Sekaten Sebagai Salah
Satu Alat Dakwah Islam
A. Sejarah Sekaten
Sekaten diselenggarakan
untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12
Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa. Sekaten meliputi Sekaten
Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan Garebeg di halaman
Masjid Gedhe Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman.[1]
Kata Sekaten diambil dari
pengucapan kalimat Syahadat. Istilah Syahadat yang diucapkan sebagai Syahadatain
ini kemudian berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi
Syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah Sekaten hingga
sekarang.
Sekaten dimulai dari zaman
Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah
Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raja Demak
yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja
Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh
pelosok negeri. Namun, masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu
sehingga Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan
meyakini akan kebenaran Agama Islam.
Raden Patah pun mengadakan pertemuan
dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan
Sunan Gunung Jati. Pertemuan anatar Raden Patah dan Wali Songo tersebut
membahas tentang bagaimana menyebarkan
ajaran Islam dimulai dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga
memiliki usul tentang cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat
yang sejak dahulu sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar
masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan beberapa
perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya keramaian, dalam
agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati kepada para dewa. Keramaian
kemudian digantikan dengan menghormati hari raya Islam. Karena orang Jawa
menyukai seni musik, maka penghormatan terhadap Hari Raya Islam diberikan unsur
musik seperti menabuh gamelan. Salah satunya yaitu pada hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW. Di dalam masjid diadakan tabuh gamelan agar orang-orang tertarik.
Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam.
Untuk keperluan itu, para
Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati. Usul dari
Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Songo dan Raden Patah, yaitu
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud dengan unsur gamelan.
Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datangke masjid dan melihat
gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang kekerajaan untuk memberikan
penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapahari sebelum tanggal 12 Mulud
dan membuat rumah tenda di alun-alun untuk bermalam. Bupati menghadap raja
beserta para rakyatnya mengiring raja kemasjid. Karena hal tersebut, maka
muncul kata Garebeg yang berasal dari kata Anggrubyung yang
berarti menggiring atau berkerumun.[2]
Orang-orang yang datang ke
halaman masjid pun diminta untuk mendengarkan pidato tentang ajaran Islam.
Pidato itu berisi tentang dasar ajaran Islam seperti bunyi kalimat syahadat
serta maksud dan tujuan kalimat tersebut. Kalimat syahadat merupakan kalimat
yang dibaca seseorang ketika masuk Islam dan juga untuk mengakui bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat juga
ditulis di pintu gerbang masjid.24 Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja
yang memerintah pada masa berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram.
Pada zaman Kerajaan Mataram hingga
pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk kepentingan
politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan para bupati
yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten bupati harus datang dengan
menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada raja. Apabila bupati
berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak kerajaan. Apabila bupati
yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal tersebut dianggap sebagai
bentuk pembangkangan terhadap raja.
Pada masa Kerajaan Mataram,
selain untuk tujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kepentingan
politik kerajaan, sekaten diadakan untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa
masih memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, sekaten juga
memiliki peran dalam ekonomi karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten
kemudian dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan
untuk berdagang oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.[3]
B. Praktek Pelaksanaan Sekaten
Upacara sekaten dimulai saat kerajaan Islam bergeser ke Mataram dan ketika kerajaan Islam Mataram
terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta), perayaan
Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.
Perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya
terdapat tiga pokok inti yang antara lain: pertama, dibunyikannya dua perangkat
gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan
Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali
Kamis malam sampai Jumat siang; kedua, peringatan hari lahir Nabi Besar
Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem
Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para
kerabat, pejabat, dan rakyat, dan ketiga, pemberian sedekah Ngarsa Dalem
Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam
upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari
dengan irimg-iringan abdi dalem (punggawa keraton) bersama-sama dengan dua set
gamelan jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula
dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal
prajurit kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung,
sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua
set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan samapai dengan tanggal 11 bulan
Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam terakhir gamelan ini akan dibawa
pulang kedalam keraton.
Acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan
Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis dihari ulangtahun Nabi
Muhammad SAW) mulai jam 08.00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bedogo/kompi)
prajurit Kraton yaitu Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawitomo,
Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis. Sebuah gunungan yang
terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan
dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan pagelaran menuju masjid
Agung. Setelah dido’akan gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan
Mataram ini dibagikan kepada masyarakatyang menganggap bahwa bagian dari
gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap
sacral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau ladang agar agar swah
mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana atau malapetaka.
Dua hari sebelum acara grebeg muludan, suatu upacara
Tumplak Wajik diadakan dihalaman istana magangan pada jam 16.00 sore. Upacara
ini berupa klotekan atau permainan lagu dengan kentongan, lumpang untuk
menumbuk padi, dan semacxamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang
akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan.
Puncak perayaan Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat
sore hari, ditandi dengan dikeluarkannya gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari
tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas
dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem
prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero
dan prajurit Ketanggung. Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten
dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan
abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu
ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan
Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut,
gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari
berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang
harinya.
Tepat pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan
menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW bertempat di Masjid Agung. Perayaan mauled nabi ini
ditandai dengan pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai
Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai,
perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke
Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
Sekaten adalah warisan budaya Islam yang tidak sebatas seremonial. Ada
banyak nilai yang terkandung di dalamnya, dari mulai ketauladanan nabi dan
keagungan ajarannya yang harus kita jadikan acuan hidup, hingga menjaga
eksistensi budaya Islam yang tumbuh berdapingan dengan kebudayaan.
C. Sekaten dalam sudut pandang Islam
Dalam memperingati hari kelahiran
seseorang termasuk kelahiran Nabi, tidak ada tuntunannya, baik yang berupa
perbuatan, maupun perintah untuk mengadakannya.
Islam tidak melarang umatnya untuk melestarikan
kebudayaan selama kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar
Islam. Begitu pula dengan budaya sekaten. Tidak ada larangan maupun perintah
dalam al-Qur’an dan al-Hadis tentang budaya sekaten, maka dapat dilakukan
ijtihad istishlahi untuk menetapkan hukum sekaten, yaitu ijtihad yang
didasarkan
illah mashlahah.
Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa,
akal, kehormatan dan keturunan. Namun prakteknya sekarang ini, sekaten banyak
mengandung unsur kemusyrikan yang bertentangan dengan prinsip Islam seperti
keyakinan masyarakat bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan dianugerahi awet
muda, gunungan
sesaji dan gamelan dapat memberi berkah, puasa
pensucian diri yang tidak disyari’atkan Islam.[4]
Daftar pustaka:
- Soelarto,
B. 1995, Garebeg di Kesultanan
Yogyakarta , Kanisius : Yogyakarta
- Soepanto
dkk, 1884. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta . Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan DIY : Yogyakarta
- Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta
”,http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisisekatenandi-yogyakarta/.html,
akses 11 Desember 2012, pukul 15.00 WIB
http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/nus-13.htm
akses 11 Desember 2012, pukul 16.00 WIB
- Wawancara dengan Bapak Slamet Musowir, BA anggota
Pimpinan Cabamg Muhammadiyah Salaman.
[3] Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta”,http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisisekatenandi-yogyakarta/.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar