BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Cornelis de Houtman
pada tahun 1596 beserta armadanya berhasil berlabuh di pantai utara Jawa dalam
rangka mencari rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di negara-negara Eropa.
Keberhasilan ini diikuti pelaut-pelaut Belanda lainnya. Mayoritas penduduk
kulit putih adalah bujangan. Jan Pieterzoen Coen (Gubernur Jendral VOC tahun
1618-1623 dan tahun 1627-1629) yang menentang hubungan di luar perkawinan
mendukung kaum perempuan pendatang dari Negeri Belanda. Namun dalam SK tahun
1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi perempuan-perempuan yang
hendak ke Hindia Belanda. Oleh karena itu Kompeni menempuh kebijakan, lelaki
Belanda diijinkan beristri penduduk Asia. Bahkan untuk mendukung hal tersebut
Kompeni membeli budak perempuan untuk dijadikan istri bujangan.
Dalam era VOC orang
Eropa selalu memerlukan ijin untuk menikah. Karena keadaan ini menyebabkan
banyak pergundikan, di mana lelaki Eropa (Belanda) hidup bersama perempuan Asia
tanpa pernikahan. Pejabat-pejabat VOC di kalangan yang lebih tinggi umumnya
mempunyai hubungan lebih erat dengan perempuan setempat baik sebagai istri
maupun gundik. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menikah di Hindia Belanda
juga, khususnya anak-anak perempuan sangat dicari-cari untuk dijadikan calon
istri.
Sekalipun terjadi
perkawinan resmi, pergundikan waktu itu merupakan hal yang sering terjadi.
Banyak istilah untuk menamakan gundik, dan yang paling umum adalah “nyai”.
Dalam istilah Belanda disebut huishoudster,
bijzit, menagerie dan meid. Seorang
“nyai”bisa dikatakan tidak mempunyai hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, juga terhadap posisinya sendiri. Setiap
saat ia dapat ditinggalkan begitu saja oleh majikannya. Di kalangan ketentaraan
seorang “nyai” kadang-kadang diserahkan begitu saja kepada lelaki Eropa
lainnya. Anak-anak hasil hubungan ini sangat banyak jumlahnya. Mereka dengan
mudah bisa ditinggalkan begitu saja oleh bapaknya atau diserahkan ke panti
asuhan, atau diambil dan dipisahkan dengan ibu kandungnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang pergundikan?
2. Bagaimana kehidupan para Nyai?
3. Bagaimana akhir pergundikan di Hindia Belanda?
C.
Tujuan
1.
Mengetaui
latar belakang pergundikan
2. Mengetahui kehidupan para Nyai
3. Mengetahui akhir pergundikan di Hindia Belanda
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Pergundikan
Pergundikan adalah suatu praktik di
masyarakat yang berupa ikatan hubungan di luar perkawinan antara seorang
perempuan (disebut gundik) dan seorang laki-laki dengan alasan tertentu. Alasan
yang paling umum biasanya adalah karena perbedaan status sosial, ras, dan
agama. Selain itu, pergundukan terjadi karena adanya larangan dalam masyarakat
untuk memiliki lebih dari satu istri.
Alasan
lain yang muncul belakangan adalah strategi dari kaum pendatang agar dapat
diterima oleh masyarakat asli dengan cara menikahi masyarakat pribumi, selain
itu pendatang yang masuk ke nusantara sebagiannya tidak membawa istri sehingga
memperistri masyarakat pribumi atau hanya sekedar berhubungan tanpa setatus
yang lebih dikenal pergundikan.
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata gundik diartikan
sebagai berikut :
Gundik n 1 istri tidak resmi; selir; 2 perempuan
piaraan (bini gelap);
-- candik berbagai-bagai
gundik;
mem·per·gun·dik v mengambil sbg
gundik; menjadikan gundik: pd zaman dulu banyak raja ~ wanita-wanita
desa yg cantik;
mem·per·gun·dik·kan v mengambil gundik; menjadikan gundik;
per·gun·dik·an n perihal gundik; perihal pemiaraan gundik
Latar belakang pergundikan di Hindia
Belanda yaitu dimulai sejak kedatangan
para pegawai VOC di Nusantara. Pegawai VOC yang datang ke nusantara terdiri
laki-laki Eropa yang masih lajang. Sehingga mereka memerlukan perempuan pribumi
untuk mengurusi rumah tangga, menemani tidur, dan menjadi ibu bagi anak-anak
mereka. Model kehidupan ini berlangsung dari abad ke abad. Gubernur Jenderal
Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, merasa kehidupan bersama antara lelaki
Eropa dengan budak perempuan pribumi mengarah kepada perilaku janggal, tidak
terkendali dan membahayakan kepentingan kolonial. Untuk itu ia mengeluarkan
larangan untuk memelihara seorang gundik di rumah, tempat tinggal, atau tempat
lainnya dengan penjagaan apapun yang terjadi. Pelarangan ini mulai berlaku pada
11 Desember 1620.
Pada tahun 1622 usaha untuk
mengatasi kelangkaan perempuan Eropa diantisipasi Coen dengan mendatangkan
perempuan Eropa melalui Heren van de Compagnie. Para perempuan yang akan
didatangkan ke Hindia Belanda itu haruslah para gadis atau perempuan muda yang
berkelakuan baik dan diutamakan yang pernah dididik secara ketat di panti
asuhan. Sebelumnya juga Coen mengeluarkan kebijakan membawa perempuan lajang
Eropa ke Hindia Belanda dan mempunyai kewajiban menikah dengan para pegawai
VOC. Sebagai kompensasinya, mereka akan mendapat pelayaran gratis beserta mas
kawin.
Setelah berlangsung beberapa lama,
ternyata usaha Coen tetap tak menuai hasil. Jumlah pergundikan di wilayah
kolonial ini tidak berkurang secara signifikan. Apalagi, dia mendapati kenyataan
bahwa perempuan lajang yang dahulu didatangkan dari Eropa untuk kawin dengan
pejabat VOC malah hanya membuat masalah. Menurut dia, mereka hanya
mabuk-mabukan dan bertindak di luar aturan Tuhan.
B.
Kehidupan Para Nyai Pada Masa Hindia Belanda
Istilah nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan
muda atau adik perempuan. Selain itu Nyai adalah sebutan umum di Jawa
Barat, khususnya bagi wanita dewasa. Namun, kata ini memiliki konotasinya lain
pada zaman kolonial Hindia Belanda. Ketika itu nyai berarti gundik, selir, atau
wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Nyai bersinonim dengan gundik
dan selir. Baik nyai, gundik maupun selir, dalam KBBI, diartikan sebagai bini
gelap, perempuan piaraan, dan istri yang tidak pernah dikawini resmi. Bini
Selir malah berarti istri yang kedudukannya lebih rendah dari pasa istri
terhormat (istri utama). Pergundikan
di Hindia-Belanda di kalangan laki-laki Eropa banya berbagai macam istilah
sebutan selain Nyai, yaitu moentji
(mulut kecil), meubel (perabot), inventarisstuk (barang inventaris), boek (buku), woondenboek (kamus), mina,
sarina sebutan di Tangsi KNIL, Deli Kartina di perkebunan Deli.
Sebutan ini
muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara pada abad XVII.
Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan untuk menjelma
nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan nyai juga terkait
dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk datang dan mau hidup
di Hindia Belanda. Ketika itu Belanda telah memperlihatkan karakteristik yang
akan menjadi kebiasaan di pemukiman-pemukiman mereka di Asia, sebuah kebiasaan
yang tidak ada di negeri asal mereka, yaitu memiliki budak dan menjadikan perempuan
setempat sebagai gundik. Diawali oleh suatu kebijakan yang
melarang kedatangan para perempuan Eropa ke tanah Hindia, maka pergundikan ini
mulai berkembang. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah para budak
perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.
Pada umumnya Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai
pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda. Hal
inilah yang mengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain
mengurus rumah tangga. Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga.
Pembantu-pembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani
membantahnya. Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah
obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka
hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih
senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter
yang mendalami ilmu kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan
pada wanita.
Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam
menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki
Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk
ditransmisikan pada kaum pribumi. Memasuki abad ke-19, muncul suatu titik balik
terhadap pergundikan, dimana pada awalnya pergundikan merupakan suatu sistem
paksa bagi para budak pribumi, menjadi suatu kesukarelaan dari mereka.
Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah melarang
perdagangan budak internasional (berkaitan dengan penjualan budak rumah tangga
di Hindia Belanda), namun perbudakan nasional di Hindia Belanda baru
benar-benar dihapuskan pada 1860. Akhirnya, para pemuda Eropa yang senang
dengan dunia pergundikan harus mencari gundik atau nyai mereka di antara
orang-orang pribumi bebas atau bukan budak. Kepengurusan rumah tangga merupakan
sarana yang tepat untuk menjalani kebiasaan ini dengan mudah.
C.
Akhir Pergundikan Di Hindia Belanda
Sekitar tahun 1870
pembudidayaan tanaman ekspor meledak dan perkebunan-perkebunan bermunculan.
Untuk mencari daerah yang cocok asisten perkebunan bahkan menjajaki
daerah-daerah yang cukup terpencil. Oleh karena itu untuk asisten perkebunan
dicari yang masih bujangan. Di samping biaya hidup lebih ringan, seorang istri
(Eropa) dianggap tidak cocok hidup sebagai perintis. Baru setelah enam tahun
diijinkan menikah. Tahun 1922 barulah larangan itu dihapus. Tetapi bukan
berarti selama itu mereka hidup sendiri. Mereka bisa hidup bersama dengan
seorang “nyai”, yang akan mengajari bahasa dan adat istiadat setempat.
Merupakan hal yang biasa apabila seorang asisten perkebunan setelah enam tahun
cuti dan pulang ke negeri Belanda untuk menikah. Setelah kembali bersama
istrinya, mau tidak mau harus menghadapi masa lampau seorang bekas “nyai” dan
anak-anak sebelumnya (voorkinderen, anak sebelum bapaknya menikah/anak dengan
“nyainya”).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Latarbelakang kemunculan pergundikan di
indonesia muncul pada masa pemerintahan hindia belanda hal ini dikarenakan
berbagai alasan. Diantaranya adalah 1). Kedatangan orang eropa tidak semuanya
membawa isteri sehingga mereka menjadikan orang pribumi sebagai isteri atau hanya sekedar gundik, 2).
Perkawinan antara orang eropa dengan masyarakat pribumi sebagai salah satu
strategi untuk mendapatkan simpati masyarakat nusantara, 3). Serta karena
kultur nusantara yang secara tidak langsung melarang lelaki memiliki lebihdari
satu isteri.
Status sosial seorang gundik/nyai memiliki
derajat yag lebih tinggi dibandingkan dengan wanita pribumi lainnya, namun dari
segi sikologis dan moralitas nyai/gundik hanya dianggap sebagai wanita rendahan
bagi lelaki belanda. Pada dasarnya meskipun ststus sosial gundik meningkat tapi
hal tersebut tidak membawa perubahan yang bersifat positif karena gundik disini
hanya seorang budak bagi lelaki belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Baay, Reggie.
2010. Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Depok: Komunitas Bambu
Hayu Adi Darmarastri. 2006. Nyai Batavia. Yogyakarta: CV Centra
Grafindo
Hellwig, Tineke.
2007. Citra Perempuan di Hindia Belanda.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar