Kamis, 23 Mei 2013

Babad Tanah Jawi



Historiografi Tradisional
Babad Tanah Jawi

Historiografi tradisional biasanya ditulis pada masa kerajaan-kerajaan kuno. Penulisnya adalah para pujangga atau seorang pejabat dalam struktur birokrasi tradisional yang bertugas menyusun sejarah dalam bentuk babad ataupun hikayat. Salah satu contoh historiografi tradisional Indonesia adalah Babad Tanah Jawi yang diterjemahkan dari buku yang berjudul Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647 yang disusun oleh W.L. Olthof di Leiden, Belanda pada tahun 1941.
Babad adalah karya tulis yang menceritakan tentang pendirian sebuah negara atau kerajaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar kerajaan tersebut. Tidak salah jika seringkali memuat sejarah serta asal-usul tokoh atau raja serta para leluhurnya, bahkan terkadang berkesan menceritakan secara berlabihan, maka babad sering juga dianggap sebagai alat legitimasi bagi raja yang berkuasa.
Teks Babad Tanah Jawi menceritakan tentang asal usul Senopati, pendiri dinasti Mataram, petualangan Senopati sebelum menjadi Raja Mataram dan raja-raja pengganti Senopati. Pada masa lalu raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaannya. Silsilah Senopati yang tidak kepalang tanggung dari Nabi Adam hingga dewa-dewa agama Hindu, merupakan sebuah sinkretisme antara ajaran Hindu-Budha dan Islam. Silsilah tersebut memperlihatkan bahwa dinasti Mataram adalah keturunan dari tokoh-tokoh luar biasa yaitu kelompok pertama adalah kelompok Nabi, kemudian diikuti kelompok dewa dan raja dalam pewayangan, kelompok berikutnya adalah raja Kediri, kemudian Pajajaran dan Majapahit. Dari dinasti Majapahit itulah dinasti Mataram mengaku berasal. Adapun raja Majapahit yang diakui sebagai yang menurunkan raja-raja Mataram adalah raja Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V. Dalam buku Babad Tanah Jawi semua kejadian tidak pernah lepas dengan hal-hal yang terjadi di pulau Jawa.
Namun yang menjadi masalah bagi kebanyakan pembaca yaitu masalah bahasa yang digunakan dalam cerita Babad Tanah Jawi sulit dipahami karena bahasanya banyak menggunakan bahasa yang masih asing didengar seperti; puput, kalam,campuh, mbalelo, sinewaka, prasapa, dan lainya sehingga harus bekerja keras dalam menafsirkannya.
Berdasarkan buku Babad Tanah Jawi dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri historiografi tradisional Indonesia yaitu:
1.      Penulisannya bersifat istana sentris.
Ceritanya beberpusat pada raja atau keluarga raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Contohnya dalam Babad Tanah Jawi menerangkan tentang pemerintahan di kerajaan Mataram dan raja-rajanya yang tidak luput dengan cara legitimasi kekuasaannya. Seperti pada saat pendirian Mataram oleh Ki Ageng Pemanahan yang mendapat restu dari leluhur lewat buah degan yang bisa berbicara mengenai raja yang akan menguasai seluruh Jawa. (Babad Tanah Jawi, 2008:81)
2.      Yang di bicarakan kebanyakan menyangkut kaum-kaum feodal atau bangsawan.
Dalam Babat Tanah Jawi sering membahas tentang kadipaten dan para bupatinya yang bergejolak dalam perebutan kekuasaan.
3.      Bersifat religio-magis.
Maksudnya menggabungkan antara agama dan hal-hal magis atau gaib. Contohnya dalam Babad Tanah Jawi yang menceritakan  saat Senopati meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul dan saat Ki Juru Martani meminta bantuan ke Ki Sapu Jagad di gunung Merapi dalam proses legitimasi Mataram. (Babad Tanah Jawi, 2008:95)
4.      Umumnya berupa mitos ataupun legenda yang terjadi diluar nalar manusia, Tempat terjadinya peristiwa berada antara alam nyata dan kayalan.
Dalam Babad tanah jawi ada bagian yang menceritakan tentang  Ki Ageng Sela yang bisa menangkap petir, kemudian saat Senopati bermalam di Laut Kidul saat meminta bantuan Nyai Roro Kidul untuk mendukungnya dalam proses pendirian mataram. (Babad Tanah Jawi, 2008: 95-98)
5.      Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (sakti).
Sang tokoh cerita terkadang dipandang sebagai sosok manusia setengah dewa. Dalam Babad Tanah Jawi kesaktian Senopati yang luar biasa akibat bantuan dari Nyai Roro Kidul. Kemudian cerita mengenai Sultan Agung yang sakti mandraguna. (Babad Tanah Jawi, 2008: 145)
6.      Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
Genealogi Senopati pendiri dinasti Mataram yang ditarik ke atas sampai ke nabi Adam dan tokoh-tokoh pewayangan. Namun cerita dalam Babad Tanah Jawi tidak Kronologis, misalnya pada bagian pertengahan tiba-tiba tokoh Sunan Kalijaga muncul kembali.
7.      Memiliki subjektifitas yang tinggi
Sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan atas permintaan sang raja. Biasanya tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja. Penulis Babat Tanah Jawi ini lebih condong ke Mataram dan dijadikan sebagai alat legitimasi Raja yang berkuasa.
8.      Bersifat melegitimasi (melegalkan/mengesahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali tidak cocok dengan kenyataan.
Hal tersebut dibuktikan dalam Babad Tanah Jawi yang menceritakan tentang cara legitimasi kerajaan Mataram yang menggunakan silsilah, dukungan mitos atau restu leluhur, dan penggunaan gelar.
9.      Menonjolkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
Konsep kekuasaan raja Jawa yang berbudi bawa leksana, anbeg adil para marta. Yang menjelaskan bahwa seorang raja itu harus adil dan bijaksana. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Babat Tanah Jawi yang menceritakan pada masa pemerintahannya Sultan Agung negara Mataram begitu gemah ripah loh jinawi, dan beliau terkenal sebagai raja yang ambeg adil pramarta yang melebihi ayahnya. (Babad Tanah Jawi, 2008: 145)
10.  Bersifat kedaerahan
Maksudnya banyak dipengaruhi apa yang terdapat di daerah tersebut. Misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut. Seperti cerita tentang Nyai Roro Kidul dan Ki Sapu Jagat.
11.  Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
Misalnya apakah Nyai Roro Kidul itu benar-benar ada?
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu karya Sastra dapat dijadikan salah satu sumber sejarah, karena bisa menggambarkan keadaan masa lalu. Penulisan Babad dapat dikatakan sebagai sebuah genre atau aliran dalam sastra dan historiografi Indonesia. Namun, penulisan buku Babad Tanah Jawi terlalu subyektif hanya berpusat pada cerita-cerita tentang Mataram. Babad Tanah Jawi merupakan sebuah bentuk legitimasi yang dilakukan oleh Sultan Agung untuk memperkuat kedudukan Mataram sebagai salah satu kerajaan yang berpengaruh di tanah Jawa.

Sumber:
H.R Sumasono, 2008, Babad tanah jawi, Yogyakarta: Narasi.
Moedjanto, 2002, Konsep Kekuasaan Jawa, Yogyakarta: Kanisius.
Danar Widiyanta, 2002, Diklat Perkembangan Historiografi, Yogyakarta: UNY.