Historiografi Tradisional
Babad Tanah Jawi
Historiografi
tradisional biasanya ditulis pada masa kerajaan-kerajaan kuno. Penulisnya
adalah para pujangga atau seorang pejabat dalam struktur birokrasi tradisional
yang bertugas menyusun sejarah dalam
bentuk babad
ataupun hikayat.
Salah satu contoh historiografi tradisional Indonesia adalah Babad Tanah
Jawi yang diterjemahkan dari buku yang berjudul
Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit
Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647 yang disusun oleh W.L. Olthof di
Leiden, Belanda pada tahun 1941.
Babad adalah karya tulis yang menceritakan tentang pendirian sebuah negara
atau kerajaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar kerajaan tersebut.
Tidak salah jika seringkali memuat sejarah serta asal-usul tokoh atau raja
serta para leluhurnya, bahkan terkadang berkesan menceritakan secara
berlabihan, maka babad sering juga dianggap sebagai alat legitimasi bagi raja
yang berkuasa.
Teks Babad Tanah Jawi menceritakan
tentang asal usul Senopati, pendiri dinasti Mataram, petualangan Senopati sebelum menjadi
Raja Mataram dan raja-raja
pengganti Senopati. Pada masa lalu raja-raja
di tanah Jawa dikenal gemar memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya
sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaannya. Silsilah Senopati
yang tidak kepalang tanggung dari Nabi Adam hingga dewa-dewa agama Hindu, merupakan
sebuah sinkretisme antara ajaran Hindu-Budha dan Islam. Silsilah tersebut memperlihatkan
bahwa dinasti Mataram adalah keturunan dari tokoh-tokoh luar biasa yaitu kelompok pertama
adalah kelompok Nabi, kemudian diikuti kelompok dewa dan raja dalam pewayangan, kelompok
berikutnya adalah raja Kediri, kemudian
Pajajaran dan Majapahit.
Dari dinasti Majapahit itulah dinasti Mataram mengaku berasal. Adapun raja
Majapahit yang diakui sebagai yang menurunkan raja-raja Mataram adalah raja
Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V. Dalam buku Babad Tanah Jawi semua
kejadian tidak pernah lepas dengan hal-hal yang terjadi di pulau Jawa.
Namun yang menjadi
masalah bagi kebanyakan pembaca yaitu masalah bahasa yang digunakan dalam
cerita Babad Tanah Jawi sulit dipahami karena bahasanya banyak menggunakan
bahasa yang masih asing didengar seperti; puput,
kalam,campuh, mbalelo, sinewaka, prasapa,
dan lainya sehingga harus bekerja keras dalam menafsirkannya.
Berdasarkan buku Babad Tanah Jawi dapat ditarik
kesimpulan bahwa ciri-ciri historiografi tradisional Indonesia yaitu:
1.
Penulisannya bersifat istana sentris.
Ceritanya
beberpusat pada raja
atau keluarga raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang
berkuasa. Contohnya dalam Babad
Tanah Jawi menerangkan tentang pemerintahan di kerajaan Mataram
dan raja-rajanya yang tidak
luput dengan cara legitimasi
kekuasaannya. Seperti pada
saat pendirian Mataram oleh Ki
Ageng Pemanahan yang mendapat restu dari leluhur lewat buah degan yang bisa
berbicara mengenai raja yang akan menguasai seluruh Jawa. (Babad Tanah Jawi, 2008:81)
2.
Yang di bicarakan kebanyakan menyangkut
kaum-kaum feodal atau bangsawan.
Dalam
Babat Tanah Jawi sering membahas tentang kadipaten dan para bupatinya yang bergejolak dalam perebutan kekuasaan.
3.
Bersifat religio-magis.
Maksudnya
menggabungkan antara agama dan hal-hal magis atau gaib. Contohnya dalam Babad Tanah Jawi yang menceritakan saat Senopati meminta bantuan kepada Nyai Roro
Kidul dan saat Ki Juru Martani
meminta bantuan ke Ki Sapu Jagad di gunung Merapi dalam proses legitimasi Mataram. (Babad Tanah Jawi, 2008:95)
4.
Umumnya berupa mitos ataupun legenda yang
terjadi diluar nalar manusia, Tempat
terjadinya peristiwa berada antara alam nyata dan kayalan.
Dalam
Babad tanah jawi ada bagian yang menceritakan tentang Ki Ageng Sela yang bisa menangkap petir,
kemudian saat Senopati bermalam di Laut Kidul saat meminta bantuan Nyai Roro
Kidul untuk mendukungnya dalam
proses pendirian mataram. (Babad Tanah Jawi, 2008: 95-98)
5.
Raja atau pemimpin dianggap mempunyai
kekuatan gaib dan kharisma (sakti).
Sang
tokoh cerita terkadang dipandang sebagai sosok manusia setengah dewa. Dalam
Babad Tanah Jawi kesaktian Senopati yang luar biasa akibat bantuan dari Nyai Roro
Kidul. Kemudian cerita mengenai Sultan
Agung yang sakti mandraguna. (Babad Tanah Jawi, 2008: 145)
6.
Kebanyakan karya-karya tersebut kuat
dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil
biografis.
Genealogi
Senopati pendiri dinasti Mataram yang ditarik ke atas sampai ke nabi Adam dan tokoh-tokoh pewayangan. Namun cerita dalam Babad Tanah Jawi tidak Kronologis,
misalnya pada bagian pertengahan tiba-tiba tokoh Sunan Kalijaga muncul kembali.
7.
Memiliki subjektifitas yang tinggi
Sebab penulis hanya mencatat peristiwa
penting di kerajaan dan atas
permintaan sang raja. Biasanya tujuan penulisan sejarah tradisional untuk
menghormati dan meninggikan kedudukan raja. Penulis Babat Tanah Jawi ini lebih condong ke
Mataram dan dijadikan sebagai
alat legitimasi Raja yang berkuasa.
8.
Bersifat melegitimasi
(melegalkan/mengesahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali tidak cocok dengan
kenyataan.
Hal
tersebut dibuktikan dalam Babad Tanah Jawi yang menceritakan tentang cara
legitimasi kerajaan Mataram
yang menggunakan
silsilah, dukungan mitos
atau restu leluhur, dan penggunaan gelar.
9.
Menonjolkan unsur politik semata untuk
menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
Konsep
kekuasaan raja Jawa yang berbudi bawa
leksana, anbeg adil para marta. Yang
menjelaskan bahwa seorang raja itu harus adil dan bijaksana. Hal tersebut dapat
ditemukan dalam Babat Tanah Jawi yang menceritakan pada masa pemerintahannya
Sultan Agung negara Mataram begitu gemah
ripah loh jinawi, dan beliau terkenal sebagai raja yang ambeg adil pramarta yang melebihi
ayahnya. (Babad Tanah Jawi, 2008: 145)
10.
Bersifat kedaerahan
Maksudnya
banyak dipengaruhi apa yang terdapat di daerah tersebut. Misalnya oleh
cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut. Seperti cerita
tentang Nyai
Roro Kidul dan Ki Sapu Jagat.
11.
Sumber-sumber datanya sulit untuk
ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
Misalnya apakah Nyai
Roro Kidul itu benar-benar ada?
Dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa suatu karya Sastra dapat dijadikan salah satu sumber sejarah,
karena bisa menggambarkan keadaan masa lalu. Penulisan Babad
dapat dikatakan sebagai sebuah genre atau aliran dalam sastra dan historiografi Indonesia. Namun, penulisan buku Babad Tanah Jawi
terlalu subyektif hanya berpusat pada cerita-cerita tentang Mataram. Babad Tanah
Jawi merupakan sebuah bentuk legitimasi yang dilakukan oleh Sultan Agung untuk
memperkuat kedudukan Mataram sebagai
salah satu kerajaan yang berpengaruh di tanah
Jawa.
Sumber:
H.R Sumasono, 2008, Babad tanah jawi,
Yogyakarta: Narasi.
Moedjanto, 2002, Konsep Kekuasaan
Jawa, Yogyakarta: Kanisius.
Danar Widiyanta, 2002, Diklat Perkembangan
Historiografi, Yogyakarta: UNY.