A. Deskripsi Objek
Kota kecil Rengasdengklok terletak sekitar 20 kilometer ke arah utara kota Karawang. Wilayah administrasi pemerintahannya pernah dijadikan kawedanan, namun kini hanya menjadi kecamatan. Sebagai kota kecil Rengasdengklok berada di wilayah Desa Rengasdengklok (yang kini menjadi Desa Rengasdengklok Utara dan Rengasdengklok Selatan). Kedua desa itu termasuk desa kota di Kecamatan Rengasdengklok.
Rengasdengklok dalam berbagai sumber memiliki sejarah yang istimewa. Wilayahnya di bagian utara yang termasuk Kecamatan Batujaya/Pakisjaya dan Kecamatan Pedes/Cibuaya, pada akhir masa prasejarah sudah memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dengan temuan-temuan artefak di daerah tersebut.
Rangkaian sejarah yang mewarnai daerah ini mencapai puncaknya setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Kota Rengasdengklok sebagai ibukota kawedanan memiliki catatan tersendiri dalam peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehari sebelum proklamasi dikumandangkan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, di kota kecil ini pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi dua peristiwa penting.
Peristiwa pertama adalah keberadaan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ibu Fatmawati disertai Guntur Soekarnoputra yang dibawa oleh para pemuda dan PETA (Pembela Tanah Air) setelah mereka gagal meyakinkan bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu dan mendesak kedua pemimpin bangsa Indonesia tersebut untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Perjalanan rombongan Sukarni, Yusuf Kunto, Ir. Soekarno, Ibu Fatmawati, Guntur, Drs. Moh. Hatta dikawal sebuah mobil dari Jakarta. Sampai perbatasan kota (di daerah Cakung) terjadi pergantian pengawal. Akhirnya diambil alih oleh Peta Daidan Purwakarta. Sedangkan mobil dari Jakarta hasil pinjaman dari Danuasmoro dikirim kembali ke Jakarta. Ada beberapa penumpang dari rombongan tersebut terpaksa dipindahkan dan pakaiannya juga berganti pakaian Peta, untuk menjaga kemungkinan apabila ada pertanyaan dari pihak petugas. Hal ini dilakukan untuk menjaga keselamatan dalam perjalanan. Pergantian pakaian tersebut dilakukan di daerah Cakung, yang merupakan perbatasan antara Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta. Sebagai penghubung antara Daidan Jakarta dengan Cudan Rengasdengklok waktu itu termasuk wilayah pengawasan Peta dari Daidan Purwakarta.
Peristiwa kedua adalah peristiwa perebutan kekuasaan yang dilakukan masyarakat setempat. perebutan kekuasaan tidak selalu berarti harus disertai pertempuran dan pertumpahan darah. Perebutan kekuasaan di Rengasdengklok berlangsung damai yang ditandai dengan penurunan lambang negara yang berkuasa yakni Hinomaru (bendera Jepang).
Proklamasi Kemerdekaan di Rengasdengklok itu, dilakukan oleh rakyat Rengasdengklok bersama Peta Rengasdengklok yang tidak lagi tunduk kepada Jepang. Di Rengasdengklok sudah berkibar bendera tunggal, yaitu Sang Saka Merah Putih. Pemimpin pemerintahan dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri yang bersih dari bangsa lain. Oleh karena itu, di Rengasdengklok-lah lahirnya Republik Indonesia.
Pada pagi itu, di halaman pendopo Kawedanan Rangasdengklok diselenggarakan upacara penurunan bendera Jepang, Hinomaru, dan digantikan dengan penaikan Sang Saka Merah Putih disertai pernyataan “Merdeka” oleh camat setempat.
Peristiwa ini luput diketahui oleh kedua pemimpin bangsa Indonesia, meskipun jarak kedua tempat tersebut hanya sekitar satu kilometer namun kedua pemimpin bangsa tersebut tidak mengetahuinya. Saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta, serta Ibu Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra berada di rumah salah seorang penduduk setempat, tidak jauh dari asrama PETA Rangasdengklok.
B. Peristiwa Rengasdengklok
Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Berita tentang kekalahan Jepang ini masih dirahasiakan oleh Jepang. Namun demikian para pemimpin pergerakan dan pemuda Indonesia lewat siaran luar negeri telah mengetahui pada tanggal 15 Agustus 1945. Untuk itu lah para segera ingin menemui dan mengkompromikan masalah kemerdekaan kepada Soekarno dan Hatta. Maksudnya ialah agar kemerdekaan Indonesia lepas dari prasangka “pemberian Jepang” dan diproklamirkan secepatnya. Jepang pernah menjanjikan kepada pemimpin politik Indonesia bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan setelah tanggal 22 Agustus 1945. Disinilah golongan muda menilai janji tersebut seperti pemberian dan tidak ada jaminan Jepang bakal menunaikan janjinya.
Golongan muda terdiri dari beberapa tokoh seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati, Darwis, Suroto Kunto, AM. Hanafie, Djohan Nur, Subadio, dll. Sehari sebelum pengamanan Sukarno dan beberapa tokoh golongan tua lainnya, 15 Agustus 1945, ada pertemuan di Asrama Baperki (Badan Perwakilan Pelajar Indonesia) di sekitar Cikini 71. Beberapa tokoh golongan muda hadir pada pertemuan ini, termasuk Chaerul Saleh.
Hasil dari pertemuan itu antara lain, kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan melalui Proklamasi dan agar disampaikan atas nama Rakyat Indonesia. Dalam hal ini pemuda menginginkan prokalamasi tersebut dinyatakan oleh Bung Karno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Bukan atas nama PPKI yang merupakan kelanjutan dari BPUPKI bentukan Jepang.
Keesokan harinya ketika itu, sekitar pukul 04.00 WIB, 16 Agustus 1945, Bung Karno masih tertidur di kediamannya di Pegangsaan Timur 56 Cikini. Ia dibangunkan oleh Chaerul Saleh yang bertujuan untuk menjemput dan mengamankan Soekarno dan selanjutnya tokoh-tokoh lain. Kedua tokoh itu kemudian dibawa ke Rengasdengklok yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Karawang. Tempat ini dipilih karena sudah sejak lama menjadi pusat gerakan anti fasis. Di Rengasdengklok terdapat kelompok anti fasis yang bernama “Sapu Mas” yang dipimpin perwira PETA, Shudanco Umar Bahsan. Di Rengasdengklok juga merupakan basis tentara PETA yang sudah hilang pengaruhnya dari Jepang.
Selepas tiba di Rengasdengklok. Bung Karno dan Bung Hatta tidak menyetujui Proklamasi kemerdekaan diadakan saat itu juga. Dengan alasan bahwa proklamasi perlu dibicarakan dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Usul golongan muda dianggap tidak bisa diterima karena kurang perhitungan dan akan memakan korban jiwa yang banyak. Sebab meskipun telah menyerah, bala tentara Jepang masih berkuasa di berbagai tempat dan cukup kuat. Sebagai bukti pada 17 Agustus 1945 rapat rakyat di Lapangan Ikada yang sedianya digunakan untuk memproklamirkan kemerdekaan dibubarkan oleh Jepang dan pindah ke Pegangsaan Timur, Menteng.
Berdasarkan perundingan dan tercapainya kata sepakat antara Mr. Ahmad Subardjo dari golongan tua dengan Cudanco Subeno dari golongan pemuda, Mr. Ahmad subardjo menjamin bahwa Proklamasi akan diumumkan pada keesokan harinya, yakni tanggal 17 Agustus 1945 dan untuk itu, Ir. Sukarno dan Drs.Moh. Hatta dapat dibawa kembali ke Jakarta. Setelah dilakukan berbagai pembicaraan oleh Soekarno-Hatta, baik dengan pihak penguasa Jepang maupun dengan pemimpin-pemimpin Indonesia, diputuskan untuk segera merumuskan teks proklamasi. Golongan tua yang diamankan tersebut pun kembali diantarkan ke Jakarta. Awalnya para pemimpin PETA keberatan, namun seteah Mr. Ahmad Subardjo memberi kepastian bahwa Proklamasi akan diselenggarakan esok hari (17 Agustus) paling lambat pukul 12.00 WIB, baru pemimpin PETA percaya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Tadashi Maeda, seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang pro terhadap kemerdekaan Indonesia.
Pada waktu itu, hari telah beralih ke dini hari tanggal 17 Agustus 1945. Mereka yang merumuskan naskah proklamasi adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo. Setelah teks proklamasi selesai, lalu dibacakan dihadapan pemimpin-pemimpin Indonesia yang telah menunggu di ruang depan. Mengenai isinya, seluruh pemimpin Indonesia telah setuju, tetapi timbul persoalan siapa yang sebaiknya menandatangani Proklamasi ini. Sukarni yang mengusulkan agar teks proklamasi sebaiknya ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul itu diterima oleh seluruh hadirin, dan konsep itu kemudian diketik oleh Sayuti Melik.
Naskah yang telah diketik oleh Sayuti Melik dan kemudian ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta inilah yang merupakan naskah proklamasi yang otentik (sejati). Malam itu juga diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dibacakan di tempat kediaman Ir. Soekarno,yaitu Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Terkait dengan Peristiwa Rengasdengklok, ada sebuah fakta yang kiranya perlu dicermati. Bahwa pada tanggal 16 Agustus 1945 ada dua peristiwa penurunan bendera Hinomaru dan digantikan dengan bendera Indonesia (merah-putih). Satu di markas (Asrama PETA) Rengasdengklok, dan satu di kantor kawedanan setempat. Sehingga peristiwa ini oleh Sejarahwan disebut sebagai Pra-Proklamasi.
C. Monumen Kebulatan Tekad dan Rumah Djiaw Kie Siong
Peristiwa Rengasdengklok selain dapat dihayati melalui rumah persinggahan Bung Karno dan Bung Hatta juga lebih dapat dimaknai melalui monumen Tugu Kebulatan Tekad. Monumen ini dibangun di atas tanah seluas 1500 m2, yang merupakan bekas lokasi markas PETA di Kampung Bojong Tugu, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok. Lahan monumen berbentuk segitiga. Sudut di bagian timur merupakan jalan masuk ke areal monumen. Di depan jalan masuk ini jalan raya dari arah Karawang membentuk percabangan. Salah satu ruas jalan, yaitu yang berada di sisi utara areal monumen, agak menyerong dari arah timur mengarah ke barat sedikit ke utara. Ruas jalan lainnya dari persimpangan di depan areal monumen ke arah barat daya. Kedua ruas jalan ini sekaligus sebagai batas areal monumen. Sisi belakang monumen berbatasan langsung dengan tanggul Citarum.
Lingkungan sekitar monumen merupakan dataran rendah. Lokasi monumen berada pada koordinat 06° 09' 430" Lintang Selatan dan 107° 17' 340" Bujur Timur. Monumen dibangun pada tahun 1950. Pada tahun 1984 dilakukan pemugaran oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Karawang. Pemugaran terakhir dilakukan pada masa pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri.
Kondisi monumen berupa taman dengan bangunan tugu. Setelah memasuki pintu gerbang terdapat jalan setapak menuju bagian inti monumen. Di bagian depan sisi selatan terdapat tatanan batu yang membentuk angka 17, ditengah merupakan jalan setapak melingkar membentuk angka 8, dan di bagian utara terdapat tatanan batu membentuk angka 45. Tepat ditengah halaman terdapat Tugu Kebulatan Tekad berdiri di atas batur persegi berukuran 15 x 15 m. Pada tiap-tiap sudut batur terdapat tugu yang diatasnya terdapat bentuk bambu runcing. Tengah-tengah bagian sisi juga terdapat semacam tugu tetapi tidak dilengkapi bentuk bambu runcing.
Di tengah-tengah batur ini berdiri tugu Kebulatan Tekad yang bentuknya terdiri tiga bagian. Bagian bawah merupakan semacam alas berukuran 3 x 3 m disusun secara berundak-undak terdiri 5 undakan. Di atasnya merupakan bagian badan berbentuk kotak. Pada panil yang berada di depan terdapat teks proklamasi. Di atas bagian ini terdapat bentuk bola besar yang dikelilingi empat bola kecil pada setiap sudut. Pada bola besar terdapat tulisan 17 Agustus 1945. Di atas bola besar tersebut terdapat bentuk tangan (kiri) mengepal ke atas dengan telapak menghadap ke depan (arah pintu masuk). Bentuk seperti itu seakan-akan menggambarakan suatu teriakan “merdeka!”.
Di bagian latar belakang terdapat panil melengkung terdiri tiga bagian. Bagian ujung selatan terdapat relief yang menggambarkan peristiwa Jepang menyerah kepada Sekutu. Selanjutnya panil bagian tengah dihias relief yang menggambarkan peristiwa Rengasdengklok, yaitu persiapan menjelang proklamasi kemerdekaan RI. Pada panil bagian ujung utara relief menggambarkan peristiwa tanggal 16 Agustus 1945 hingga proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.
Selain Monumen Kebulatan Tekat, Rumah milik Djiaw Kie Siong yang dulu menjadi tempat singgah Bung Karno dan Bung Hatta sampai sekarang masih terawat dan terjaga keberadaannya, hanya lokasinya saja yang berubah karena lokasi yang lama sudah terkikis sungai Citarum. Rumah ini terletak enam kilometer dari pusat kota Karawang. Rumah yang saat ini memiliki luas 150 m2 ini, kini di kelilingi oleh rumah penduduk. Rumah tersebut dipindah ketempat yang lebih aman pada tahun 1957. Bentuk rumah, dinding kayu dan biliknya masih utuh, hal ini karena sang pemilik sangat menjaga nilai-nilai sejarah seperti yang diamanatkan oleh mendiang Djiaw Kie Siong pada anak cucunya agar tetap menjaga dan merawat rumah sejarah itu.
Pada mulanya Soekarno dan Hatta akan ditahan di Asrama PETA, tetapi karena kondisi asrama PETA yang terlalu sempit dan kurang baik maka dicarilah tempat lain. Penduduk setempat menyarankan agar dibawa ke rumah Djiauw Kie Siong di tepi sungai Citarum, tidak jauh dari Asrama PETA. Rumah itu hampir tidak terlihat dari jalan, tersembunyi di bawah pohon-pohon rindang dan tanaman lainnya. Rombongan dibawa kesana dengan berjalan kaki.
Meskipun Bung Karno dan Bung Hatta hanya beberapa jam di rumah tersebut, namun gagasan tentang proklamasi dapat terlahir yang kemudian di tindak lanjuti di Pegangsaan Timur 56 di Jakarta. Rumah sejarah Rengasdengklok menjadi saksi saat Soekarno-Hatta, Fatmawati serta Guntur Soekarno Putra diculik kelompok pemuda dari perkumpulan Menteng 31. Pada pukul 03.00 WIB dini hari, tanggal 16 Agustus 1945, mereka diculik dan dibawa disebuah rumah sederhana dengan luas bangunan 10 x 25 m2 dan luas tanah 1055 meter milik Djiauw Kie Siong.
D. HIKMAH DARI PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Peristiwa Rengasdengklok terjadi dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dan tua tentang masalah kapan dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kejadian tersebut berlangsung tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1945. Golongan muda membawa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan untuk mengamankan keduanya dari intervensi pihak luar. Daaerah Rengasdengklok dipilih karena menurut perhitungan militer, tempat tersebut jauh dari jalan raya Jakarta-Cirebon. Di samping itu, mereka dengan mudah dapat mengawasi tentara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok dari arah Bandung maupun Jakarta.
Hikmah yang dapat diambil dari mengunjungi peristiwa Rengasdengklok adalah yang pertama menambah wawasan pendidikan, peristiwa Rengasdenklok adalah cikal bakal terselenggaranya proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, disamping itu sebagai calon guru Sejarah kita perlu mengunjungi tempat-tempat bersejarah untuk bekal mengajar, yang kedua inventaris yakni kesadaran kita akan peninggalan dan pentingnya sejarah Rengasdrngklok, dengan mengunjungi rumah penyusunan teks proklamasi di Rengasdengklok kita seakan berada di masa tersebut. Hikmah yang ketiga adalah sebagai warisan masa lalu artinya kita tidak bisa kembali ke masa tersebut, oleh karena itu dengan mengunjungi kediaman tempat penyusunan teks proklamasi, kita bisa menggambarkan kondisi saat itu, karena disitu masih tersimpan benda-benda yang digunakan saat itu.
Hikmah lainnya adalah untuk menambah nilai kebangsaan, karena dengan mengunjungi tempat tersebut kita bisa merekonstruksi berimajinasi akan peristiwa Rengasdengklok dan kita bisa lebih menghargai barang-barang bersejarah.
. Kesimpulan
Berita kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mulai tersebar dikalangan para pemuda Indonesia. Namun, soekarno dan Moh. Hatta tidak setuju dengan rencana para pemuda. Kedua tokoh ini khawatir akan reaksi Jepang yang dapat menyebabkan terjadinya pertumpahan darah.
Soekarno dan Moh. Hatta beranggapan bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus lebih dahulu direncanakan dan diputuskan oleh PPKI. Sementara itu, para pemuda menganggap PPKI merupakan badan bentukan Jepang. Dasar perbedaan golongan muda dengan golongan tua pada dasarnya terletak pada momentum kapan harus dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan cara pelaksanaannya.
Golongan tua berpendapat bahwa proses Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebaiknya dilaksanakan atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah dengan Jepang dan melalui jalur kerjasama dengan Jepang. Menurut Golongan Tua, PPKI merupakan media yang cukup efektif untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Sebaliknya golongan muda tidak menyetujui proses yang diusulkan dan ditempuh oleh golongan tua. Golongan muda menuntut agar kemerdekaan Indonesia menjadi hak dan persoalan rakyat Indonesia yang tidak dapat digantungkan oleh negara lain. Mereka menuntut agar perundingan dengan Soekarno dan Moh. Hatta, mengenai persyaratan proklamasi kemerdekaan Indonesia agar diadakan secepatnya. Namun, diluar itu semua sebenarnya perbedaan yang terdapat antara kedua golongan ini mengarah pada satu tujuan yang sama, yakni kemerdekaan Indonesia dan terciptanya sebuah negara Indonesia yang berdaulat.
1. Perlunya pemeliharaan dan perawatan komplek Monumen Kebulatan Tekad dan rumah Djiaw Kie Siong dari pemerintah khususnya Dinas Purbakala.
2. Perlunya peraturan yang ketat dalam pengelolaan onumen Kebulatan Tekad dan rumah Djiaw Kie Siong dari penjaga saat para wisatawan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Her Suganda. 2009. Rengasdengklok Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945. Jakarta: Kompas.
Nugroho, Arifin dan Ipong Jazimah. 2011. Detik – Detik Proklamasi: Saat-saat Menegangkan Menjelang Kemerdekaan Republik. Yogyakarta: Narasi
Notosusanto, Nugroho, 1993, Sejarah Nasional Indonesia 6, Jakarta: Balai Pustaka.
Sudiyo. 2002. Pergerakan Nasional: Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: Rineka Cipta
Peristiwa Rengasdengklok: Penculikan atau Pengamanan?, Berdikari Online, www.berdikarionline.com, di unduh pada 19 Oktober 2014 pukul 18.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar