Kamis, 28 November 2013

Kehidupan ‘Nyai’ dan Pergundikan di Hindia Belanda



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Cornelis de Houtman pada tahun 1596 beserta armadanya berhasil berlabuh di pantai utara Jawa dalam rangka mencari rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di negara-negara Eropa. Keberhasilan ini diikuti pelaut-pelaut Belanda lainnya. Mayoritas penduduk kulit putih adalah bujangan. Jan Pieterzoen Coen (Gubernur Jendral VOC tahun 1618-1623 dan tahun 1627-1629) yang menentang hubungan di luar perkawinan mendukung kaum perempuan pendatang dari Negeri Belanda. Namun dalam SK tahun 1632, Kompeni memutuskan untuk tidak mensponsori lagi perempuan-perempuan yang hendak ke Hindia Belanda. Oleh karena itu Kompeni menempuh kebijakan, lelaki Belanda diijinkan beristri penduduk Asia. Bahkan untuk mendukung hal tersebut Kompeni membeli budak perempuan untuk dijadikan istri bujangan.
Dalam era VOC orang Eropa selalu memerlukan ijin untuk menikah. Karena keadaan ini menyebabkan banyak pergundikan, di mana lelaki Eropa (Belanda) hidup bersama perempuan Asia tanpa pernikahan. Pejabat-pejabat VOC di kalangan yang lebih tinggi umumnya mempunyai hubungan lebih erat dengan perempuan setempat baik sebagai istri maupun gundik. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menikah di Hindia Belanda juga, khususnya anak-anak perempuan sangat dicari-cari untuk dijadikan calon istri.
Sekalipun terjadi perkawinan resmi, pergundikan waktu itu merupakan hal yang sering terjadi. Banyak istilah untuk menamakan gundik, dan yang paling umum adalah “nyai”. Dalam istilah Belanda disebut huishoudster, bijzit, menagerie dan meid. Seorang “nyai”bisa dikatakan tidak mempunyai hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, juga terhadap posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan begitu saja oleh majikannya. Di kalangan ketentaraan seorang “nyai” kadang-kadang diserahkan begitu saja kepada lelaki Eropa lainnya. Anak-anak hasil hubungan ini sangat banyak jumlahnya. Mereka dengan mudah bisa ditinggalkan begitu saja oleh bapaknya atau diserahkan ke panti asuhan, atau diambil dan dipisahkan dengan ibu kandungnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang pergundikan?
2.      Bagaimana kehidupan para Nyai?
3.      Bagaimana akhir pergundikan di Hindia Belanda?
C.    Tujuan
1.      Mengetaui latar belakang pergundikan
2.      Mengetahui kehidupan para Nyai
3.      Mengetahui akhir pergundikan di Hindia Belanda



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Pergundikan
Pergundikan adalah suatu praktik di masyarakat yang berupa ikatan hubungan di luar perkawinan antara seorang perempuan (disebut gundik) dan seorang laki-laki dengan alasan tertentu. Alasan yang paling umum biasanya adalah karena perbedaan status sosial, ras, dan agama. Selain itu, pergundukan terjadi karena adanya larangan dalam masyarakat untuk memiliki lebih dari satu istri.
Alasan lain yang muncul belakangan adalah strategi dari kaum pendatang agar dapat diterima oleh masyarakat asli dengan cara menikahi masyarakat pribumi, selain itu pendatang yang masuk ke nusantara sebagiannya tidak membawa istri sehingga memperistri masyarakat pribumi atau hanya sekedar berhubungan tanpa setatus yang lebih dikenal pergundikan.
Dalam kamus besar bahasa indonesia kata gundik diartikan sebagai berikut :
Gundik n 1 istri tidak resmi; selir; 2 perempuan piaraan (bini gelap);
-- candik berbagai-bagai gundik;
mem·per·gun·dik v mengambil sbg gundik; menjadikan gundik: pd zaman dulu banyak raja ~ wanita-wanita desa yg cantik;
mem·per·gun·dik·kan v mengambil gundik; menjadikan gundik;
per·gun·dik·an n perihal gundik; perihal pemiaraan gundik
Latar belakang pergundikan di Hindia Belanda yaitu dimulai sejak kedatangan para pegawai VOC di Nusantara. Pegawai VOC yang datang ke nusantara terdiri laki-laki Eropa yang masih lajang. Sehingga mereka memerlukan perempuan pribumi untuk mengurusi rumah tangga, menemani tidur, dan menjadi ibu bagi anak-anak mereka. Model kehidupan ini berlangsung dari abad ke abad. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, merasa kehidupan bersama antara lelaki Eropa dengan budak perempuan pribumi mengarah kepada perilaku janggal, tidak terkendali dan membahayakan kepentingan kolonial. Untuk itu ia mengeluarkan larangan untuk memelihara seorang gundik di rumah, tempat tinggal, atau tempat lainnya dengan penjagaan apapun yang terjadi. Pelarangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620.
Pada tahun 1622 usaha untuk mengatasi kelangkaan perempuan Eropa diantisipasi Coen dengan mendatangkan perempuan Eropa melalui Heren van de Compagnie. Para perempuan yang akan didatangkan ke Hindia Belanda itu haruslah para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan diutamakan yang pernah dididik secara ketat di panti asuhan. Sebelumnya juga Coen mengeluarkan kebijakan membawa perempuan lajang Eropa ke Hindia Belanda dan mempunyai kewajiban menikah dengan para pegawai VOC. Sebagai kompensasinya, mereka akan mendapat pelayaran gratis beserta mas kawin.
Setelah berlangsung beberapa lama, ternyata usaha Coen tetap tak menuai hasil. Jumlah pergundikan di wilayah kolonial ini tidak berkurang secara signifikan. Apalagi, dia mendapati kenyataan bahwa perempuan lajang yang dahulu didatangkan dari Eropa untuk kawin dengan pejabat VOC malah hanya membuat masalah. Menurut dia, mereka hanya mabuk-mabukan dan bertindak di luar aturan Tuhan.

B.     Kehidupan Para Nyai Pada Masa Hindia Belanda
Istilah nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan muda atau adik perempuan. Selain itu Nyai adalah sebutan umum di Jawa Barat, khususnya bagi wanita dewasa. Namun, kata ini memiliki konotasinya lain pada zaman kolonial Hindia Belanda. Ketika itu nyai berarti gundik, selir, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Nyai bersinonim dengan gundik dan selir. Baik nyai, gundik maupun selir, dalam KBBI, diartikan sebagai bini gelap, perempuan piaraan, dan istri yang tidak pernah dikawini resmi. Bini Selir malah berarti istri yang kedudukannya lebih rendah dari pasa istri terhormat (istri utama). Pergundikan di Hindia-Belanda di kalangan laki-laki Eropa banya berbagai macam istilah sebutan selain Nyai, yaitu moentji (mulut kecil), meubel (perabot), inventarisstuk (barang inventaris), boek (buku), woondenboek (kamus), mina, sarina sebutan di Tangsi KNIL, Deli Kartina di perkebunan Deli.
Sebutan ini muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara pada abad XVII. Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan untuk menjelma nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan nyai juga terkait dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk datang dan mau hidup di Hindia Belanda. Ketika itu Belanda telah memperlihatkan karakteristik yang akan menjadi kebiasaan di pemukiman-pemukiman mereka di Asia, sebuah kebiasaan yang tidak ada di negeri asal mereka, yaitu memiliki budak dan menjadikan perempuan setempat sebagai gundik. Diawali oleh suatu kebijakan yang melarang kedatangan para perempuan Eropa ke tanah Hindia, maka pergundikan ini mulai berkembang. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah para budak perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.
Pada umumnya Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda. Hal inilah yang mengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain mengurus rumah tangga. Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga. Pembantu-pembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani membantahnya. Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter yang mendalami ilmu kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan pada wanita.
Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum pribumi. Memasuki abad ke-19, muncul suatu titik balik terhadap pergundikan, dimana pada awalnya pergundikan merupakan suatu sistem paksa bagi para budak pribumi, menjadi suatu kesukarelaan dari mereka.
Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah melarang perdagangan budak internasional (berkaitan dengan penjualan budak rumah tangga di Hindia Belanda), namun perbudakan nasional di Hindia Belanda baru benar-benar dihapuskan pada 1860. Akhirnya, para pemuda Eropa yang senang dengan dunia pergundikan harus mencari gundik atau nyai mereka di antara orang-orang pribumi bebas atau bukan budak. Kepengurusan rumah tangga merupakan sarana yang tepat untuk menjalani kebiasaan ini dengan mudah.

C.     Akhir Pergundikan Di Hindia Belanda
Sekitar tahun 1870 pembudidayaan tanaman ekspor meledak dan perkebunan-perkebunan bermunculan. Untuk mencari daerah yang cocok asisten perkebunan bahkan menjajaki daerah-daerah yang cukup terpencil. Oleh karena itu untuk asisten perkebunan dicari yang masih bujangan. Di samping biaya hidup lebih ringan, seorang istri (Eropa) dianggap tidak cocok hidup sebagai perintis. Baru setelah enam tahun diijinkan menikah. Tahun 1922 barulah larangan itu dihapus. Tetapi bukan berarti selama itu mereka hidup sendiri. Mereka bisa hidup bersama dengan seorang “nyai”, yang akan mengajari bahasa dan adat istiadat setempat. Merupakan hal yang biasa apabila seorang asisten perkebunan setelah enam tahun cuti dan pulang ke negeri Belanda untuk menikah. Setelah kembali bersama istrinya, mau tidak mau harus menghadapi masa lampau seorang bekas “nyai” dan anak-anak sebelumnya (voorkinderen, anak sebelum bapaknya menikah/anak dengan “nyainya”).

























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Latarbelakang kemunculan pergundikan di indonesia muncul pada masa pemerintahan hindia belanda hal ini dikarenakan berbagai alasan. Diantaranya adalah 1). Kedatangan orang eropa tidak semuanya membawa isteri sehingga mereka menjadikan orang pribumi sebagai  isteri atau hanya sekedar gundik, 2). Perkawinan antara orang eropa dengan masyarakat pribumi sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan simpati masyarakat nusantara, 3). Serta karena kultur nusantara yang secara tidak langsung melarang lelaki memiliki lebihdari satu isteri.
Status sosial seorang gundik/nyai memiliki derajat yag lebih tinggi dibandingkan dengan wanita pribumi lainnya, namun dari segi sikologis dan moralitas nyai/gundik hanya dianggap sebagai wanita rendahan bagi lelaki belanda. Pada dasarnya meskipun ststus sosial gundik meningkat tapi hal tersebut tidak membawa perubahan yang bersifat positif karena gundik disini hanya seorang budak bagi lelaki belanda.














DAFTAR PUSTAKA


Baay, Reggie. 2010. Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu
Hayu Adi Darmarastri. 2006. Nyai Batavia. Yogyakarta: CV Centra Grafindo
Hellwig, Tineke. 2007. Citra Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar