A. Tata Perkawinan
Perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi sendi masyarakat. Undang-undang Kutara Manawa memang menyediakan peraturan-peraturan sipil yang bertalin dengan kehidupan rumah tangga, seperti tukon (mahar), perkawinann, perceraian, dan pewarisan. Perkawinann yang ideal ialah perkawinan dalam warna, di mana pihak laki-laki dan perempuan sama derajatnya, biasanya dilambangkan dengan perkawinann antara Rama dan Sita. Perkawinann dalam warna memberikan jaminan kepada kelangsungan hidup warna, karena tidak menimbulkan kekeruhan atau kegoncangan.
Kegoncangan dalam keluarga kebanyakan disebabkan oleh perkawinann anatar-warna, terutama perkawinann pratiloma, dimana warna pihak perempuan lebih tinggi daripada pihak laki-laki. Perkawinan anuloma, dimana warna pihak laki-laki lebih tinggi daripada pihak perempuan, biasanya dilakukan tanpa menimbulkan kegoncangan dalam warna, karena anak-anaknya mempunyai warna yang sama dengan ayahnya. Menurut undang-undang Kutara Manawa, perkawinan pratiloma tidak dilarang asal dilakukan dengan persetujuan orang tua pihak perempuan, tetapi tidak dianjurkan. Dalam perkawian pratiloma, pihak perempuan disebut jawi kapateh: Lembu yang terkendali. Bunyi undang-undang itu demikian: jika ada orang yang berketurunan tinggi dilamar oleh seorang gadis (dari keturunan rendah), orang yang dilamar itu jarang dikenakan denda. Tetapi, jika ada orang bawahan yang tidak berketuruanan, dilamar oleh seorang gadis keturuan tinggi, supaya dicegah dan gadis dipisahkan dari orang yang dilamarnya. Jika ia tidak menghendaki menantu laki-laki dari keturunan rendah, laki-laki itu akan dikenakan pidana mati. Gadis dikembalikan kepada orang tuanya. Tetapi, jika orang tuanya setuju, laki-laki itu wajib membayar tukon kepada ayah gadis itu. Gadis iti disebut jawi kapateh.
Tidak ada ketentuan apakah poligami atau monogami yang jadi dasar undang-undang perkawinan. Tetapi poligamai jelas diizinkan, mengingat bahwa banyak di antara para pembesar yang mempunyai lebih dari seorang istri, istri tambahan itu biasa disebut dengan istilah selir. Sebagai contoh, perkawinan antara Raja Kertarajasa Jayawardhana dan empat orang puteri Kertanagara. Undang-undang Kutara Manawa juga berulang kali menyebutkan tentang adanya poligami, misal pasal 215. Pasal ini menyebut seorang brahmana yang mempunyai empat orang istri.
Perkawinan yang ideal ialah perkawinan dalam warna, dilangsungkan dengan persetujuan orang tua dan disahkan dengan upacara keagamaan, disebut perkawinan Brahma. Perkawinan Brahma itu biasanya dilakukan enam bilan setelah penyerahan tukon oleh pihak laki-laki kepada orang tua pihak gadis, pada hari yang menurut perhitungan adalah hari baik, ditetapkan oleh orang tua pihak gadis dengan persetujuan orang tua pihak laki-laki. Jika orang tua gadis tidak suka kepada calon menantu, ada kemungkinan bahwa gadis itu akan dilarikan pada suatu saat. Tentang hal yang demikian, bunyi undang-undang Kutara Manawa pasal 177 seperti berikut: lelaki yang melarikan gadis, menyembunyikan di dalam hutan dan menjaganya, jika diketahui oleh orang tua gadis, bapak gadis itu berhak membunuhnya, namun jika kedua-duanya kedapatan di tempat tertentu pada siang hari, bapak gadis tidak berhak membunuhnya, namun pemilik rumah yang ditempati, dikenakan denda dua laksa. Perkawinan dengan cara melarikan gadis disebut perkawinan raksasa.
Undang-undang Kutara Manawa tidak menyebut delapan macam perkawinan seperti yang termuat dalam kitab Arthasastra dan Undang-undang Manawa:
1. Perkawinan Brahma: perkawinann, diamna warana pihak laki-laki sama dengan pihak perempuan dan dilakukan menrut upacara agama.
2. Perkawinan Daiwa, dimana seorang bapa mengawinkan anaknya dengan pendeta sebagai upah upacara.
3. Perkawinann Arsa, dimana tukon berupa sapi atau kerbau.
4. Gandharwa, dimana pihak laki-laki tidak memberikan tukon dan telah melakukan persetubuahan dengan pihak gadis secara sukarela.
5. Prajapatya, dimana pihak orang tua gadis tidak menghendaki tukon.
6. Asura, diman perkawinan dilangsungkan setelah pihak orang tua gadis menerima hadiah berlimpah-limpah dari pihak laki-laki.
7. Raksasa, dimana pihak laki-laki melarikan gadis.
8. Paisaca, dimana pihak gadis dilarikan waktu sedang tidur, dan dalam keadaan pingsan atau mabuk.
Sistem kekeluargaan berdasarkan patriarkhal dan patrilinear. Dalam sistem itu, bapak mempunyai kekuasaan penuh atas anak-anaknya dari penggunaan harta benda keluarga.
B. Kedudukan Wanita serta Hak dan Kewajiban Wanita
Kewajiban perempuan dalam rumah tangga seolah-olah hanya untuk melayani dan menyenangkan hati suaminya saja. Menurut undang-undang, ia tidak diizinkan untuk bercakap-cakap atau bersendau gurau dengan laki-laki selain suaminya, tidak dipandang apakah orang itu sahabat suaminya, iparnya, atau seorang pendeta, apalagi di tempat sunyi. Pihak laki-laki pun dilarang keras untuk menegur atau bercakap-cakap dengan perempuan yang telah bersuami ditempat sepi. Pelanggaran terhadap peraturan itu akan dikenakan denda sepuluh ribu. Peraturan yang sekeras itu dimaksudkan terutama untuk melindungi para perempuan dari kejahatan-kejahatan yang timbul dari pergaulan bebas antara kaum laki-laki dan kaum wanita.
Jika seorang perempuan yang telah bersuami berlaku sedeng berjinak-jinakan dengan lelaki lain, suaminya berhak untuk membunuh kedua-duanya tanpa takut adanya tuntutan atau pengaduan, telah dijelaskan dalam undang-undang, bahwa barang siapa melakukan tindakan sedeng, jika terbukti, akan dijatuhi hukuman mati.
Terhadap anak-anaknya, terutama dalam soal mencarikan jodoh, ibu tidak mempunyai wewenang. Hal itu adalah wewenang penuh suaminya, seperti dijelaskan dalam pasal 188 yang berbunyi seperti berikut: jika setelah lama kawin dan perkawinan itu lahirlah anak, maka bapak yang berhak atas anak itu, ibunya tidak mempunyai hk atas anaknya. Jika anak itu dikawinkan oleh ibunya tanpa perintah ayahnya maka ayahnya menceraikan anaknya perempuan itu, kalui ia tidak suka kepada menantunya. Dalam hal itu, ibunya harus mengemablikan tukon kepada pemuda yang ditolak oleh ayahnya.
C. Pewaris
Perkara pembagian warisan antara anak-anak yang lahir istri tunggal ditetapkan dalam undang-undang pasal 218 demikian: jika dari perkawinan tunggal diperoleh anak banyak, kemudian suami meninggal, anak alki-laki sulung boleh mengambil harta milik orang tuanya lebih dulu. Bagian yang dipilih itu disebut uddhara. Pembagian warisan itu diatur seperti berikut. Jika harta milik tinggalan itu besar (jumlahnya atau nilainya), anak laki-laki sulung itu boleh mengambil dahulu yang abnyak, jika harta milik tinggalan itu sedilit, hanya boleh mengambil sedikit.. harta milik hendaknya dibagi, tetapi anak sulung mendapatkan bagian yang apling banyak, misal bapak mempunyai perhiasan lima tahil, maka anak sulung boleh mengambil empat bagian, 1 bagian dibagi keadik-adiknya. Tidak dibenarkan anak sulung mengambil bagian klima-limanya.
Jika suami itu mempunyai beberapa istri dari bermacam-macam warna, maka anak-anak yang lahir dari istri yang ber-warna tinggi, akan mendapat bagian lebih banyak dari pada anak-anak yang lahir dari istri ber-warna rendah. Makin tinggi warna ibunya, makin besar bagian anaknya.
KESIMPULAN
Ketentuan perkawinan masyarakat Indonesia kuno terdapat dalam Undang-undang Kutara Manawa peraturan-peraturan sipil yang bertalin dengan kehidupan rumah tangga, seperti tukon (mahar), perkawinann, perceraian, dan pewarisan. Semakin tinggi derajat keluaraga perempuan semakin banyak juga mahar yang akan dibayarkan oleh pihak laki-laki ke perempuan. Poligami diizinkan dalam masyarakat kerajaan Majapahit terbukti dengan banyaknya laki-laki yang mepunyai istri lebih dari satu atau selir.
Kewajiban perempuan dalam rumah tangga seolah-olah hanya untuk melayani dan menyenangkan hati suaminya saja. Menurut undang-undang, ia tidak diizinkan untuk bercakap-cakap atau bersendau gurau dengan laki-laki selain suaminya, tidak dipandang apakah orang itu sahabat suaminya, iparnya, atau seorang pendeta, apalagi di tempat sunyi. Pihak laki-laki pun dilarang keras untuk menegur atau bercakap-cakap dengan perempuan yang telah bersuami ditempat sepi.
Pewarisan juga diatur dalm undang-undang, jika bapa mempunyai lima emas maka anak yang sulung mendapatkan empat bagian yang satu bagian dibagi anak yang lain. Namun, jika bapa mempunyai anak dari banyak istri maka anak yang lahir dari ibu yang derajat tinggi akan mendapatkan bagaian yang lebih besar daripada anak yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Slamet Mulyana. (1979). Negarakertagama dan tafsir sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
Gedong Bagoes Oka. (1992). Wanita dalam perspektif agama Hindu. Yogyakarta: LKPSM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar