A. Suku Bangsa Moro
Orang Islam di Filipina merupakan golongan minoritas di negara sendiri. Sebenarnya, Islam merupakan agama terawal yang singgah di Filipina sebelum Sepanyol datang dan meluaskan kegiatan penyebaran agama Kristiani. Hal ini berkaitan dengan keadaan masyarakat Filipina sebelum kedatangan Islam. Mereka mulanya adalah golongan yang menguasai Filipina, namun ia berubah dan masyarakat Islam menjadi minoritas selepas kurun ke-18. Hal ini dikaitkan dengan peranan yang dimainkan oleh bangsa Moro (sebutan untuk umat Islam Filipina) terhadap proses perkembangan Islam di Filipina hingga sekarang.
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Suku Bangsa moro adalah etnoreligius Muslim yang terdiri atas 13 suku Austronesia yang mendiami Filipina bagian selatan. Front Pembebasan Islam Moro atau dalam bahasa Inggris disebut Moro Islamic Liberation Front (MILF), adalah kelompok militan Islam yang berpusat di selatan Filipina, didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan pusat Filipina yang dianggap diskriminatif terhadap komunitas Moro di Filipina selatan. Daerah tempat kelompok ini aktif dinamai Bangsamoro oleh MILF dan meliputi bagian selatan Mindanao, Kepulauan Sulu, Palawan, Basilan dan beberapa pulau yang bersebelahan.
B. Latar Belakang Pemberontakan Moro
Amerika Serikat mengklaim wilayah Filipina setelah Perang Spanyol-Amerika. Populasi Muslim Filipina selatan menolak kolonisasi baik Spanyol dan Amerika Serikat. Orang-orang Spanyol dibatasi untuk berlayar di pesisir dan mereka membuat ekspedisi sesekali ke wilayah ini. Setelah serangkaian upaya gagal selama berabad-abad kekuasaan Spanyol di Filipina, pasukan Spanyol menduduki kota Jolo, yang di kuasai oleh Sultan Sulu, pada tahun 1876. Orang Spanyol dan Sultan Sulu menandatangani Perjanjian Perdamaian pada tanggal 22 Juli 1878. Pengendalian kepulauan Sulu luar garnisun Spanyol itu diserahkan kepada Sultan. Terjadi kesalahan dalam penerjemahan Perjanjian itu. Menurut versi bahasa Spanyol, Spanyol memiliki kedaulatan penuh atas kepulauan Sulu, sedangkan versi Tausug dijelaskan hanya menempati wilayah saja. Meskipun klaim ini masih jadi perdebatan untuk wilayah Moro, Spanyol menyerahkan mereka ke Amerika Serikat pada Perjanjian Paris yang mengakhiri Perang Spanyol-Amerika. Setelah pendudukan Amerika di Filipina utara selama 1899, pasukan Spanyol di Filipina selatan dihapuskan, dan mereka mundur ke wilayahnya di Zamboanga dan Jolo. Pasukan Amerika mengambil kendali atas pemerintah Spanyol di Jolo pada 18 Mei 1899, dan di Zamboanga pada bulan Desember 1899.
Brigadir Jenderal John C. Bates dikirim untuk menegosiasikan perjanjian dengan Sultan Sulu, Jamalul Kiram II. Kiram kecewa dengan penyerahan kekuasaan ke Amerika dan berharap untuk mendapatkan kembali kedaulatan atas wilayahnya setelah kekalahan dari Spanyol. Tujuan utama perjanjian Bates adalah untuk menjamin netralitas Moro dalam Perang Filipina-Amerika, dan untuk menciptakan ketertiban di Filipina selatan. Setelah negosiasi beberapa kali, Traktat Bates ditandatangani. Perjanjian ini didasarkan pada perjanjian sebelumnya dengan Spanyol, dan mempertahankan kesalahan terjemahan: versi Bahasa Inggris menggambarkan kedaulatan penuh, sedangkan versi Tausug dijelaskan hanya ditempati saja. Meskipun Perjanjian Bates memberikan kekuasaan lebih ke Amerika dari pada perjanjian dengan Spanyol, perjanjian itu masih dikritik Amerika karena pemberian otonomi yang terlalu banyak kepada Sultan. Sebenarnya perjanjian Bates ditandatangani hanya untuk membeli waktu sampai perang di utara telah berakhir dan pasukan lagi yang bisa dibawa untuk menanggung di selatan.
Dalam penandatanganan perjanjian, Bates tidak menyadari faktor komplikasi: sifat nominal otoritas sultan. Dalam teori, Sultan Sulu adalah otoritas tertinggi dalam Moroland. Kesultanan Maguindanao tetap memiliki independen dan otonomi, tetapi juga mengakui supremasi Sulu dalam hal keagamaan dan internasional. Pada kenyataannya, Sultan Sulu tidak mengikutkan satu klan dalam negosiasi dan klan yang tidak diikutkan dalam negosiasi perjanjian mengakuan merasa tersinggung dan menolak perjanjian. Kejadian lebih buruk terjadi di Mindanao. Di wilayah Danau Lanao terjadi konflik antara 200 klan, sementara daerah Cotabato (DAS dari Rio Grande de Mindanao) berada di bawah kekuasaan Datu Ali. Selain dua sultan yang diakui, ada 32 datu yang memproklamirkan diri menjadi sultan yang mengklaim wilayah kekuasaannya menjadi sebuah kesultanan.
Traktat Bates tidak memeberikan netralitas pada Moro dalam Perang Filipina-Amerika, dan mengakibatkan Amerika hanya bisa mendirikan beberapa pos di wilayah Moro. Pasukan Amerika diorganisir ke dalam Distrik militer Mindanao-Jolo, di bawah komando Jenderal Bates. Hanya ada 2 resimen infantri di keseluruhan Mindanao, memberikan Amerika hanya cukup kekuatan untuk mengontrol markas Kabupaten di semenanjung Zamboanga dan sekitarnya. Pada tanggal 20 Maret 1900, Jenderal Bates digantikan oleh Brigadir Jenderal William A. Kobbe, dan Kabupaten Mindanao-Jolo ditingkatkan menjadi Departemen penuh. Pasukan Amerika di Mindanao diperkuat dengan sebuah resimen infantri ketiga. Garnisun dibentuk di Jolo dan tiga belas kota-kota pesisir lainnya di seluruh Sulus, dan stasiun didirikan di berbagai tempat di pantai Mindanao. Selama musim dingin 1900-1901, konflik di Moro berkurang, dan kekuatan Filipina di Wilayah Moro didorong ke atas bukit. Perampokan dan pembajakan mucul. Bandit menyerang pos-pos Amerika yang terisolasi, dan tentara yang tersesat di hutan menghadapi serangan dari juramentados.
Pasukan pemberontak Filipina di Filipina selatan diperintahkan oleh Jenderal Capistrano, dan pasukan Amerika melakukan ekspedisi melawannya di musim dingin 1900-1901. Pada tanggal 27 Maret 1901, Capistrano menyerah. Beberapa hari kemudian Jenderal Emilio Aguinaldo menyerah di Luzon. Ini kemenangan besar Amerika di wilayah utara dan memungkinkan amerika untuk mensuplai kekuatan militer ke wilayah Moro di selatan.
Pada tanggal 31 Agustus, 1901 Brigjen. Jendral George Whitefield Davis diganti Kobbe sebagai komandan Departemen Mindanao-Jolo. Davis mengadopsi kebijakan untuk berdamai dengan Moro. Pasukan Amerika di bawah komandonya telah berdiri perintah untuk memberi masyarakat Moro penghasilkan bila memungkinkan. Jika Moro mau berdamai, Moro tidak akan dilucuti. Amerika juga mengijinkan praktek anti perbudakan.
Salah satu bawahan Davis ', Kapten John J. Pershing, ditugaskan ke garnisun Amerika di Iligan, ditetapkan untuk hubungan yang lebih baik dengan suku-suku Moro Malanao di pantai utara Danau Lanao. Ia berhasil menjalin hubungan bersahabat dengan Ahmai-Manibilang, Sultan pensiunan Madaya. Meski pensiun, Manibilang adalah tokoh paling berpengaruh di antara penduduk terfragmentasi dari pantai utara danau. Aliansi-Nya berbuat banyak untuk mengamankan Amerika berdiri di daerah tersebut.
Kesimpulan
Proses islamisasi di Filipina pada masa awal adalah melalui tiga cara, iaitu perdagangan, perkahwinan dan politik. Islam diterima oleh orang-orang Mindanao, Sulu, dan Manila serta dan sepanjang pesisir pantai kepulauan Filipina dan seterusnya dapat mengakomodasi dengan tradisi tempatan. Proses Kristianisasi oleh Sepanyol menjadi titik tolak kepada perjuangan bagi menegakkan syiar Islam di Filipina. Umat Islam Filipina yang kemudian dikenal dengan bangsa Moro, pada akhirnya menghadapi berbagai hambatan baik pada masa kolonial maupun pasca kemerdekaan. Bila diteliti ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat dibahagi menjadi tiga fasa: Pertama, Moro berjuang melawan penguasa Sepanyol selama lebih dari 375 tahun (1521-1898). Kedua, Moro berusaha bebas dari kolonialisme Amerika selama 47 tahun (1898- 1946). Ketiga, Moro melawan pemerintah Filipina (1970-sekarang). Lima abad melawan penjajahan Sepanyol, Amerika, penaklukan Jepun dan Filipina ditempuh bangsa Moro melalui peperangan bagi meraih kemerdekaan.Namun, pembahagian pola pemilikan tanah yang tidak adil dan kebanjiran pendatang luar ke wilayah ini menimbulkan kemarahan bangsa Moro yang miskin dan tersisih selama ratusan tahun. Akibat dari penindasan, mereka bertekad keluar dari kepompong jajahan, melalui peperangan.Dan kini, dunia sering menyalahtafsirkan perjuangan mereka.Kecaman demi kecaman mereka hadapi sehingga ada yang menganggap bangsa Moro adalah pengganas.
Islam masuk Filipina dengan jalan yang berliku dan harus menghadapi rintangan dan hambatan dari dalam maupun luar negeri. Pada awal tahun 1970-an, Islam di Filipina merupakan komuniti minoriti dan tinggal di beberapa daerah dan pulau khusus. Dengan suatu pihak bagi kaum minoriti Islam berhadapan dengan kepentingan pemerintah, hingga timbullah konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan komuniti muslim. Perjuangan orang Islam di Filipina Selatan dapat dianggap sebagai sebagian daripada warisan seluruh penduduk Filipina dalam sejarah perjuangan mereka untuk mendapatkan kebebasan
DAFTAR PUSTAKA
Mangandaralam, Syahbuddin, 1993. Mengenal Dari Dekat Filipina Tanah Air Patriot Pejuang Jose Riza.l Bandung: Remaja Rosdakarya.
Majul, Caesar A, 1975. Dinamika Islam di Filipina. Jakarta: LP3ES.