A. Peranan Wanita Pada Masa Kolonial
Pada awalnya, ekspansi Belanda ke Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia yang ada di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya pemerintah kolonial menetapkan kebijakan penjajahannya pada upaya untuk mensejahterakan bangsa Indonesia dengan menerapkan ‘polotik etis’. Politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial ini juga membawa dampak bagi kaum wanita yang ada di Indonesia pada saat itu. Masa penjajahan Belanda, kaum wanita tidak boleh melakukan pekerjaan diluar pekerjaan rumah tangga. Aktivitas organisasi wanita Indonesia tak lepas dari urusan ekonomi dan sosial kerumahtanggaan.
Pada tahun 1912 di Jakarta berdiri organisasi Poetri Mardika, yang menjadi pelopor bagi organisasi wanita dalam pemberian hak untuk wanita bertindak diluar rumah. Akan tetapi semua gerak gerik organisasi ini dikontrol oleh pemerintah kolonial. Jika dirasa kegiatannya akan mengganggu, maka akan dibubarkan secara sepihak.
Awal 1930 sebuah perkumpulan bernama Isteri Sedar dibentuk. Perkumpulan yang pada 1932 mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik yang sifatnya radikal, tidak mau berkompromi dalam perjuangannya, dan berani menyampaikan kritik dengan keras dan terbuka mengenai kebijakan pemerintah kolonial. Sementara organisasi Isteri Indonesia, yang dibentuk 1932 dan diketuai Maria Ulfah Santoso, berusaha meningkatkan pengaruh perempuan Indonesia dalam masyarakat dengan mengikutsertakan perempuan dalam dewan kota.
Pada masa kolonial Belanda wanita tidak bisa memperoleh pendidikan yang layak. Kebijakan yang diterapkan oleh Belanda, mengatur bahwa pendidikan hanya untuk kalangan elit dan dikhususkan untuk laki-laki. Pada umumnya pendidikan yang diterima oleh wanita pada saat itu, hanya lah sebatas pendidikan mengenbai rumah tangga. Dan untuk wanita kalangan bawah, mereka akan bekeja sebagai buruh perkebunan, pembantu rumah tangga, buruh tani dan penari keliling. Selain dipekerjakan sebagai buruh perkebunan, mereka juga dipaksa untuk melayani kebutuhan biologis orang-orang yang ada dibarak-barak, tanpa mereka diberi tempat bermukim yang tetap. Tak jarang dari kaum wanita tersebut terkena berbagai penyakit yang nantinya berujung pada kematian dan mereka dibiarkan meninggal dijalan-jalan.
B. Struktur Sosial/Kedudukan Wanita Masa Kolonial
Pada masa penjajahan Belanda kehidupan kaum wanita di Indonesia selalu mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dan selalu dinomor-duakan dalam segala hal. Misalnya saja dalam bidang pendidikan, kaum wanita hanya segelintir saja yang memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Sehingga hal ini berdampak pada pola pikir dan budaya yang berkembang terhadap pandangan mengenai posisi kaum wanita.
Kedudukan wanita pada masa ini bisa dibilang sangat rendah. Karena tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai wanita yaitu untuk dihargai. Kaum wanita tak bisa menikmati pendidikan yang layak. Dalam kebijakan yang dibuat oleh Belanda, pendidikan hanya diperuntukan bagi kalangan elit dan di utamakan untuk kaum laki-laki.
Kedatangan tentara militer Belanda ke wilayah Indonesia tanpa membawa istri-istri mereka menyebabkan kebutuhan akan wanita semakin meningkat. Mereka membutuhkan wanita sebagai penyalur kebutuhan biologis mereka, dan mereka melakukannya tanpa ikatan sebuah pernikahan. Hubungan tanpa status ini sering terjadi karena adanya kepercayaan dari orang Eropa yang menganut agama Kristen bahwa tidak boleh menikah dengan wanita non-Kristen. Kalau pun ada dari mereka yang mensahkan hubungan dengan wanita beragama non-Kristen maka wanita itu harus dibaptis terlebih dahulu. Masalah lain yang timbul dalam perkawinan adalah poligami dan hak perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk menikah, cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi bahwa jika perempuan bersekolah maka usia perkawinannnya dapat ditunda dan sekaligus mereka tahu dimana kedudukannnya dalam hukum perkawinan. Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan pada awal abad ke-20.
C. Peranan Wanita pada Masa Jepang
Pada waktu kedatangan Jepang ke Indonesia di Tarakan bulan Maret 1942, Jepang melakukan propagandanya agar rakyat Indonesia mendukung Perang Asia Timur Raya. Propaganda ini pun tak hayal juga dilakukan terhadap kaum wanita di Indonesia. Kebijakan propaganda Jepang tersebut memberikan pengaruh baik positif maupun negatif bagi kaum wanita di Indonesia. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Jepang pada kaum wanita berdampak dalam berbagai aspek kehidupan wanita di Indonesia. Masa pendudukan Jepang memang tergolong singkat, namun membawa pengaruh dan luka serta penderitaan yang dalam bagi kaum wanita di Indonesia.
Pada awal pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia sempat terhenti. Karena adanya perang yang mewarnai pada masa itu. Baru setelah adanya kosilidasi militer, Jepang kembali membuka sekolah-sekolah yang telah ada sebelumnya. Setelah dibuka kembali sekolah-sekolah tersebut, ada perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang. Yaitu pendidikan itu sama, bahkan berlaku pula untuk para pribumi. Dan wanita pun di izinkan utuk mengenyam pendidikan. Walaupun jumlah wanita terbilang masih sedikit, dibandingkan dengan jumlah laki-laki.
Ketika perang keberadaan kaum wanita cukup diakui, karena pada masa ini kaum wanita menjadi pendamping dalam perang, baik untuk urusan logistik, perawatan tentara perang, maupun untuk urusan kebutuhan biologis para tentara Jepang. Akan tetapi peran wanita yang baik-baik hanya bisa dirasakan oleh kaum wanita yang tergabung dalam organisasi-organisasi resmi pemerintahan Jepang, sedangkan bagi kaum wanita yang berada pada level pendidikan rendah dan ekonomi lemah maka yang dirasakan adalah sebuah keterpaksaan, siksaan, penderitaan dan hancurnya masa depan.
D. Stuktur Sosial/Kedudukan Wanita Masa Jepang
Kedudukan pada masa pendudukan Jepang mungkin bisa dibilang telah diakui, dalam hal pendidikan maupun sebagai pembantu perang. Namun hal tersebut hanya berlaku bagi wanita-wanita yang ikut bergabung dalam organisasi-organisasi resmi pemerintahan Jepang. Dan wanita yang tergolong pada level pendidikan rendah dan memilki ekonomi yang rendah maka kedudukannya dirasa sama. Masih mendapat siksaan, penderitaan dan hancurnya masa depan mereka.
Pada masa Jepang, wanita diperlakuan tidak adil. Seperti masalah perkawinan, wanita pada masa itu tak memiliki hak untuk memilih. Mereka hanya mampu menurut dan tidak mampu mendapatkan hak-hak mereka. Wanita pada masa Jepang harus rela dipoligami. Tidak boleh mengambil keputusan masalah menikah, perceraian maupun warisan.
E. Fenomena Jugun Ianfu
Jugun Ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort Women. Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.
Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.
Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.
Ianjo (asrama) pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.
Jugun ianfu berhenti seiring menyerahnya Jepang pada perang dunia kedua karna hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Dengan di proklamasikan kemerdekaan di Indonesia mengakhiri masa kelam kependudukan Jepang di Indonesia khususnya bagi para wanita. Namaun demikian trauma tetap dirasakan bagi para wanita bekas Jugun Ianfu.
Kesimpulan
Masa penjajahan Belanda, kaum wanita tidak boleh melakukan pekerjaan diluar pekerjaan rumah tangga. Aktivitas organisasi wanita Indonesia tak lepas dari urusan ekonomi dan sosial kerumahtanggaan. Pada masa kolonial Belanda wanita tidak bisa memperoleh pendidikan yang layak. Pada umumnya pendidikan yang diterima oleh wanita pada saat itu, hanya lah sebatas pendidikan mengenbai rumah tangga. Dan untuk wanita kalangan bawah, mereka akan bekeja sebagai buruh perkebunan, pembantu rumah tangga, buruh tani dan penari keliling. Selain dipekerjakan sebagai buruh perkebunan, mereka juga dipaksa untuk melayani kebutuhan biologis orang-orang yang ada dibarak-barak, tanpa mereka diberi tempat bermukim yang tetap. Kedudukan wanita pada masa ini bisa dibilang sangat rendah. Karena tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai wanita yaitu untuk dihargai. Kaum wanita tak bisa menikmati pendidikan yang layak. Dalam kebijakan yang dibuat oleh Belanda, pendidikan hanya diperuntukan bagi kalangan elit dan di utamakan untuk kaum laki-laki.
Pada awal pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia sempat terhenti. Karena adanya perang yang mewarnai pada masa itu. Baru setelah adanya kosilidasi militer, Jepang kembali membuka sekolah-sekolah yang telah ada sebelumnya. Setelah dibuka kembali sekolah-sekolah tersebut, ada perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang. Yaitu pendidikan itu sama, bahkan berlaku pula untuk para pribumi. Dan wanita pun di izinkan utuk mengenyam pendidikan. Walaupun jumlah wanita terbilang masih sedikit, dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Ketika perang keberadaan kaum wanita cukup diakui, karena pada masa ini kaum wanita menjadi pendamping dalam perang, baik untuk urusan logistik, perawatan tentara perang, maupun untuk urusan kebutuhan biologis para tentara Jepang. Kedudukan pada masa pendudukan Jepang mungkin bisa dibilang telah diakui, dalam hal pendidikan maupun sebagai pembantu perang. Namun hal tersebut hanya berlaku bagi wanita-wanita yang ikut bergabung dalam organisasi-organisasi resmi pemerintahan Jepang. Dan wanita yang tergolong pada level pendidikan rendah dan memilki ekonomi yang rendah maka kedudukannya dirasa sama.
DAFTAR PUSTAKA
Suhartono.1994. Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Mansur Suryanegara, Ahmad.2009. Api Sejarah. Bandung : Salamadani.
Ricklefs, M. C.2005.Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar