KEBIJAKAN
EKONOMI PRESIDEN B.J. HABIBIE 1998-1999
Oleh:
Devi Ciptyasari dan Dr. Aman, M.Pd
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses pengangkatan B.J. Habibie
sebagai presiden Republik Indonesia, (2) menganalisis kebijakan ekonomi
Presiden B.J. Habibie tahun 1998-1999, dan (3) menganalisis dampak kebijakan
ekonomi Presiden B.J. Habibie bagi Indonesia.
Metode
penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis yang terdiri dari lima tahap
penelitian menurut Kuntowijoyo. Tahapan tersebut adalah (1) pemilihan topik,
(2) heuristik, (3) verifikasi atau kritik sumber, (4) interpretasi, dan (5)
historiografi.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Presiden B.J. Habibie diangkat sebagai
presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri. Presiden
B.J. Habibie kemudian membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi
Pembangunan, (2) Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie
terlihat dari usaha menaikkan tingkat suku bunga Serifikat Bank Indonesia
(SBI), mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat, menaikkan nilai tukar
rupiah, restrukturisasi perbankan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), pembentukan Bank Indonesia yang independen, penyelesaian utang luar
negeri, mengesahkan Undang-Undang anti monopoli dan persaingan tidak sehat,
mengesahkan Undang-Undang perlindungan konsumen, memperketat pengeluaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melaksanakan program Jaring
Pengaman Sosial (JPS), serta kerjasama internasional, dan (3) Tingkat keberhasilan
kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie belumlah berhasil dengan maksimal, hal
ini terlihat dari masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi. Kebijakan
ekonomi yang diterapkan oleh Presiden B.J. Habibie juga membawa dampak bagi
kehidupan masyarakat baik itu dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
Kata Kunci: Kebijakan Ekonomi, Presiden B.J. Habibie, Tahun
1998-1999.
I.
PENDAHULUAN
Pemerintahan Orde Baru di bawah rezim
Soeharto berjalan selama 32 tahun, selama jangka waktu tersebut banyak kemajuan
yang terjadi di Indonesia seperti dalam hal pembangunan ekonomi dan kestabilan
politik. Akan tetapi, memasuki tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Korupsi, kolusi, dan
nepotisme semakin merajalela sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Krisis ekonomi kemudian menjalar menjadi
krisis multidimensional. Dampak dari ketidakmampuan rezim Soeharto dalam
menangani krisis ekonomi tersebut menyebabkan rezim ini tidak lagi dipercaya
oleh rakyat.[1]
Terjadinya ketimpangan sosial yang mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan
sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum
demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi disegala bidang secara total.
Akibat tekanan yang sangat besar dari masyarakat Indonesia, maka pada tanggal
21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden.[2]
Berlandaskan pasal 8 UUD 1945,[3]
Presiden Soeharto segera menunjuk Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
untuk disumpah sebagai penggantinya dihadapan Mahkamah Agung, karena DPR tidak
dapat berfungsi dan gedungnya pada saat itu diambil alih oleh mahasiswa. Presiden
B.J. Habibie harus mampu membenahi kondisi Indonesia saat itu, di mana hampir
semua aspek kehidupan sangat memerlukan adanya reformasi total. Banyak
kebijakan yang kemudian diambil oleh Presiden B.J. Habibie, salah satunya dalam
bidang sosial dan ekonomi. Perekonomian Indonesia saat itu sudah diambang
kebangkrutan, produksi macet, tingkat suku bunga tinggi, perbankan dan lembaga
keuangan lainnya bermasalah serta cadangan devisa menipis.[4] Kebijakan
yang diambil bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi dan melanjutkan reformasi
ekonomi Indonesia. Upaya yang diambil oleh B.J. Habibie untuk menyelesaikan
krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, yaitu menghentikan kenaikan
harga-harga, memulihkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan
kebutuhan pokok, melaksanakan program Jaring pengaman sosial, mengembangkan
ekonomi rakyat, merekapitulasi perbankan, melikuidasi beberapa bank bermasalah
dan menaikan nilai tukar rupiah.
Walaupun berdasarkan konstitusi Republik
Indonesia, B.J. Habibie sebagai wakil Presiden layak melanjutkan kekuasaan
Soeharto, tetapi karena B.J. Habibie sendiri merupakan bagian dari lingkaran
kekuasaan Soeharto, maka peralihan kekuasaan kepada Presiden B.J. Habibie tetap
tidak dikehendaki oleh kelompok prodemokrasi.[5] Dampak
dari kejengkelan terhadap pemerintahan Presiden B.J. Habibie melahirkan
tuntutan agar Presiden B.J. Habibie segera mengagendakan pemilu dan membentuk
pemerintahan sementara. Presiden B.J. Habibie sendiri dengan segala
keyakinannya, segera mengagendakan pemilu untuk mengakhiri ketidakpastian
politik.
Pemilu pertama pasca Soeharto berlangsung
pada 7 Juni 1999 dan diikuti oleh 48 partai politik.[6] Hasil
pemilu tersebut membentuk komposisi anggota parlemen yang berimbang dari
berbagai kekuatan politik yang ada dan menutup kesempatan B.J. Habibie menjadi
Presiden, karena B.J. Habibie gagal dalam sesi laporan pertanggungjawaban dalam
sidang parlemen.[7]
Parlemen menilai B.J. Habibie tidak mampu mengatasi tiga persoalan besar yang
disebabkan oleh transisi yang rumit yakni; masalah sistemik, masalah
transisional, dan masalah konsensual. Setelah melalui proses politik yang rumit
dan berlangsung secara demokratis, Pemilu 1999 diakhiri dengan kepemimpinan
nasional yang baru yaitu, terpilihnya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan
wakil Presiden RI periode 1999-2004, yang diharapkan mampu membawa proses
transisi kearah konsolidasi demokrasi.
A. Kajian Pustaka
Penelitian ini memfokuskan pada kebijakan
ekonomi Presiden B.J. Habibie dalam memperbaiki perekonomian Indonesia.
Penelitian ini terdiri dari tiga pembahasan yaitu, pengangkatan B.J. Habibie
sebagai presiden Republik Indonesia, kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie di
Indonesia tahun 1998-1999, dan dampak kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie.
Pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden Republik Indonesia dikaji
menggunakan buku Hari-Hari
Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto karya James Luhulima.
Buku ini menjelaskan bagaimana proses pengunduran Presiden Soeharto, yang
ditandai dengan adanya kerusuhan-kerusuhan sosial yang digerakkan oleh
mahasiswa dalam upaya menuntut diadakannya reformasi dan proses menuju
pengalihan kekuasaan ke tangan B.J. Habibie serta bagaimana reaksi masyarakat
atas pengunduran diri Presiden Soeharto.
Kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie di
Indonesia tahun 1998-1999 dikaji menggunakan buku Pandangan dan Langkah
Reformasi B.J Habibie karya Ahmad Watik Pratiknya, dkk. Buku tersebut
menjelaskan beberapa kebijakan yang dilakukan oleh B.J. Habibie dalam menangani
krisis ekonomi Indonesia, salah satunya yaitu kebijakan pemerintah untuk
menaikan suku bunga. Hal itu dilakukan oleh pemerintah karena ada indikasi
kenaikan jumlah mata uang yang beredar di masyarakat.
Dampak kebijakan ekonomi Presiden B.J.
Habibie dikaji menggunakan buku Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF
karya Syamsul Hadi, dkk. Buku tersebut menceritakan tentang krisis ekonomi yang
melanda Indonesia, membawa dampak negatif sehingga menuntut pemerintah untuk
segera berkonsentrasi pada upaya untuk keluar dari krisis. Kebijakan yang
diambil oleh pemerintah ternyata juga menimbulkan beberapa dampak terhadap
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Buku yang berjudul Indonesia
di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis dengan judul
asli Indonesian in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis yang
diterjemahkan oleh Landung Simatupang, dkk juga penulis gunakan untuk menjawab
rumusan masalah yang ketiga. Buku tersebut merupakan kumpulan beberapa artikel
yang membahas tentang aspek-aspek reformasi dan krisis. Dalam salah satu
artikel yang berjudul “Dampak Krisis Indonesia terhadap Kesejahteraan:
Bagaimana Dua Tahun ke Depan?” karya Anne Booth menceritakan bagaimana
dampak krisis bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang dilihat dari
berbagai sisi serta dampak sosial yang ditimbulkan dari kebijakan ekonomi yang
diambil oleh pemerintah bagi Indonesia.
B. Historiografi yang
Relevan
Historiografi relevan adalah kajian-kajian
historis yang telah mendahului peneliti dengan tema dan topik yang hampir sama.
Penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini adalah skripsi Yulianti
Handayani mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta. Penelitian tersebut berjudul “Intervensi Australia dalam Masalah
Timor Timur masa pemerintahan B.J. Habibie 1998-1999”. Penelitian yang
dilakukan oleh Yulianti Handayani menekankan pada aspek politik dalam masalah
Timor Timur masa pemerintahan B.J. Habibie, yang mana Australia juga ikut
campur tangan dalam masalah terbsebut. Tahun 1998 B.J. Habibie mengeluarkan
kebijakan yang menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
Yulianti Handayani juga didapat beberapa alasan yang melatar belakangi
keterlibatan Australia terhadap kasus Timor Timur. Australia ikut mendukung
kemerdekaan Timor Timur karena adanya kepentingan Australia terhadap kandungan
minyak yang ada disana. Karya tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis
kaji, sebab dalam karya ilmiah ini penulis membahas mengenai kebijakan ekonomi
Presiden B.J. Habibie tahun 1998-1999.
C. Metode dan
Pendekatan Penelitian
1.
Metode Penelitian
Metode penelitian sejarah
adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan
sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk lisan.[8] Sebuah penulisan
tentang suatu peristiwa sejarah pada dasarnya tidak dapat menjawab kebenaran
secara mutlak, namun dalam proses pengkajiannya itulah kemudian menjadi warna
dalam kompleksitas dari kebenaran suatu peristiwa sejarah. Menurut Kuntowijoyo,
metode penelitian sejarah memiliki lima tahap, yakni (1) pemilihan topik, (2)
Heuristik (pengumpulan sumber), (3) Verifikasi (Kritik sumber), (4)
Interpretasi, (5) Historiografi.[9]
2.
Pendekatan Penelitian
Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini sejarah sebagai suatu disiplin ilmu
tidak hanya sekedar kisah semata. Kini ilmu sejarah telah berubah menjadi
sejarah kritis. Dimana dalam penulisan kisah sejarah kritis didasarkan pada
aturan penulisan sejarah, yang sering disebut dengan metode sejarah. Dalam
merekonstruksi sebuah kisah sejarah diperlukan pendekatan multidimensional,
yaitu mendekati suatu peristiwa dari berbagai aspek kehidupan seperti politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Didalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi, sosial dan politik.
Pendekatan ekonomi adalah suatu pendekatan yang berusaha
menghubungkan pandangan tentang ilmu ekonomi. Pendekatan ekonomi ini merupakan
penjabaran dari konsep-konsep ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi dan konsumsi
yang berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasinya yang dapat
mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam kehidupan ekonomi, sehingga dapat
dipastikan hukum dan kaidahya.[10] Pendekatan ekonomi dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi perekonomian Indonesia selama krisis dan langkah dalam pembangunan
ekonomi Indonesia. Pendekatan ekonomi ini penulis gunakan untuk melihat
kebijakan ekonomi apa saja yang diterapkan pada masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie. Selain itu pendekan ini juga berguna untuk mengetahui bagaimana dampak
kebijakan yang diterapkan bagi perekonomian Indonesia.
Pendekatan sosial merupakan suatu pendekatan yang
bertujuan untuk mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakat
yang terkait dengan ikatan adat, kebiasaan, kehidupan, tingkah laku, dan
keseniannya.[11]
Melalui pendekatan ini penulis akan mengkaji tentang keadaan sosial
masyarakat Indonesia setelah diberlakukannya kebijakan ekonomi yang diterapkan
oleh Presiden B.J. Habibie.
Politik adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
negara dan pemerintahan. Politik dalam bernegara selalu berkaitan dengan
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi.[12]
Pendekatan politik didefinisikan oleh Miriam Budiardjo adalah sebagai macam
kegiatan dalam suatu sistem politik menyangkut proses menetukan tujuan-tujuan
dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik mengandung
konsep-konsep tentang tata negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan
dan pembagian dari sumber-sumber yang ada.
Peneliti menggunakan pendekatan politik dikarenakan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie pasti berkaitan
dengan konsep tata negara dan juga menyangkut tentang kepentingan negara.
Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung
didasarkan pada kepentingan negara yaitu untuk memperbaiki dan menstabilkan
ekonomi yang rumit saat itu yang diidam-idamkan oleh masyarakat.
II.
PENGANGKATAN
B.J. HABIBIE SEBAGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
A.
Kondisi
Indonesia pada Akhir Pemerintahan Presiden Soeharto
Pemerintahan Presiden Soeharto berlangsung dari tahun
1968 hingga 1998. Periode ini dikenal dengan sebutan Orde Baru. Program
pemerintah pada masa awal Orde Baru berorientasi pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional, terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.[13]
Berbagai kebijakan dan langkah pembangunan pada masa Orde Baru telah berhasil
mengendalikan inflasi dan meredam fluktuasi harga barang. Selain itu dibarengi
juga dengan investasi yang strategis dalam peningkatan produktivitas pertanian.
Kebijakan peningkatan produktivitas pertanian tersebut
telah berhasil meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat di pedesaan,
sekaligus menciptakan stabilitas harga beras yang menjadi makanan pokok rakyat
Indonesia. Peningkatan pendapatan masyarakat di tingkat bawah tersebut
mendorong tumbuhnya berbagai industri, baik industri kecil maupun besar.
Pemerintahan Soeharto juga mengenalkan pola umum pembangunan jangka panjang
bertahap, yang dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita
(Pembangunan Lima Tahun). Akan tetapi, tahun 1997 sistem politik otoriter yang
dibangun dan dipimpin oleh Soeharto dihadapkan dengan krisis ekonomi yang
berdampak menjadi krisis multidimensional. Dampak dari adanya krisis ekonomi
menyebabkan nilai rupiah jatuh. Nilai tukar rupiah merosot drastis, dan bahkan
menyentuh angka di atas Rp 16.500 per dolar AS. Situasi krisis yang memuncak
inilah yang menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
B. Proses
Pelimpahan Kekuasaan kepada B.J. Habibie sebagai Presiden Pengganti
Sejak tahun 1968 Soeharto telah enam kali menjabat
sebagai presiden. Krisis ekonomi tahun 1997, hampir membuat seluruh bidang
kehidupan terkena krisis kepercayaan yang luar biasa. Bidang hukum misalnya,
hukum telah menjadi politik kekuasaan, sehingga jaminan keadilan dan kebenaran
seolah-seolah hanya merupakan sebuah mimpi. Aturan hukum disalah gunakan
seenaknya sendiri demi menjaga stabilitas kekuasaan. Dalam bidang ekonomi,
kesempatan berusaha bagi setiap pelaku ekonomi merupakan sesuatu yang mustahil,
karena kegiatan ekonomi dalam skala dan volume yang besar telah dikuasai oleh
elit-elit ekonomi yang memiliki akses dan kedekatan dengan pemegang kekuasaan
politik.
Salah satu fenomena signifikan dan relevan untuk melihat
krisis pada tahun 1997 adalah fenomena gerakan manusia, yang di dalamnya
melibatkan mahasiswa. Adanya gerakan mahasiswa sebagai wujud gugatan terhadap
setiap bentuk ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Mereka menuntut agar
segera diadakan perbaikan ekonomi dan reformasi dalam segala bidang.
Rangkaian aksi dan kerusuhan mencapai puncaknya pada
tanggal 12 Mei 1998, banyak mahasiswa melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka
dihadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang menewaskan empat
orang mahasiswa. Tragedi ini menjadi pemicu bagi rangkaian kerusuhan yang lebih
besar yaitu pada tanggal 13-15 Mei 1998.[14] Ketika puncak
peristiwa kerusuhan itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo,
Mesir untuk mengadakan pertemuan KTT G-15. Tanggal 19 Mei 1998 di gedung
MPR/DPR diselenggarakan Rapat Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-Fraksi untuk
membahas soal permintaan pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto untuk mundur
yang dikemukan oleh Ketua DPR Harmoko sehari sebelumnya. Dalam pertemuan yang
berlangsung selama lima jam, akhirnya pimpinan Fraksi-Fraksi mendukung
permintaan pimpinan DPR kepada Presiden Soeharto, agar secara arif dan
bijaksana mengundurkan diri dan menekankan bahwa proses pengunduran diri itu
harus konstitusional. Tanggal 20 Mei 1998, pukul 16.30, sekitar 100 mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi menemui pimpinan MPR/DPR.[15] Pertemuan tersebut
menghasilkan kesepakatan untuk memberikan batas waktu bagi pengunduran diri
Presiden Soeharto sampai hari Jumat, 22 Mei 1998.
Kamis 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan berhenti
dari kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia, setelah terpilih secara
konstitusional untuk yang ketujuh kaliya dan telah memegang jabatan
kepresidenan selama 32 tahun. Sesuai pasal 8 UUD 1945, yang menyebutkan “Jika
Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia digantikan Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Berdasarkan
hal tersebut Wakil Presiden B.J. Habibie akan melanjutkan sisa waktu jabatan
Presiden Mandataris MPR.
C.
Pembentukaan
Kabinet Reformasi Pembangunan
Presiden B.J. Habibie
mengucapkan sumpah pengangkatan sebagai Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 Mei 1998. Langkah yang kemudian diambil setelah menjabat sebagai
presiden yaitu segera mengumumkan kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi
Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998.[16] Sesuai dengan pidato
pengantar yang disampaikan Presiden B.J. Habibie ketika mengumumkan susunan kabinet
pada 22 Mei 1998, kabinet tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan
mengambil kebijakan dan langkah-langkah yang proaktif untuk mengembalikan roda
pembangunan. Oleh karena itu, pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembanguan
adalah peningkatan kualitas, produktifitas, dan daya saing ekonomi rakyat,
dengan memberi peranan kepada perusahaan kecil, menengah, dan koperasi yang
telah terbukti memiliki ketahanan ekonomi yang lebih kuat dalam menghadapi
krisis. Hal tersebut dinilai tepat karena bila dilihat dari sudut manapun,
sektor informal-lah yang cenderung muncul sebagai penyelamat saat ada goncangan
ekonomi. Sasaran kerja Kabinet Reformasi Pembangunan dalam bidang ekonomi yaitu
mengatasi masalah-masalah yang mendesak akibat krisis ekonomi dan melanjutkan
serta mempercepat langkah-langkah reformasi.
III.
KEBIJAKAN
SOSIAL EKONOMI PRESIDEN B.J. HABIBIE DI INDONESIA TAHUN 1998-1999
A.
Keadaan
Ekonomi pada Masa Awal Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
Pemerintahan Presiden B.J.
Habibie pada tahun 1998-1999 merupakan masa transisi politik di Indonesia.
Kondisi Indonesia tahun 1998 sangat rumit dilihat dari berbagai aspek kehidupan
dan memerlukan pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.
Dalam bidang ekonomi Presiden B.J. Habibie harus mampu memperbaiki beberapa
masalah ekonomi yang terjadi akibat adanya krisis moneter.
Perekonomian Indonesia
pada saat awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie sudah di ambang kebangkrutan.
Produksi macet, tingkat suku bunga tinggi, perbankan dan lembaga-lembaga
keuangan lainnya bermasalah, cadangan devisa menipis karena ekspor tersendat,
pencairan pinjaman luar negeri yang telah disepakati mengalami penundaan,
banyak pengangguran, dan harapan rupiah akan menguat masih sebatas impian.
B.
Usaha
Presiden B.J. Habibie dalam Menangani Krisis Ekonomi
Garis besar program
pemerintahan kabinet Reformasi Pembangunan untuk kurun waktu sampai
terebentuknya pemerintahan baru, maupun program tahunan sebagaimana tertuang
dalam APBN sampai April 1999, masih harus merujuk pada komitmen kabinet
Pembangunan VII yaitu Repelita VII dan RAPBN 98/99 yang masih memerlukan
perbaikan.[17]
Terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, menyebabkan pemerintah
melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk memperbaiki dan melaksanakan
pembangunan ekonomi.
Selama setahun lebih
pemerintahan Presiden B.J. Habibie, upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi
krisis pada dasarnya mengacu pada saran dan hasil konsultasi dengan
International Monetary Fund (IMF). Secara garis besar kebijakan yang disarankan
oleh IMF yaitu dengan memperkuat sektor moneter melalui instrumen suku bunga
tinggi dan memperketat sektor fiskal.[18] Tujuan utamanya yaitu
bagaimana memberikan sedikit ruang gerak kepada spekulan agar stabilitas rupiah
dan stabilitas harga dapat dicapai. IMF memandang persoalan perekonomian
Indonesia itu berat, sehingga langkah yang cocok yaitu dengan pengetatan
ekonomi yang dilakukan serentak melalui jalur moneter dan fiskal. Biasanya
kebijakan pengetatan ekonomi hanya dilakukan pada salah satu sisi yaitu moneter
atau fiskalnya saja.[19]
Kebijakan moneter
bertujuan untuk menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi yang rendah,
dan peningkatan cadangan devisa. Sementara kebijakan fiskal difokuskan pada
pengetatan APBN.[20]
Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan pendapatan pajak non-migas serta
pengetatan anggaran belanja negara seperti pembatalan beberapa proyek
infrastruktur, penghentian perlakuan khusus bagi mobil nasional dan IPTN, serta
pengurangan subsidi impor sembilan bahan pokok (sembako).
C.
Kebijakan-kebijakan
Sosial Ekonomi yang dilakukan Presiden B.J. Habibie dalam Rangka Pembangunan
Ekonomi Indonesia
Kebijakan ekonomi yang
dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie pertama-tama diarahkan pada usaha
mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh besarnya hutang luar negeri
swasta dan lemahnya sektor perbankan. Selanjutnya kebijakan diarahkan kepada
upaya memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diterapkan
oleh Presiden B.J. Habibie untuk menangani krisis ekonomi Indonesia yaitu dengan
cara menaikkan tingkat suku bunga SBI. Tingkat atau perubahan suku bunga SBI
menjadi salah satu indikator dalam menentukan kebijakan moneter, apakah akan
menggunakan kebijakan ekspansif (kebijakan uang longgar) atau kontraktif
(kebijakan uang ketat).[21] Pemerintah
dan IMF pada akhirnya memilih memberlakukan kebijakan uang ketat guna
menghadapi situasi hiperinflasi. Bank Indonesia kemudian menerbitkan SBI yang
bunganya terus di naikan. Pada Agustus 1998 SBI mencapai 70%, dengan seiring
membaiknya perekonomian di Indonesia kebijakan uang ketat secara hati-hati
dilonggarkan oleh pemerintah. Penurunan tingkat suku bunga SBI dilakukan sejak
triwulan terakhir 1998,[22] hal itu didasarkan pada penurunan inflasi.
Inflasi turun dari sekitar 77,60% selama 1998 menjadi hanya sekitar 2,00% pada
tahun 1999.
Banyaknya jumlah uang yang
beredar di masyarakat akhirnya membuat pemerintahan Presiden B.J. Habibie
mengambil kebijakan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara
menaikan suku bunga SBI. Dengan diterapkannya suku bunga yang tinggi diharapkan
masyarakat mau menyimpan kembali uangnya di bank, sehingga jumlah uang yang
beredar di masyarakat berkurang. Banyaknya jumlah uang yang beredar dapat
menyebabkan timbulnya inflasi.
Krisis moneter yang
melanda Asia menyebabkan nilai tukar rupiah merosot hingga Rp. 16.500 pada masa
awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Guna mengatasi masalah tersebut
pemerintah melalui BI menerapkan kebijakan menaikan nilai tukar rupiah. Sejak
awal pemerintahannya Presiden B.J. Habibie menganggap bahwa mata uang yang
stabil (mata uang yang berkualitas) adalah satu pilar utama dari perekonomian
yang sehat. stabilias nilai rupiah bersama dengan stabilitas harga atau laju
inflasi yang tekontrol merupakan dua syarat penting bagi pencapaian kelangsungan
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas perekonomian nasional.[23] Pada tahun 1970
pemerintah Indonesia menempuh kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Sejalan dengan kebijakan penghapusan batas
pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan internasional, sistem nilai tukar
Indonesia secara bertahap dilonggarkan untuk menyesuaikan dengan perbedaan
inflasi (harga) di Indonesia dengan negara lain. Untuk mengakomodasi hal itu,
sejak 15 November 1978, sistem nilai tukar diubah menjadi sistem nilai tukar
mengambang terkendali (managed floating
exchange rate) dengan mengkaitkan kurs rupiah dengan mata uang negara lain.
Sistem nilai tukar
mengambang terkendali yaitu kurs ditentukan oleh mekanisme pasar dengan adanya
campur tangan pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui kebijakan moneter.
Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs pembatas dan membiarkan kurs
bergerak di pasar dengan rentang tertentu. Pemerintah hanya melakukan
intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari rentang
tersebut. Selama menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali, beberapa
kali kurs rupiah mengalami devaluasi. Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan
dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah
memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang
terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada
tanggal 14 Agustus 1997.[24] Penghapusan
rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi
pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam
negeri.
Terjadinya krisis keuangan
yang melanda Indonesia sejak 1997 telah membuat kondisi perekonomian menjadi
kacau. Pemerintah Indonesia mengupayakan penyelesaian krisis perbankan dengan
membentuk BPPN. Guna mencegah terjadinya krisis ekonomi yang lebih parah,
banyak bank-bank yang kemudian disuntikan dana BLBI oleh pemerintah untuk
menstabilkan perekonomian Indonesia. Sejak awal pembentukan kabinet Reformasi
Pembangunan, Presiden B.J. Habibie telah menyatakan bahwa Bank Indonesia
berkedudukan khusus dalam perekonomian dan harus independen serta tidak boleh
dicampurtangani oleh siapapun, termasuk presiden. Pemerintah kemudian merancang
undang-undang baru tentang bank sentral. Penyusunan aturan baru itu diserahkan
kepada DPR yang dibantu oleh tenaga profesional dari bank sentral Jerman, yaitu
Bundesbank.[25]
Bundesbank dikenal sebagai bank sentral yang paling ideal. Undang-Undang No. 23
Tahun 1999 menetapkan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral Republik
Indonesia. Indonesia hanya mempunyai satu bank sentral sesuai dengan penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia ditetapkan
sebagai lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau
pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
Undang-Undang. Upaya pemerintah dalam menyelasaikan masalah utang luar negeri
sektor swasta dicapai melalui kesepakatan Frankfurt pada Juni 1998. Pendekatan
penyelesaian utang swasta dilakukan dengan membentuk Lembaga Penyelesaian
Penjadwalan Utang Indonesia atau yang dikenal dengan Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) yang merupakan skema
peyelesaian utang luar negeri swasta.[26] Pada
September 1998 pemerintah meluncurkan program Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative) untuk
memperlancar program INDRA. Program ini merupakan kelanjuan dari upaya yang
telah dilakukan sebelumnya, termasuk melalui INDRA dengan tujuan mendorong
perusahaan debitur melakukan restrukturisasi usaha, khususnya yang menyangkut
struktur utang.
Guna merealisasikan
demokrasi ekonomi dan menciptakan landasan agar tumbuh persaingan yang sehat
dan efisien, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat pada tanggal 5
Maret 1999. Undang-Undang ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu dan mencegah terjadinya
persaingan yang tidak sehat.[27] Guna melindungi kepentingan konsumen,
pemerintah mengesahkan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, yang
mewajibkan produsen mencantumkan informasi yang lengkap tentang produk yang
dihasilkannya. Harapan dari adanya Undang-Undang tersedut adalah terwujudnya
wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor,
pengecer, pengusaha/perusahaan dan sebagainya) yang harmonis dan saling
menghargai.[28]
Terjadinya krisis ekonomi
membuat pemerintah sangat hati-hati dalam menggunakan dana APBN. Pemerintah
mengambil kebijakan meningkatkan pendapatan melalui pajak non-migas dan
melakukan pengetatan anggaran belanja negara seperti pembatalan beberapa proyek
infrastruktur, penghentian perlakuan khusus bagi mobil nasional dan IPTN, serta
pengurangan subsidi impor sembako. Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang
penanggulangan krisis di bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dari
krisis ekonomi, pemerintah melaksanakan program JPS. Program JPS merupakan
upaya yang ditempuh melalui berbagai bidang intervensi maupun kegiatan agar
masyarakat tidak semakin terpuruk, sehingga secara bertahap mampu mengangkat
kondisi sosial ekonominya. Presiden B.J. Habibie juga mengupayakan kerjasama
dan dukungan badan-badan internasional serta negara-negara sahabat untuk
mengatasi krisis dan pemulihan perekonomian nasional. Kerjasama tersebut
seperti melalui Association of Southeast
Asian Nations (ASEAN), Asia Pasific
Economic Cooperation (APEC), Asia
Eropa Meeting (ASEM), World Trade
Organization (WTO), World Bank,
dan IMF.[29]
IV.
DAMPAK
KEBIJAKAN EKONOMI PRESIDEN B.J. HABIBIE
Tingkat keberhasilan kebijakan ekonomi
Presiden B.J. Habibie belumlah berhasil dengan maksimal, hal ini terlihat dari
masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi.
A.
Kendala-Kendala
Pemulihan Ekonomi Indonesia
Besarnya utang swasta baik
di dalam maupun di luar negeri tidak mudah untuk direkonstrukturisasi,
permasalahannya disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang
perusahaan karena melibatkan ratusan perusahaan dalam negeri dan kreditur di
banyak negara dan perubahan kurs yang sewatu-waktu terjadi karena mnguatnya
rupiah juga menjadi sebab susahnya pelunasan utang. Kendala dalam menentukan
kurs rupiah yang stabil yang pertama dikarenakan pencairan dana dari IMF yang
diangsur sercara perlahan-lahan terlalu kecil angkanya.
Kebijakan rekapitalisasi
perbankan masih menghadapi kendala yang berat berupa negative spread, yaitu
suku bunga pinjaman lebih rendah dari suku bunga deposito, karena Bank
Indonesia (BI) tidak bisa menurunkan suku bunga dengan cepat tetapi secara
perlahan dan disesuaikan dengan penguatan rupiah dan penurunan inflasi. Dana
BLBI yang diberikan dengan maksud sebagai pinjaman terakhir untuk menyelematkan
bank dari masalah finansialnya, sebagian besar dana tersebut tidak bisa
dikembalikan kepada BI.[30] Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) juga
menghadapi permasalahan dalam hal efektifitas dan pencapaian kepada kelompok
sasaran serta pemantauannya.[31]
B. Dampak
Kebijakan Ekonomi Masa Presiden B.J. Habibie
Kebijakan yang telah
dilaksanankan untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada
tahun 1998 ternyata juga menimbulkan banyak pengaruh bagi kehidupan masayarakat
baik secara sosial maupun ekonominya. Selama tahun 1999 proses stabilisasi
ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang
berat sejak pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil,
perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta
kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi
pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional.
Nilai tukar rupiah menguat dan relatif stabil dari rata-rata Rp. 8.025 per
dolar AS pada tahun 1998 menjadi sekitar Rp. 7.809 per dolar AS pada tahun
1999,[32]
dengan fluktuasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Stabilnya nilai
rupiah antara lain berkat terkendalinya jumlah uang beredar. Meskipun terjadi
perubahan iklim politik yang sangat penting dalam tahun 1999 antara lain
sebagai hasil dari pelaksanaan pemilu, jajak pendapat Timor Timur, dan Sidang
Istimewa MPR, perekonomian masih dapat tumbuh walaupun relatif rendah.
Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I, II, III, dan IV tahun 1999 berturut-turut
-7,7%, 3,7%, 1,2%, dan 5,0% meningkat dibandingkan dengan triwulan yang sama
tahun sebelumnya.
Pada bulan Agustus 1999
tingkat kemiskinan telah turun menjadi 37,5 juta karena turunnya harga-harga
yang berakibat pada menurunnya garis kemiskinan. Garis kemiskinan di daerah
perkotaan pada Februari tahun 1999 adalah Rp. 92.409 dan Rp. 74.274 di daerah
pedesaan. Sampai Agustus 1999 garis kemiskinan turun menjadi Rp. 89.845 untuk
perkotaan dan Rp. 69.420 untuk pedesaan.[33]
Garis kemiskinan turun karena turunnya harga-harga terutama harga pangan sejak
triwulan II tahun 1999. Penurunan jumlah penduduk miskin tentunya tidak hanya
dikarenakan adanya program jaring pengaman sosial tapi juga karena adannya
beberapa program pengentasan kemiskinan lain yang bersifat sektoral.
Agenda pemilu tahun 1999
yang berjalan lancar dan stabil telah mampu membuat kepercayaan investor untuk
mulai menanamkan modalnya. Pemilu yang dikhawatirkan akan menimbulkan
gejolak-gejolak dan pecahnya kekacauan sosial seperti bulan Mei 1998 serta
kevakuman pemerintahan selama periode antara pemilu hingga pelaksanaan
pemerintahan pada November 1999 ternyata tidak terjadi.
V.
KESIMPULAN
Krisis ekonomi menjalar menjadi krisis
multidimensional. Dampak dari ketidak mampuan rezim Soeharto dalam menangani
krisis ekonomi tersebut menyebabkan rezim ini tidak lagi dipercaya oleh rakyat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan
sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Rangkaian aksi dan
kerusuhan mencapai puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998, banyak mahasiswa
melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka dihadang oleh aparat keamanan, dan
terjadilah bentrokan yang menewaskan empat orang mahasiswa. Tragedi ini menjadi
pemicu bagi rangkaian kerusuhan yang lebih besar yaitu pada tanggal 13-15 Mei
1998. Ketika puncak peristiwa kerusuhan itu terjadi, Presiden Soeharto sedang
berada di Kairo, Mesir untuk mengadakan pertemuan KTT G-15.
Akibat tekanan yang sangat besar dari
masyarakat Indonesia, maka pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan
berhenti sebagai Presiden. Sesuai pasal 8 UUD 1945, yang menyebutkan “Jika
Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia digantikan Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Berdasarkan
hal tersebut maka Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian ditunjuk untuk
melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden. Presiden B.J. Habibie mengucapkan
sumpah pengangkatan sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei
1998. Langkah yang kemudian diambil setelah menjabat sebagai Presiden yaitu
segera mengumumkan kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan
pada tanggal 22 Mei 1998. Sasaran kerja Kabinet Reformasi Pembangunan dalam
bidang ekonomi yaitu mengatasi masalah-masalah yang mendesak akibat krisis ekonomi
dan melanjutkan serta mempercepat langkah-langkah reformasi.
Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh
Presiden B.J. Habibie pertama-tama diarahkan pada usaha mengatasi krisis
ekonomi yang disebabkan oleh besarnya hutang luar negeri swasta dan lemahnya sektor
perbankan. Selanjutnya kebijakan diarahkan kepada upaya memperkuat ketahanan
ekonomi Indonesia. Garis besar program pemerintahan kabinet Reformasi
Pembangunan untuk kurun waktu sampai terebentuknya pemerintahan baru, maupun
program tahunan sebagaimana tertuang dalam APBN sampai April 1999, masih harus
merujuk pada komitmen kabinet Pembangunan VII yaitu Repelita VII dan RAPBN
98/99 yang masih memerlukan perbaikan. Terjadinya krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, menyebabkan pemerintah melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk
memperbaiki dan melaksanakan pembangunan ekonomi.
Selama setahun lebih pemerintahan Presiden
B.J. Habibie, upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi krisis pada dasarnya
mengacu pada saran dan hasil konsultasi dengan International Monetary Fund
(IMF). Secara garis besar kebijakan yang disarankan oleh IMF yaitu dengan
memperkuat sektor moneter melalui instrumen suku bunga tinggi, mengatur jumlah
uang beredar, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, penyelesaian utang swasta,
dan memperketat sektor fiskal melalui pengetatan pengeluaran APBN dan pemberian
Jaring Pengaman Sosial bagi masyarakat yang terkena dampak krisis. Usaha
Presiden B.J. Habibie dalam rangka melaksanakan reformasi ekonomi mencakup
usaha mengatasi krisis ekonomi, memberdayakan ekonomi rakyat, memperkuat
kelembagaan perekonomian, mendorong persaingan sehat, sampai pemberantasan
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis.
Usaha tersebut juga dilengkapi dengan
perubahan struktural yang mencakup restrukturisasi perbankan dan hutang luar
negeri swasta. Dalam aspek kelembagaan berbagai Undang-Undang yang mendorong
kegiatan ekonomi yang efisien dan sehat juga telah disahkan. Undang-Undang
tersebut antara lain: UU Perbankan, UU Kepailitan, UU Perlindungan Konsumen, UU
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Bank Indonesia
dan UU Lalu lintas Devisa dan Sistem Nilai tukar.
Upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan
oleh Kabinet Reformasi Pembangunan tentunya mengalami beberapa kendala.
Besarnya utang swasta baik di dalam maupun di luar negeri tidak mudah untuk
direkonstrukturisasi, permasalahannya disebabkan oleh rumitnya program
restrukturisasi utang perusahaan karena melibatkan ratusan perusahaan dalam
negeri dan kreditur di banyak negara dan perubahan kurs yang sewatu-waktu
terjadi karena mnguatnya rupiah juga menjadi sebab susahnya pelunasan utang.
Kendala dalam menentukan kurs rupiah yang stabil yang pertama dikarenakan
pencairan dana dari IMF yang diangsur sercara perlahan-lahan terlalu kecil
angkanya.
Kebijakan rekapitalisasi perbankan masih
menghadapi kendala yang berat berupa negative spread, yaitu suku bunga pinjaman
lebih rendah dari suku bunga deposito, karena Bank Indonesia (BI) tidak bisa
menurunkan suku bunga dengan cepat tetapi secara perlahan dan disesuaikan
dengan penguatan rupiah dan penurunan inflasi. Program Jaring Pengaman Sosial
(JPS) juga menghadapi permasalahan dalam hal efektifitas dan pencapaian kepada
kelompok sasaran serta pemantauannya.
Kebijakan yang telah dilaksanankan untuk
menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 ternyata
juga menimbulkan banyak pengaruh bagi kehidupan masayarakat baik secara sosial
maupun ekonominya. Selama tahun 1999 proses stabilisasi ekonomi Indonesia
berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak
pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan
sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi
perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan
kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Nilai tukar
rupiah menguat dan relatif stabil dari rata-rata Rp. 8.025 per dolar AS pada
tahun 1998 menjadi sekitar Rp. 7.809 per dolar AS pada tahun 1999, dengan
fluktuasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Stabilnya nilai rupiah
antara lain berkat terkendalinya jumlah uang beredar.
Meskipun terjadi perubahan iklim politik
yang sangat penting dalam tahun 1999 antara lain sebagai hasil dari pelaksanaan
pemilu, jajak pendapat Timor Timur, dan Sidang Istimewa MPR, perekonomian masih
dapat tumbuh walaupun relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I, II,
III, dan IV tahun 1999 berturut-turut -7,7%, 3,7%, 1,2%, dan 5,0% meningkat
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pada bulan Agustus
1999 tingkat kemiskinan telah turun menjadi 37,5 juta karena turunnya
harga-harga yang berakibat pada menurunnya garis kemiskinan. Garis kemiskinan
di daerah perkotaan pada Februari tahun 1999 adalah Rp. 92.409 dan Rp. 74.274
di daerah pedesaan. Sampai Agustus 1999 garis kemiskinan turun menjadi Rp.
89.845 untuk perkotaan dan Rp. 69.420 untuk pedesaan. Garis kemiskinan turun
karena turunnya harga-harga terutama harga pangan sejak triwulan II tahun 1999.
Penurunan jumlah penduduk miskin tentunya tidak hanya dikarenakan adanya
program jaring pengaman sosial tapi juga karena adannya beberapa program
pengentasan kemiskinan lain yang bersifat sektoral.
Agenda pemilu tahun 1999 yang berjalan
lancar dan stabil telah mampu membuat kepercayaan investor untuk mulai
menanamkan modalnya. Pemilu yang dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak
dan pecahnya kekacauan sosial seperti bulan Mei 1998 serta kevakuman
pemerintahan selama periode antara pemilu hingga pelaksanaan pemerintahan pada
November 1999 ternyata tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Laporan
Tahunan Bank Indonesia 1998/1999.
Laporan
Tahunan Bank Indonesia Periode 1999.
Pendapatan
Nasional Indonesia Tahun 1998-2001, BPS, Jakarta.
Statistik
Indonesia Tahun 1999.
Buku
Abdul Hakim G.
Nusantara dan Benny K. Harman. (1999). Analisa dan Perbandingan
Undang-Undang Anti Monopoli. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ahmad Mukhlis
Yusuf. (2008). Presiden RI ke II: Jendral Besar H. M. Soeharto dalam Berita.
Jakarta: Antara Pustaka Utama.
Anas
Urbaningrum. (1999). Ranjau-Ranjau Reformasi: Potret Konflik Politik pasca
Kejatuhan Soeharto. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anggito
Abimanyu. (2000). Ekonomi Indonesia Baru: Kajian dan Alternatif Solusi
menuju Pemulihan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Arwan Tuti
Artha. (2007). Kudeta Mei’98: Perseteruan Habibie-Prabowo. Yogyakarta:
Galangpers.
Bacharuddin
Jusuf Habibie. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
Dudung Abdurrahman.
(1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Eric Hiariej.
(2005). Materialisme Sejarah Keruntuhan Soeharto. Yogyakarta: IRE Press.
Faisal Basri.
(2002). Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani. (2000). Hukum tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hasan Sadily.
(1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Hendra
Halwani, R. (2002). Ekonomi Internasional dam Globalisasi Ekonomi. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
I Putu Gede
Ary Suta dan Soebowo Musa. (2003). Membedah Krisis Perbankan. Jakarta:
Yayasan SAD Satria Bhakti.
Kuntowijoyo.
(2003). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Luhulima,
James. (2008). Hari-hari Terpanjang: Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto.
Jakarta: Kompas.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Lembaga Informasi Nasional.
Makmur Makka,
A. (2009). Testimoni Untuk B.J. Habibie. Yogyakarta: Ombak.
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. (2011). Sejarah Nasional
Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
Miriam
Budiardjo. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Sidi Gazalba.
(1981). Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara.
Soedradjat
Djiwandono, J. (2006). Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999.
Jakarta: Bank Indonesia.
Suwarsono.
(2012). Sejarah Politik Indonesia Modern. Yogyakarta: Ombak.
Syamsul Hadi,
dkk. (2004). Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Obor.
Tony
Prasetiantono, A. (2000). Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tulus T.H.
Tambunan. (2011). Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis
Empiris. Bogor: Ghalia Indonesia.
Koran
Bernas,
25 November 1998.
Kompas,
18 November 1999.
Suara
Karya, 23 Mei 1998.
Gatra, 30
Mei 1998.
Internet
Lepi T.
Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia:
Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran” Tersedia dalam http://www.academia.edu/5221392/KRISIS_MONETER_INDONESIA_SEBAB_DAMPAK_PERAN_IMF_DAN_SARAN_
Diakses pada tanggal 8 Desember 2014
Ginanjar
Kartasasmita “Perkembangan Perekonomian Indonesia dalam Masa Kabinet Reformasi
Pembangunan” Tersedia dalam http://www.ginandjar.com/public/11PerkembanganPerekIndonesiaDlmReformasi.pdf.
Diakses pada tanggal 28 Februari 2015.
[2] Anas Urbaningrum, Ranjau-ranjau
Reformasi: Potret Konflik Politik pasca Kejatuhan Soeharto. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 38.
[3] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (Jakarta: Lembaga Informasi Nasional, 2002), hlm. 5.
[4] Faisal Basri, Perekonomian
Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. (Jakarta:
Erlangga, 2002), hlm. 44.
[5] Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
(Jakarta: THC Mandiri, 2006), hlm. 150.
[7] Arwan Tuti Artha, Kudeta
Mei’98: Perseteruan Habibie-Prabowo. (Yogyakarta: Galangpers, 2007), hlm.
58.
[9] Kuntowijoyo, Pengantar
Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2003), hlm. 90.
[13] Eric Hiariej, Materialisme Sejarah Keruntuhan Soeharto. (Yogyakarta:
IRE Press, 2005), hlm. 53-55.
[14] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman
Jepang dan Zaman Republik. (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), hlm. 669.
[16] Suara Karya, 23
Mei 1998.
[17] Ahmad Mukhlis Yusuf, Presiden RI ke II: Jendral Besar H. M. Soeharto dalam Berita.
(Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008), hlm. 674.
[18] J. Soedradjad Djiwondo, dkk, Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999. (Jakarta: Bank
Indonesia, 2006), hlm. 18.
[19] A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000), hlm. 3
[20] Syamsul Hadi, dkk, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. (Jakarta: Granit, 2004),
hlm.
[21] Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 273.
[22] Bernas, 25
November 1998
[23] Tulus T.H. Tambunan, op.cit., hlm. 281.
[24] I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan. (Jakarta:
Yayasan SAD Satria Bhakti, 2003), hlm.217.
[25] Gatot Triyanto dan Yunizar Djoenaid, “Mengembalikan
yang Hilang: Pemerintah Bertekat Membuat BI Independen Seperti Bundesbank”
dalam Gatra, 30 Mei 1998.
[27] Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Anti
Monopoli. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), hlm. 2.
[28] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. (Jakata: Gramedia Pustaka
Utama, 2000), hlm. 1-3.
[29] R. Hendra
Halwani, Ekonomi Internasional dam
Globalisasi Ekonomi. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 319.
[30] Anggito Abimanyu,
Ekonomi Indonesia Baru: Kajian dan Alternatif Solusi menuju Pemulihan.
(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 53.
[32] Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999, op.cit., hlm. 68-69.