A. Kondisi Geografis Deli
Kesultanan Deli terletak kira-kira 4o39’ sampai 4o57’ LU dan 98o25’ sampai 98o47’ BT, terbentang diantara Sungai Labuhan Dalam di utara perbatasan Langkat dan Sungai Pematang Oni di selatan perbatasan Serdang. Wilayah deli sekarang termasuk kabuapten deli-serdang, bagian dari sumatara utara. Batas-batas daerah kekuasaan deli ini baru ditetapkan pada tahun 1876. Hal ini disebabkan sering terjadinya konflik dan bahkan menimbulkan peperangan diantara sesama kesultanan di Sumatra Timur terutama dalam mendapatkan daerah untuk monopoli perdagangan dan tempat strategis dekat pelabuhan. Selain itu daerah pedalaman deli yang dikenal dengan dusun-dusun didiami oleh penduduk Karo dan mereka masih tunduk kepada Raja mereka (Sibayak) ditanah asal di pegunungan sebelah utara Danau Toba.
Wilayah kekuasaan sultan deli yang ditetapkan pada tahun 1876 antara lain meliputi deli sekitarnya, sunggal/serbanyaman, sepuluh dua kota, sukapiring dan sanembah. Daerah deli dan bedagei diperintah langsung oelh sultan, sedangkan di daerah Padang, sultan mengangkat seorang seorang wakilnya berdasarkan permusyawaratan dengan pembesar kerajaan serta Datuk-datuk urung yang menguasai keempat daerah urung yaitu sunggal/serbanyaman, sepuluh dua kota, sukapiring, dan sanembah. Keadaan tanah di deli terdiri dari dua bagian, yaitu daerah dataran rendah yang terletak di sepanjang pantai dan daerah dataran tinggi yang berada di pedalaman.
B. Pembukaan Perkebunan dan Akibatnya Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi dan Politik Kesultanan
Pembukaan perkebunan tembakau di deli bermula dari perhatian belanda untuk meluaskan ekspansi dan eksploitasi ekonominya ke daerah-daerah luar Jawa. Perhatian serius untuk meluaskan ekspansinya kedaerah-daerah pantai timur sumatra terjadi sejak meningkatnya perdagangan inggris yang berkedudukan di Penang dengan pedagang-pedagang dari Sumatra. Pedagang-pedagang tersebut berasal dari Minangkabau, Siak, Deli, Serdang, Langkat, Asahan, dan Tamiang. Ada indikasi bahwa inggris ingin meluaskan ekspansinya ke sumatra timur yang belum dikuasai oleh belanda. Pada tahun 1840 inggris menempatkan kontrolirnya di Labuhan. Hal tersebut menyebabkan kekhawatiran dipihak Belanda, ditambah lagi ketika sultan ismail dari siak meminta bantuan kepada wilson (seorang petualang inggris) dalam menyelesaikan pemberontakan yang terjadi dikalangan istana siak yang dipimpin oleh tengku putra. Dan ternyata bantuan yang diberikan Wilson tidak mendapatkan imbalan dari sultan, akibatnya wilson segera mengarahkan perhatiannya untuk menduduki bengkalis. Tindakan wilson mengundang masalah dengan sultan ismail, dan karena ketidak mampuannya menghadapi wilson, sultan kemudian meminta bnatuan belanda di batavia dengan perntara raja muda dari riau. Kesempatan tersebut merupakan wattu yang baik bagi belanda untuk melenyapkan kekhawatirannya terhadap Inggris dengan cara membantu sultan. Dan balas jasa dari batuan tersebut yaitu dengan ditandatanganinya perjanjian siak.
Isi perjanjian siak antara lain adalah pengakuan sultan atas kekuasaan belnada di siak dan daerah takhlukkannya. Hal tersebut sangat menguntungkan belanda. Dengan segera belanda mengirim elisa netscher untuk mebujuk dan bahkan memaksa raja-raja deli, serdang, langkat, tamiang, dan panei untuk menandatangani perjanjian tunduk kepada belanda. Tuntutan netscher untuk menjadikan deli tunduk kepada belanda diresmikan diatas kapal reiner classen pada tanggal 22 Agustus 1862, perjanjian itu dihadiri oleh sultan deli yaitu sultan mahmud perkasa alam dan para pembesar Siak.
Sala satu kebijakan belanda yang mampu merubah daerah sumatra timur dan deli khusunya adalah diizinkanya pengusaha-pengusaha barat untuk membuka perkebunan tembakau disana. Usaha ini dimulai oleh Nienhuys, seorang pengusaha tembakau belanda bersama temannya Yansen dan Clemen, ia berkesimpulan (setelah melakukan penelitian) bahwa tanah di daerah itu sangat cocok untuk usaha perkebunan. Pada tahun 1863, ia memperoleh tanah seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud, penguasa Deli, untuk membuka usaha perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena lahan di daerah tersebut mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus dan mahal harganya di pasaran dunia. Maka begitulah, setelah dikirim ke Rotterdam dan dijual di pasaran Eropa, harganya bisa mencapai 48 sen gulden per ½ kilogram. Bahkan pada tahun 1865, harganya meningkat menjadi 149 sen gulden per ½ kilogram.
Melihat usaha yang menguntungkan dari Nienhuys itu, maka kemudian banyak pengusaha perkebunan Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, yang tertarik untuk menanamkan investasi dan mengambil keuntungan dalam bidang perkebunan di daerah Sumatera Timur. Pemerintah kolonial Belanda sendiri, tentu saja, mendorong dan membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi dan modal asing swasta itu sesuai dengan politik liberalnya. Ditambah lagi oleh suatu kenyataan bahwa ketergantungan pemerintah kolonial pada pajak tanah dan pajak perorangan, semakin lama semakin berkurang. Sehingga sekarang lebih mengandalkan pada pajak keuntungan dari sektor usaha perkebunan.
Usaha perkebunan selalu berhubungan dengan masalah buruh atau tenaga kerja. Tanpa buruh atau tenaga kerja yang cukup jumlahnya, maka usaha perkebunan yang luas itu tidak akan mendatangkan hasil yang menguntungkan. Agar diperoleh kemudahan dan keuntungan, maka para pengusaha perkebunan biasanya (dengan dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda) menetapkan peraturan-peraturan supaya tenaga buruh yang digunakan adalah mereka yang berpendidikan rendah dan mau dibayar dengan biaya murah.
Untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga buruh itu, maka para pengusaha perkebunan terpaksa harus mendatangkan para buruh yang berasal dari daerah-daerah yang padat penduduknya. Pada awal perkembangannya, para pegusaha perkebunan mendatangkan para buruh dari Cina Selatan melalui agen-agen buruh di Semenanjung Malaya. Ketika Nienhuys pertama kali membuka daerah perkebunan tembakau, misalnya, maka dia mempekerjakan 88 orang Cina dan 23 orang Melayu sebagai buruh kasar di perkebunan itu. Kebijaksanaan untuk mendatangkan tenaga buruh dari Cina itu kemudian diikuti oleh para pengusaha perkebunan Eropa lainnya.
C. Sunggal Sebagai Sumber Pemberontakan
Dilihat dari letak geografisnya kampung sunggal tidak jauh berbeda dengan daerah urung lainnya, yaitu terletak didekat sungai tempat kegiatan perdagangan bagi oarang batak karo dan melayu. Tetapi dibandingkan dengan daerah urung lainnya maka urung sunggak/serbanyaman termasuk urung yang paling luas daerah kuasanya sampai buluh cina dan padang. Urung sunggal diberi kedudukan istimewa yaitu sebagai ulon janji menabalkan raja-raja deli yang akan diangkat. Dari segi ekonomi sunggal kaya dengan hasil ekspor ladanya. Akibatnya berulang kali sultan deli ingin menaklukkan sunggal. Yang pertama tahun 1820 dan yang kedua tahun 1830 namun kedunya gagal. Sejak inilah selalu terdaoat sikap curiga dan mencurigai antara pemerintahan pusat dengan datuk urung sunggal.
Dalam tahun 1858 sunggal dibawah pemerintahan datuk sri di raja, putera sri indra pelawan yang masih kecil. Sebagai walinya diangkat pamannya datuk kecil sampai tahun 1866. Datuk kecil ini adalah orang yang sangat berpengaruh di urug sunggal. Untuk memperluas daerah kekuasaan sunggal, maka datuk kecil kemudian menjalin hubungan kekerabatan dengan daerah-daerah sekitarnya seperti kejeruan selesei dan sinembah. Tahun 1866 datuk sri di raja dinobatkan, namun enobatan itu tidak disetujui sultan deli dan kontrolir, karena mereka lebih menginginkan datuk kecil. Tindakan tersebut jelas menunjukkan maksud politik belanda, karena dengan pengangkatan datuk kecil yang sangat besar pengaruhnya sampai ke daerah pedalaman tentunya lebih memudahkan belanda untuk menguasai daerah ini. Usul itu ternyata ditolak oleh datuk kecil, karena menyalahi ketentuan adat yang berlaku yang masih mendasarkan pengangkatan pimpinan dari segi keturunan.
Adanya tindakan kontrolir yang mencampuri malasah di dalan urung di tmabah sikap permusuhan yang sudah lama, semakin menimbulkan jurang pemisah yang dalam antara sultan yang di bantu oleh kontrolir dan datuk urung. Pada tahun 1871 ada lagi usaha pengusaha Peijer dan Schalter mendapatkan konsesi tanah di sunggal untuk dijadikan perkebunan tembakau. Tanah itu terleak diwilayah sunggal, diseberang sungai Bras, tempat datuk kecil bersama petani karo akan membuka kampung dan kebun lada mereka.
Sementara itu terjadi pula pertikaian antara saudara datuk kecil, yaitu datuk jalil bersaama anaknya sulung barat dalam memperbutkan daerah timbang langkat dengan sultan deli dan pangeran langkat. Baik sultan deli maupun pangeran langkat ingin memasukkan daerah timbang langkat ke dalam wilayah mereka masing-masing. Keinginan kedua sultan untuk merebut daerah timbang langkat sebenarnya didasari oleh kemajuan perdagangan di daerah ini dan juga karena tempat ini sangat setrategis yaitu terletak antara perbatasan lngkat dan deli.
Penyelesaiaan perebutan daerah ini akhirnya dibicarakan di labuan. Karena itu sultan deli dan kontrolir meminta kedua datuk untuk datang ke labuhan dan diancam jika tidak mengindahkan panggilan itu maka kebun lada mereka akan dibakar. Panggilan tersebut ternyata tidak diindahkan oleh kedua datuk tersebut dan mereka diam-diam mengorganisir rapat-rapat di tingkat urung bersama datuk kecil. Klimaksnhya ditandai dengan pembuatan jalan dari perkebuanan kedua pengusaha diatas ke timbang langkat pada bulan maret 1872. Pembuatan jalan ini jelas melalui ladang datuk kecil yang sedang dikerjakan oleh 200 orang petani karo. Akhirnya bertemulah keresahan ketiga datuk diatas dengan masa yang telah lama mengeluh akibat berbagai tindakan pihak perkebunan yang merugikan petani=petani karo dan melayu. Dengan kata lain, kata “durhaka” akan dihadapkan kepada sultan deli dan lebih dari itu juga kepada kontrolir bersama pengusaha perkebunan. Akhirnya mereka mulai beraksi menyerang perkebunan-perkebunan di wilayah deli.
BAB III
KESIMPULAN
Wilayah kekuasaan sultan deli yang ditetapkan pada tahun 1876 antara lain meliputi deli sekitarnya, sunggal/serbanyaman, sepuluh dua kota, sukapiring dan sanembah. Daerah deli dan bedagei diperintah langsung oelh sultan, sedangkan di daerah Padang, sultan mengangkat seorang seorang wakilnya berdasarkan permusyawaratan dengan pembesar kerajaan serta Datuk-datuk urung yang menguasai keempat daerah urung yaitu sunggal/serbanyaman, sepuluh dua kota, sukapiring, dan sanembah.
Usaha perkebunan di Sumatera Timur dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda, yang berkesimpulan (setelah melakukan penelitian) bahwa tanah di daerah itu sangat cocok untuk usaha perkebunan. Pada tahun 1863, ia memperoleh tanah seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud, penguasa Deli, untuk membuka usaha perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena lahan di daerah tersebut mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus dan mahal harganya di pasaran dunia. Melihat usaha yang menguntungkan dari Nienhuys itu, maka kemudian banyak pengusaha perkebunan Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, yang tertarik untuk menanamkan investasi dan mengambil keuntungan dalam bidang perkebunan di daerah Sumatera Timur.
Latar belakang terjadinya pemberontakan sunggal pada tahun 1872 tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial politik kesultanan deli yang tidak stabil. Karena itu deli menjadi sasaran kerajaan aceh dan siak. Pertentangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang monopoli dan perebutan wilayag yang strategis untuk ekonomi juga mendukung terjadinya pemberontaan.
DAFTAR PUSTAKA
Erman, Erwiza. Pemberontakan Sunggal 1872 di Deli: Jawaban terhadap Perubahan Sosiail. Jakarta: LIPI
Andi Suwirta. “ Buruh Perkebunan di Sumatera Timur: Sebuah Tinjauan Sejarah” HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah, No.5, Vol.III (Juni 2002)
Suprayitno. “Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara Pada Masa Kolonial Belanda” HISTORISME: Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar