekonomian nasional.[23] Pada tahun 1970 pemerintah Indonesia menempuh kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Sejalan dengan kebijakan penghapusan batas pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan internasional, sistem nilai tukar Indonesia secara bertahap dilonggarkan untuk menyesuaikan dengan perbedaan inflasi (harga) di Indonesia dengan negara lain. Untuk mengakomodasi hal itu, sejak 15 November 1978, sistem nilai tukar diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) dengan mengkaitkan kurs rupiah dengan mata uang negara lain.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali yaitu kurs ditentukan oleh mekanisme pasar dengan adanya campur tangan pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui kebijakan moneter. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs pembatas dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan rentang tertentu. Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari rentang tersebut. Selama menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali, beberapa kali kurs rupiah mengalami devaluasi. Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14 Agustus 1997.[24] Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.
Terjadinya krisis keuangan yang melanda Indonesia sejak 1997 telah membuat kondisi perekonomian menjadi kacau. Pemerintah Indonesia mengupayakan penyelesaian krisis perbankan dengan membentuk BPPN. Guna mencegah terjadinya krisis ekonomi yang lebih parah, banyak bank-bank yang kemudian disuntikan dana BLBI oleh pemerintah untuk menstabilkan perekonomian Indonesia. Sejak awal pembentukan kabinet Reformasi Pembangunan, Presiden B.J. Habibie telah menyatakan bahwa Bank Indonesia berkedudukan khusus dalam perekonomian dan harus independen serta tidak boleh dicampurtangani oleh siapapun, termasuk presiden. Pemerintah kemudian merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Penyusunan aturan baru itu diserahkan kepada DPR yang dibantu oleh tenaga profesional dari bank sentral Jerman, yaitu Bundesbank.[25] Bundesbank dikenal sebagai bank sentral yang paling ideal. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 menetapkan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Indonesia hanya mempunyai satu bank sentral sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang. Upaya pemerintah dalam menyelasaikan masalah utang luar negeri sektor swasta dicapai melalui kesepakatan Frankfurt pada Juni 1998. Pendekatan penyelesaian utang swasta dilakukan dengan membentuk Lembaga Penyelesaian Penjadwalan Utang Indonesia atau yang dikenal dengan Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) yang merupakan skema peyelesaian utang luar negeri swasta.[26] Pada September 1998 pemerintah meluncurkan program Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative) untuk memperlancar program INDRA. Program ini merupakan kelanjuan dari upaya yang telah dilakukan sebelumnya, termasuk melalui INDRA dengan tujuan mendorong perusahaan debitur melakukan restrukturisasi usaha, khususnya yang menyangkut struktur utang.
Guna merealisasikan demokrasi ekonomi dan menciptakan landasan agar tumbuh persaingan yang sehat dan efisien, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat pada tanggal 5 Maret 1999. Undang-Undang ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat.[27] Guna melindungi kepentingan konsumen, pemerintah mengesahkan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, yang mewajibkan produsen mencantumkan informasi yang lengkap tentang produk yang dihasilkannya. Harapan dari adanya Undang-Undang tersedut adalah terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor, pengecer, pengusaha/perusahaan dan sebagainya) yang harmonis dan saling menghargai.[28]
Terjadinya krisis ekonomi membuat pemerintah sangat hati-hati dalam menggunakan dana APBN. Pemerintah mengambil kebijakan meningkatkan pendapatan melalui pajak non-migas dan melakukan pengetatan anggaran belanja negara seperti pembatalan beberapa proyek infrastruktur, penghentian perlakuan khusus bagi mobil nasional dan IPTN, serta pengurangan subsidi impor sembako. Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang penanggulangan krisis di bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dari krisis ekonomi, pemerintah melaksanakan program JPS. Program JPS merupakan upaya yang ditempuh melalui berbagai bidang intervensi maupun kegiatan agar masyarakat tidak semakin terpuruk, sehingga secara bertahap mampu mengangkat kondisi sosial ekonominya. Presiden B.J. Habibie juga mengupayakan kerjasama dan dukungan badan-badan internasional serta negara-negara sahabat untuk mengatasi krisis dan pemulihan perekonomian nasional. Kerjasama tersebut seperti melalui Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), Asia Eropa Meeting (ASEM), World Trade Organization (WTO), World Bank, dan IMF.[29]

IV.   DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI PRESIDEN B.J. HABIBIE
Tingkat keberhasilan kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie belumlah berhasil dengan maksimal, hal ini terlihat dari masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi.
A.      Kendala-Kendala Pemulihan Ekonomi Indonesia
Besarnya utang swasta baik di dalam maupun di luar negeri tidak mudah untuk direkonstrukturisasi, permasalahannya disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang perusahaan karena melibatkan ratusan perusahaan dalam negeri dan kreditur di banyak negara dan perubahan kurs yang sewatu-waktu terjadi karena mnguatnya rupiah juga menjadi sebab susahnya pelunasan utang. Kendala dalam menentukan kurs rupiah yang stabil yang pertama dikarenakan pencairan dana dari IMF yang diangsur sercara perlahan-lahan terlalu kecil angkanya.
Kebijakan rekapitalisasi perbankan masih menghadapi kendala yang berat berupa negative spread, yaitu suku bunga pinjaman lebih rendah dari suku bunga deposito, karena Bank Indonesia (BI) tidak bisa menurunkan suku bunga dengan cepat tetapi secara perlahan dan disesuaikan dengan penguatan rupiah dan penurunan inflasi. Dana BLBI yang diberikan dengan maksud sebagai pinjaman terakhir untuk menyelematkan bank dari masalah finansialnya, sebagian besar dana tersebut tidak bisa dikembalikan kepada BI.[30] Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) juga menghadapi permasalahan dalam hal efektifitas dan pencapaian kepada kelompok sasaran serta pemantauannya.[31]
B.       Dampak Kebijakan Ekonomi Masa Presiden B.J. Habibie
Kebijakan yang telah dilaksanankan untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 ternyata juga menimbulkan banyak pengaruh bagi kehidupan masayarakat baik secara sosial maupun ekonominya. Selama tahun 1999 proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Nilai tukar rupiah menguat dan relatif stabil dari rata-rata Rp. 8.025 per dolar AS pada tahun 1998 menjadi sekitar Rp. 7.809 per dolar AS pada tahun 1999,[32] dengan fluktuasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Stabilnya nilai rupiah antara lain berkat terkendalinya jumlah uang beredar. Meskipun terjadi perubahan iklim politik yang sangat penting dalam tahun 1999 antara lain sebagai hasil dari pelaksanaan pemilu, jajak pendapat Timor Timur, dan Sidang Istimewa MPR, perekonomian masih dapat tumbuh walaupun relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I, II, III, dan IV tahun 1999 berturut-turut -7,7%, 3,7%, 1,2%, dan 5,0% meningkat dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya.
Pada bulan Agustus 1999 tingkat kemiskinan telah turun menjadi 37,5 juta karena turunnya harga-harga yang berakibat pada menurunnya garis kemiskinan. Garis kemiskinan di daerah perkotaan pada Februari tahun 1999 adalah Rp. 92.409 dan Rp. 74.274 di daerah pedesaan. Sampai Agustus 1999 garis kemiskinan turun menjadi Rp. 89.845 untuk perkotaan dan Rp. 69.420 untuk pedesaan.[33] Garis kemiskinan turun karena turunnya harga-harga terutama harga pangan sejak triwulan II tahun 1999. Penurunan jumlah penduduk miskin tentunya tidak hanya dikarenakan adanya program jaring pengaman sosial tapi juga karena adannya beberapa program pengentasan kemiskinan lain yang bersifat sektoral.
Agenda pemilu tahun 1999 yang berjalan lancar dan stabil telah mampu membuat kepercayaan investor untuk mulai menanamkan modalnya. Pemilu yang dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak dan pecahnya kekacauan sosial seperti bulan Mei 1998 serta kevakuman pemerintahan selama periode antara pemilu hingga pelaksanaan pemerintahan pada November 1999 ternyata tidak terjadi.

V.      KESIMPULAN
Krisis ekonomi menjalar menjadi krisis multidimensional. Dampak dari ketidak mampuan rezim Soeharto dalam menangani krisis ekonomi tersebut menyebabkan rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat. Terjadinya ketimpangan sosial yang mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Rangkaian aksi dan kerusuhan mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998, banyak mahasiswa melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka dihadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang menewaskan empat orang mahasiswa. Tragedi ini menjadi pemicu bagi rangkaian kerusuhan yang lebih besar yaitu pada tanggal 13-15 Mei 1998. Ketika puncak peristiwa kerusuhan itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir untuk mengadakan pertemuan KTT G-15.
Akibat tekanan yang sangat besar dari masyarakat Indonesia, maka pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden. Sesuai pasal 8 UUD 1945, yang menyebutkan “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Berdasarkan hal tersebut maka Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian ditunjuk untuk melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden. Presiden B.J. Habibie mengucapkan sumpah pengangkatan sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Langkah yang kemudian diambil setelah menjabat sebagai Presiden yaitu segera mengumumkan kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998. Sasaran kerja Kabinet Reformasi Pembangunan dalam bidang ekonomi yaitu mengatasi masalah-masalah yang mendesak akibat krisis ekonomi dan melanjutkan serta mempercepat langkah-langkah reformasi.
Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie pertama-tama diarahkan pada usaha mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh besarnya hutang luar negeri swasta dan lemahnya sektor perbankan. Selanjutnya kebijakan diarahkan kepada upaya memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Garis besar program pemerintahan kabinet Reformasi Pembangunan untuk kurun waktu sampai terebentuknya pemerintahan baru, maupun program tahunan sebagaimana tertuang dalam APBN sampai April 1999, masih harus merujuk pada komitmen kabinet Pembangunan VII yaitu Repelita VII dan RAPBN 98/99 yang masih memerlukan perbaikan. Terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, menyebabkan pemerintah melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk memperbaiki dan melaksanakan pembangunan ekonomi.
Selama setahun lebih pemerintahan Presiden B.J. Habibie, upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi krisis pada dasarnya mengacu pada saran dan hasil konsultasi dengan International Monetary Fund (IMF). Secara garis besar kebijakan yang disarankan oleh IMF yaitu dengan memperkuat sektor moneter melalui instrumen suku bunga tinggi, mengatur jumlah uang beredar, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, penyelesaian utang swasta, dan memperketat sektor fiskal melalui pengetatan pengeluaran APBN dan pemberian Jaring Pengaman Sosial bagi masyarakat yang terkena dampak krisis. Usaha Presiden B.J. Habibie dalam rangka melaksanakan reformasi ekonomi mencakup usaha mengatasi krisis ekonomi, memberdayakan ekonomi rakyat, memperkuat kelembagaan perekonomian, mendorong persaingan sehat, sampai pemberantasan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam kegiatan ekonomi dan bisnis.
Usaha tersebut juga dilengkapi dengan perubahan struktural yang mencakup restrukturisasi perbankan dan hutang luar negeri swasta. Dalam aspek kelembagaan berbagai Undang-Undang yang mendorong kegiatan ekonomi yang efisien dan sehat juga telah disahkan. Undang-Undang tersebut antara lain: UU Perbankan, UU Kepailitan, UU Perlindungan Konsumen, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Bank Indonesia dan UU Lalu lintas Devisa dan Sistem Nilai tukar.
Upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh Kabinet Reformasi Pembangunan tentunya mengalami beberapa kendala. Besarnya utang swasta baik di dalam maupun di luar negeri tidak mudah untuk direkonstrukturisasi, permasalahannya disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang perusahaan karena melibatkan ratusan perusahaan dalam negeri dan kreditur di banyak negara dan perubahan kurs yang sewatu-waktu terjadi karena mnguatnya rupiah juga menjadi sebab susahnya pelunasan utang. Kendala dalam menentukan kurs rupiah yang stabil yang pertama dikarenakan pencairan dana dari IMF yang diangsur sercara perlahan-lahan terlalu kecil angkanya.
Kebijakan rekapitalisasi perbankan masih menghadapi kendala yang berat berupa negative spread, yaitu suku bunga pinjaman lebih rendah dari suku bunga deposito, karena Bank Indonesia (BI) tidak bisa menurunkan suku bunga dengan cepat tetapi secara perlahan dan disesuaikan dengan penguatan rupiah dan penurunan inflasi. Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) juga menghadapi permasalahan dalam hal efektifitas dan pencapaian kepada kelompok sasaran serta pemantauannya.
Kebijakan yang telah dilaksanankan untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 ternyata juga menimbulkan banyak pengaruh bagi kehidupan masayarakat baik secara sosial maupun ekonominya. Selama tahun 1999 proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Nilai tukar rupiah menguat dan relatif stabil dari rata-rata Rp. 8.025 per dolar AS pada tahun 1998 menjadi sekitar Rp. 7.809 per dolar AS pada tahun 1999, dengan fluktuasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Stabilnya nilai rupiah antara lain berkat terkendalinya jumlah uang beredar.
Meskipun terjadi perubahan iklim politik yang sangat penting dalam tahun 1999 antara lain sebagai hasil dari pelaksanaan pemilu, jajak pendapat Timor Timur, dan Sidang Istimewa MPR, perekonomian masih dapat tumbuh walaupun relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I, II, III, dan IV tahun 1999 berturut-turut -7,7%, 3,7%, 1,2%, dan 5,0% meningkat dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pada bulan Agustus 1999 tingkat kemiskinan telah turun menjadi 37,5 juta karena turunnya harga-harga yang berakibat pada menurunnya garis kemiskinan. Garis kemiskinan di daerah perkotaan pada Februari tahun 1999 adalah Rp. 92.409 dan Rp. 74.274 di daerah pedesaan. Sampai Agustus 1999 garis kemiskinan turun menjadi Rp. 89.845 untuk perkotaan dan Rp. 69.420 untuk pedesaan. Garis kemiskinan turun karena turunnya harga-harga terutama harga pangan sejak triwulan II tahun 1999. Penurunan jumlah penduduk miskin tentunya tidak hanya dikarenakan adanya program jaring pengaman sosial tapi juga karena adannya beberapa program pengentasan kemiskinan lain yang bersifat sektoral.
Agenda pemilu tahun 1999 yang berjalan lancar dan stabil telah mampu membuat kepercayaan investor untuk mulai menanamkan modalnya. Pemilu yang dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak dan pecahnya kekacauan sosial seperti bulan Mei 1998 serta kevakuman pemerintahan selama periode antara pemilu hingga pelaksanaan pemerintahan pada November 1999 ternyata tidak terjadi.










DAFTAR PUSTAKA

Arsip

Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999.

Laporan Tahunan Bank Indonesia Periode 1999.

Pendapatan Nasional Indonesia Tahun 1998-2001, BPS, Jakarta.

Statistik Indonesia Tahun 1999.

Buku

Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman. (1999). Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Anti Monopoli. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Ahmad Mukhlis Yusuf. (2008). Presiden RI ke II: Jendral Besar H. M. Soeharto dalam Berita. Jakarta: Antara Pustaka Utama.

Anas Urbaningrum. (1999). Ranjau-Ranjau Reformasi: Potret Konflik Politik pasca Kejatuhan Soeharto. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anggito Abimanyu. (2000). Ekonomi Indonesia Baru: Kajian dan Alternatif Solusi menuju Pemulihan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Arwan Tuti Artha. (2007). Kudeta Mei’98: Perseteruan Habibie-Prabowo. Yogyakarta: Galangpers.

Bacharuddin Jusuf Habibie. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.

Dudung Abdurrahman. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Eric Hiariej. (2005). Materialisme Sejarah Keruntuhan Soeharto. Yogyakarta: IRE Press.

Faisal Basri. (2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. (2000). Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Hasan Sadily. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Hendra Halwani, R. (2002). Ekonomi Internasional dam Globalisasi Ekonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa. (2003). Membedah Krisis Perbankan. Jakarta: Yayasan SAD Satria Bhakti.

Kuntowijoyo. (2003). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Luhulima, James. (2008). Hari-hari Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto. Jakarta: Kompas.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Lembaga Informasi        Nasional.

Makmur Makka, A. (2009). Testimoni Untuk B.J. Habibie. Yogyakarta: Ombak.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. (2011). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.

Miriam Budiardjo. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Sidi Gazalba. (1981). Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara.

Soedradjat Djiwandono, J. (2006). Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999. Jakarta: Bank Indonesia.

Suwarsono. (2012). Sejarah Politik Indonesia Modern. Yogyakarta: Ombak.

Syamsul Hadi, dkk. (2004). Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Obor.

Tony Prasetiantono, A. (2000). Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tulus T.H. Tambunan. (2011). Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Bogor: Ghalia Indonesia.

Koran

Bernas, 25 November 1998.

Kompas, 18 November 1999.

Suara Karya, 23 Mei 1998.

Gatra, 30 Mei 1998.

Internet

Lepi T. Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran” Tersedia dalam http://www.academia.edu/5221392/KRISIS_MONETER_INDONESIA_SEBAB_DAMPAK_PERAN_IMF_DAN_SARAN_ Diakses pada tanggal 8 Desember 2014

Ginanjar Kartasasmita “Perkembangan Perekonomian Indonesia dalam Masa Kabinet Reformasi Pembangunan” Tersedia dalam http://www.ginandjar.com/public/11PerkembanganPerekIndonesiaDlmReformasi.pdf. Diakses pada tanggal 28 Februari 2015.




[1] A. Makmur Makka, Testimoni Untuk B.J. Habibie. (Yogyakarta: Ombak, 2009), hlm. 29.

[2] Anas Urbaningrum, Ranjau-ranjau Reformasi: Potret Konflik Politik pasca Kejatuhan Soeharto. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38.

[3] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Jakarta: Lembaga Informasi Nasional, 2002), hlm. 5.

[4] Faisal Basri, Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 44.

[5] Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. (Jakarta: THC Mandiri, 2006), hlm. 150.

[6] Suwarsono, Sejarah Politik Indonesia Modern. (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 111.

[7] Arwan Tuti Artha, Kudeta Mei’98: Perseteruan Habibie-Prabowo. (Yogyakarta: Galangpers, 2007), hlm. 58.
[8] Dudung Abdurrahman. Metode Penelitian Sejarah. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 43-44.

[9] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2003), hlm. 90.

[10] Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. (Jakarta: Bhratara, 1981), hlm. 32.

[11] Hasan Sadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 82.

[12] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), hlm. 8.
[13] Eric Hiariej, Materialisme Sejarah Keruntuhan Soeharto. (Yogyakarta: IRE Press, 2005), hlm. 53-55.
[14] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang dan Zaman Republik. (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), hlm. 669.

[15]  Ibid., hlm. 154.

[16] Suara Karya, 23 Mei 1998.
[17] Ahmad Mukhlis Yusuf, Presiden RI ke II: Jendral Besar H. M. Soeharto dalam Berita. (Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008), hlm. 674.
[18] J. Soedradjad Djiwondo, dkk, Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999. (Jakarta: Bank Indonesia, 2006), hlm. 18.

[19] A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 3

[20] Syamsul Hadi, dkk, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. (Jakarta: Granit, 2004), hlm.
[21] Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 273.

[22] Bernas, 25 November 1998

[23] Tulus T.H. Tambunan, op.cit., hlm. 281.

[24] I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan. (Jakarta: Yayasan SAD Satria Bhakti, 2003), hlm.217.

[25] Gatot Triyanto dan Yunizar Djoenaid, “Mengembalikan yang Hilang: Pemerintah Bertekat Membuat BI Independen Seperti Bundesbank” dalam Gatra, 30 Mei 1998.

[26] J. Soedradjad Djiwondo, dkk, op.cit., hlm. 41.
[27] Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Anti Monopoli. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), hlm. 2.

[28] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. (Jakata: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 1-3.


[29] R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dam Globalisasi Ekonomi. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 319.

[30] Anggito Abimanyu, Ekonomi Indonesia Baru: Kajian dan Alternatif Solusi menuju Pemulihan. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 53.

[31] Kompas, 18 November 1999.

[32] Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, op.cit., hlm. 68-69.

[33] Statistik Indonesia Tahun 1999, op.cit., hlm. 585.