Hotoriografi pada masa revolusi di Indonesia diwarnai
dengan tulisan-tulisan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa Nasionalisme masyarakat
Indonesia. Salah satunya yaitu buku Pokok-Pokok Gerilya Dan Pertahanan Rebuplik
Indonesia Di Masa Lalu Dan Yang Akan Datang, karangan A.H.
Nasution. Pokok-pokok Gerilya menjelaskan tentang sejarah militer
di Indonesia.
Setelah membaca buku Pokok-pokok Gerilya, Kita bisa
membagi inti dari buku tersebut dalam 3 bagian, yaitu pada bagian awal penulis
menjelaskan tentang pengertian perang gerilya dan bagaimana perang gerilya
seharusnya dilaksanakan, serta strategi
dan taktik perang gerilya juga dijelaskan secara rinci. Menurut penulis,
peperang dewasa ini merupakan perang rakyat semesta dimana perang tersebut melibatkan sektor
militer, politik, psikologis, dan social-ekonomi. (Pokok-pokok Gerilya, 2010:
1-76)
Bagian kedua, yaitu Gerilya dan Perang Kita yang Akan
Datang. Pada bagian kedua, penulis menceritakan tentang bagaimana perang anti
gerilya dilaksanakan. Selain itu juga
mengenai pimpinan dan pembangunan gerilya yang harus regional (Sifat
“wehrkreise”). (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 77-112)
Bagian ketiga, yaitu Instruksi-instruksi Gerilya yang
Terpenting 1948-1949. Pada bagian ini, menjelaskan mengenai instruksi-instruksi
penting pelaksanaan perang gerilya pada tahun 1948-1949. Contohnya yaitu
instruksi-instruksi pokok mengenai pemerintahan gerilya dan pertahanan rakyat
di Jawa. (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 119-271)
Berdasarkan buku Pokok-pokok Gerilya tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri historiografi revolusi Indonesia yaitu:
1. Sudut pandang penuliasannya Indonesia sentries
Sudut pandang dalam penulisan pokok-pokok gerilya ini
menggunakan sudut pandang dari orang Indonesia. Hal tersebut terlihat dari
rakyat Indonesia yang dijadikan sebagai subyek penulisan atau kajiannya, penulisan
sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan
Negara Indonesia. Penyebutan kata “tanah air” sebagai kata ganti “Indonesia”
juga sering dijumpai dalam buku itu. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution
berikut;
“ Berhubung keadaan geografis tanah air, yang luas dan terpisah-pisah,
maka tentara kita yang sederhana dalam 10 รก 15 tahun yang akan datang, harus
melakukan pertahanan yang regional. Maka pembangunan tentara pun dirancang
sesuai dengan itu secara regional, meneruskan yang telah ada. Tiap-tiap darah,
pada hakekatnya tiap suku bangsa, akan mempunyai resimennya untuk menghasilkan
fanteri yang diperlukan buat tentara regular sederhana itu.” (Pokok-pokok
Gerilya, 2010: 102)
2. Perhatian berpusat pada Militer
dan politik.
Keseluruhan
buku ini membahas tentang perang gerilya. Pada tahun 1953 semangat revolusi kemerdekaan masih
terasa sangat kuat. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“ Ideology, semangat kemerdekaan, menjadi sumber kekuatan dan
kesanggupan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan
segala tentaranya. Kesanggupan untuk menyalakan peperangan rakyat semesta…”(Pokok-pokok
Gerilya, 2010: 15)
3. Perhatian berpusat pada tokoh atau bisa disebut
berkisar pada kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan.
Perhatian penulisan
historiografi revolusi kebanyakan berpusat pada tokoh-tokoh nasional Indonesia.
Dalam buku ini sedikit banyak dipengaruhi oleh tokoh
seperti Jendral Sudirman dan Pangeran Diponegoro, sering pula tokoh-tokoh
tersebut dijadikan sebagai inspirator. Seperti yang dijelaskan
oleh A.H. Nasution berikut;
“Jenderal Sudirman pernah mengisahkan bahwa waktu panglima Diponegoro
diburu oleh Belanda, maka beliau lewat di depan sebuah pondok. Seorang
perempuan segera menyapu bekas kudanya dan waktu musuh datang, tiada dapat diikuti
lagi jejaknya dan tiada seorang pun yang “mengetahui”. (Pokok-pokok Gerilya,
2010:25)
Hal tersebut bisa membwerikan inspirasi atau pandangan
bahwa kerjasama antara rakyat dan para gerilyawan sangat kompak untuk
melaksanakan perang rakyat semesta.
4. Penulisannya
sudah menggunakan sumber yang otentik
Berbeda dengan
historiografi tradisional yang sulit dibuktikan kebenarannya, penulisan
historiografi revolusi ini sudah menggunakan fakta-fakta yang nyata serta
didukung oleh penulisnya sendiri yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Hal
tersebut dapat kita lihat dari banyaknya lampiran-lampiran yang disertakan oleh
A.H. Nasution dalam buku Pokok-Pokok Gerilnya ini.
5. Tulisannya bertujuan untuk menunjukkan bahwa sejarah
bisa digunakan untuk mengatasi masalah dimasa yang akan datang.
Seperti
pendapat Edwar Gibbon, “Sejarah bertanggung jawab kepada masa lalu untuk masa
depan”. Sejarah bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengatasi masalah dimasa yang akan
datang. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai bagaimana proses antisipasi
untuk melakukan perang seandainya Indonesia dihadapkan pada kondisi perang.
Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“...
dan konsepsi perang gerilya dalam arti perang rakyat semesta yang juga tetap
dipedomankan buat masa-masa yang akan datang, membawa corak yang tertentu pula
bagi ketentaraan kita dimasa yang akan datang, sesuai dengan kodrat dari pertahanan
yang sedemikian, yakni selaku perang ideologi rakyat”. (Pokok-pokok Gerilya, 2010:106)
Selain itu juga sudah
dijelaskan oleh A.H. Nasution dalam kata pengantar bahwa prinsip perang gerilya
tidak berubah, hanya coraknya yang berubah. Jadi pemikirannya tentang perang
gerilya yang sudah dituangkan dalam buku Pokok-Pokok Gerilya ini masih tetap
relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar