Jumat, 29 November 2013

VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)



VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)

Bangsa-bangsa di dunia banyak yang tertarik untuk mengusai Indonesia, terutama bangsa-angsa Barat. Hal itu disebabkan oleh letak Indonesia yang sangat strategis dan kekayaan alamnya berlimpah. Dikatakan strategis karena Indonesia berada di persimpangan dua samudera dan dua benua. Selain itu Indonesia juga terletak di jalur perdagangan dunia. Di samping tanahnya sangat subur, Indonesia juga mempunyai kandungan alam yang banyak, seperti minyak. emas, dan tembaga.
Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di Indonesia, Belandalah yang paling bernafsu menguasai Indonesia. Untuk melaksanakan tekadnya itu Belanda mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) pada tanggal 20 Maret 1602 atas usul Johan Van Oldenbarneveld.
A.    Awal berdirinya VOC
Veerenigde Oost Indische Compagnie (VOC) merupakan Perserikatan Maskapai Hindia Timur yang terbentuk karena banyaknya persaingan perdagangan di Indonesia setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa sehingga sangat merugikan Belanda. Persaingan tersebut kemudian menimbulkan pemikiran  pada orang-orang Belanda agar perusahaan-perusahaan yang bersaing itu menggabungkan diri dalam satu organisasi yang kemudian disebut dengan VOC. VOC terbentuk pada tanggal 20 Maret 1602 dan pada tahun 1610 VOC diakui oleh pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan kekuasaannya di Indonesia, diangkatlah Gubernur Jendral VOC antara lain: Pieter Both memerintah tahun 1610-1619 di Ambon, Pieterzoon Coen tahun 1619 memindah pusat VOC di Ambon ke Batavia (Jakarta).
Di Indonesia VOC mempunyai hak oktroi (hak-hak istimewa) sebagai berikut:
a.       Hak untuk mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain.
b.      Hak membentuk tentara dan mendirikan benteng-benteng.
c.       Hak mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.
d.      Hak memerintah daerah-daerah di luar Nederland dan mendirikan badan-badan pengadilan.[1]

Pada masa VOC, gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi, mempunyai kekuasaan yang nyaris tak terbatas seperti halnya seorang raja yang absolute karena tidak ada undang-undang yang khusus mengatur hak-hak dan kewajibannya. Demikian pula dengan struktur pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur juga tidak ditentukan. Salah satu pasal penting dari oktroi VOC adalah hak monopolinya, sehingga dengan haknya itu VOC merupakan satu-satunya badan dari Belanda yang boleh mengirimkan kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
B.     Politik perdagangan VOC
Waktu VOC mulai kegiatannya di Indonesia, maka dimulailah suatu dunia perdagangan internasional dengan sistem terbuka. Perdagangan rempah-rempah menenpati kedudukan yang utama akan tetapi tidak terpisah dari perdagangan beras,sagu,kain, dan komoditi lainnya. Jalur radikal yang dilakukan VOC untuk dapat memonopoli perdagangan yaitu dengan melarang semua pengangkutan barang dagangan Portugis dengan kapal pribumi, semua ekspor rempah-rempah perlu dihentikan, bahkan lebih drastis lagi yaitu pohon-pohon pala dan cengkeh ditebangi.[2]
VOC mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dengan berbagai cara, antara lain:
a.       Berusaha merebut pasaran produksi petanian, biasanya memaksakan monopoli, misalnya monopoli rempah-rempah di Maluku dan kopi di Priangan.
b.      Tidak ikut aktif dalam kegiatan produksi; cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan dilakukan oleh pribumi.
c.       Karena kekuatan fisiknya yang masih terbatas, VOC hanya menduduki tempat-tempat yang strategis.
d.      Campur tangan VOC terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia terbatas kepada usaha-usaha mengumpulkan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli.
e.       Untuk memperoleh hasil bumi, VOC menggunakan alat tukar yang umumnya masih berupa barang.
f.       Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional masih dipertahankan. Dengan begitu VOC dapat menjalankan apa yang dikenal sebagai system indirect rule.[3]
C.    Batavia menjadi Tempat Pangkalan VOC
Untuk bertahan dari ancaman kerugian yang disebabkan karena setiap kapal berhak melakukan transaksi dagang sendiri dan VOC sendiri terancam oleh Inggris, Spanyol, dan Portugis maka De Heeren XVII menyarankan VOC harus memiliki pangkalan tetap (rendez-vous) bagi kapal-kapalnya. Jayakarta merupakan kota yang direkomendasikan oleh seorang pelaut Belanda, Matelieff untuk dijadikan pangkalan kapal VOC sekaligus menjadi pusat kegiatan VOC. Matelieff berhasil membujuk de Heeren XVII untuk menyuruh Both menjadikan Jayakarta sebagai tempat rendez-vous.
Pada Januari 1611 Pieter Both menandatangani kontrak dengan penguasa Jayakarta, Pangeran Wijaya Krama. Kontrak tersebut memberikan hak kepada pedagang Belanda untuk memakai sebidang tanah di desanya, yang ketika itu cuma berpenduduk sekitar 8000 jiwa.[4] Dalam perkembangannya Jayakarta berganti nama menjadi Batavia pada 30 Mei 1619 dan melebihi fungsinya sebagai tempat pangkalan kapal VOC yaitu sebagai pusat kekuasaan Belanda di Nusantara..
Ada beberapa rangkaian peristiwa mengapa Batavia dapat menjadi pusat kekuasaan VOC, antara lain adalah terpilihnya Jan Pieterszoon Coen sebagai gubernur jenderal pada Juni 1618. Coen dapat melihat rupanya Banten, Mataram, dan Inggris saling menunggu untuk menyerangnya dan sama-sama ingin menghancurkan VOC.
Peristiwa lain adalah kedatangan Pangeran Gabang ke Jayakarta lengkap dengan pengawal pada 20 Agustus 1618. Hal ini membuat Coen cemas dan segera menyingkirkan dari Banten ke Jayakarta. Ia membangun benteng di tanah yang sudah ia sewa secara diam-diam karena dengan begitu ia telah melanggarar perjanjian. Peristiwa lain lagi yaitu munculnya ancaman nyata dari pihak Mataram dan Inggris, dan di Jayakarta lah VOC mempertahan diri dan membuat banyak pertahanan maupun benteng.
D.    Kebijakan-kebijakan VOC
Dalam menangani wilayah kekuasaannya, VOC lebih banyak melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya daerah-daerah tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah langsung oleh VOC. Dalam system ini, kaum pribumi nyaris tidak terlibat dalam struktur kepegawaian VOC. Meskipun kaum elit pribumi terlibat dalam pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara tetap oleh kongsi dagang tersebut, para elit pribumi lebih banyak diperlakukan sebagai mitra kerja demi kepentingan VOC. Hal ini jelas di daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah semacam itu, VOC membiarkan struktur lama (tradional) tetap berdiri. Melalui para elit tradisional inilah kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal penarikan-penarikan wajib hasil prodil serta pajak-pajak yang dikenal dengan system leverantie dan contingenten (leveransi dan kontingensi).
Selain berdagang, VOC juga harus mengurus kehidupan kota, yang akan menjadi markas besarnya. Yang pertama adalah mengendalikan penduduk kota, melindungi kota dan penduduknya dari pengaruh asing di sekitarnya. Bahkan hampir semua penduduk awal kota Batavia merupakan dari luar Nusantara karena takut terhadap pengaruh masyarakat sekitar. Para pejabat dan karyawan VOC, para serdadu, penerjemah, dan ratusan budak merupakan dari luar Nusantara seperti berasal dari Jepang, China, maupun Portugis. Jadi, ketika kekuasaan VOC, yang dianggap sebagai warga kota adalah orang asing, sedangkan orang asing merupakan penduduk asli setempat.
Penduduk Batavia dipilah-pilah dan dikelompokkan sesuai dengan ras, daerah asal, dan status ikatan kerja mereka dalam perdagangan VOC, maka terbentuk lima kelompok dengan catu yang berbeda, yaitu :[5]
Kelompok Eropa yang bekerja sebagai serdadu, tukang, dan magang, berhak atas daging dua kali seminggu.
1.      Kelompok Swaerten (hitam) dan Chineezen (China) yang bekerja pada VOC mendapat Sembilan pon beras dua kali seminggu dan uang setengah gulden setiap bulan.
2.      Para istri dan budak yang tak bekerja pada VOC tidak mendapat catu.
3.      Anak-anak karyawan VOC berhak atas separo catu orang tua mereka.
4.      Golongan burghers (warga biasa) atau vrijman (preman, warga bebas), tidak diberi catu tetapi boleh membeli beras selama persediaan masih ada.
Dengan alasan kestabilan kota, VOC melarang orang asing (orang Jawa) memasuki kota Batavia dan melarang penduduk kota keluar. Untuk itu kemudian dibangunlah dinding tembok di sekeliling kota. Baru pada tahun 1624 VOC mengizinkan “orang Jawa” memasuki kota. Itu pun hanya untuk berdagang di pasar-pasar yang sudah ditentukan.
Dalam kekuasaan VOC, pemilahan agama pun terjadi. Peng-Kristenan besar-besaran khususnya pada para budak yang lebih tepatnya dipaksa masuk dalam agama Kristen.
VOC juga melakukan tindakan mengutamakan pada bangsa-bangsa tertentu seperti China dan Jepang. Misalnya kegiatan perpajakan banyak diserahkan pada masyarakat China, hampir semua kegiatan bernilai ekonomi tetapi hampir tidak penting bagi VOC diserahkan kepada kelompok masyarakat China seperti mengumpulkan dan berdagang sarang burung, paruh burung, cula badak, kapur barus, intan, danbeberapa barang berharga lainnya. Bahkan J.P. Coen sendiri secara tegas menyatakan bahwa masyarakat China dianggap begitu strategis bagi monopoli VOC. Sedangkan Jepang diberlakukan istimewa dalam bidang pasukan bayaran yang dikontrak VOC di Hirado, pusat pedagangannya di Jepang pada 1612. Selama pemilahan masih berdasarkan kegiatan dagang, agama, dan kekuasaan VOC, orang Eropa digolongkan ke dalam kelompok atas. Begitu kepentingan ekonomi VOC yang jadi pertimbangan, golongan Eropa sama sekali tidak lagi memiliki keistimewaan.
Untuk semakin memperbesar kekuasaannya di Indonesia, VOC melakukan cara-cara politik devide et impera atau politik adu domba, dan tipu muslihat. Misalnya kalau ada persengketaan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lain, mereka mencoba membantu salah satu pihak. Dari jasanya itu, mereka mendapatkan imbalan berupa daerah. Hal ini berlangsung setiap kali sehingga di Indonesia semakin banyak daerah koloni orang-orang Eripa, terutama Belanda.
Untuk mempertahankan kegiatan monopoli dan kekuasaan, VOC banyak menggunakan kekerasa. Misalnya menindak keras para pedagang Makassar di daerah Misol, bahkan raja dan kapten laut Misol juga ditawan (1702)
E.     Masa Kejayaan VOC
Pada 1641, Malaka berhasil direbut oleh VOC dari tangan Portugis. Pada 1645, Maluku bebas dari gangguan Banten, dan Mataram mau berdamai dengan VOC setelah Sultan Agung wafat (1646). Sekitar tahun-tahun itu, praktis seluruh kawasan India ama bagi VOC sejak jatuhnya Sri Lanka (Ceilon). Pada waktu itu, penduduk Batavia pun semakin tertib dan terkendali. Salah satu cermin keberhasilan VOC ini adalah konsolidasi peraturan kota Batavia dalam suatu kodifikasi hukum (de statute van Batavia), yang diresmikan pada 5 Juli 1642. Kodifikasi ini, yang merupakan akar hukum Hindia-Belanda, menetapkan dengan jelas peranan setiap alat kekuasaan (termasuk agama Kristen) dan kelompok masyarakat. Selain itu, setelah kestabilan Batavia terjamin, dalam 10 tahun berikutnya VOC dapat memusatkan tenaga untuk melemahkan kekuasaan local, seperti Banten, Mataram, dan Makassar.
Sementara di Indonesia bagian Timur, VOC semakin kuat setelah berhasil mengalahkan perlawanan Sultan Hasanudin dari Gowa. Kekuasaan VOC berkembang di Kalimantan Selatan setelah VOC berhasil memaksakan kontrak dan monopoli dengan Raja Sulaiman (1787). Di Maluku, dengan taktik adu domba para penguasa, yakni VOC membantu Putra Alam untuk memerangi Sultan Nuku, akhirnya Maluku dapat dikendalikan.
Sembilan tahun masa tenang setelah Malaka dikuasai pada 1641, VOC memutuskan mengakhiri kekuasaan Portugis di Nusantara untuk selamanya. Menjelang akhir jabatannya, Gubernur Jenderal ke-11, Carel Reyniersz (1650-1653) diperintah menggempur Portugis sampai di pantai jazirah India. Sejak Oktober 1652 sampai 1655, Portugis di Sri Lanka dipukul terus-terusan. Pada 12 Mei 1656, pada masa Gubernur Jenderal ke-12, Joan Maetsuyker (1653-1678), perlawanan Portugis berakhir dan Colombo dikuasai oleh VOC.
Maetsuyker memang dianggap salah satu gubernur jenderal paling agresif. Ia berhasil tidak hanya menguasai Colombo, tetapi juga seluruh Maluku (1655), Minahasa (1658) dan Gorontalo (1677), Mataram (1667), serta Makassar (1669).
Dalam periode itu, VOC sedang berada pada puncak kekuasaannya sebagai negara. Kerajaan-kerajaan local tidak hanya diungguli, tetapi sudah merosot jadi sekadar pelayan kepentingannya. Jalur armada dagangnya dari Maluku sampai Amsterdam lewat Tanjung Harapan sangat terjamin keamanannya. Kenyataan itu telah sangat jauh melampaui syarat-syarat pelayaran bebas, cita-cita agung yang merupakan tenaga penggerak utama Belanda untuk mematahkan hegemoni Portugis dan Spanyol sejak akhir abad ke-16.
F.     Keruntuhan VOC
Pada dasarnya, sejak tahun 1760-an masa kejayaan VOC sebagai kongsi dagang dunia sudah mulai meredup. Keterlibatannya dalam berbagai konflik local dan penguasaan territorial yang semakin luas, membuat keuntungan dagangnya terkuras. Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi. Sejak pertengahan abad ke-18 VOC tidak lagi mengirimkan keuntungan ke negeri induknya, tetapi sebaliknya, justri mengutang. Akhirnya pemerintah Belanda mengambil alih semua utang-piutang VOC. Namun sebelum raja Belanda bertindak, pada bulan Desember 1794-Januari 1795 Perancis menyerbu Belanda dan memaksa raja Oranje lari ke Inggris
 Pada tanggal 30 Desember 1799 VOC dibubarkan, Karena berbagai sebab, antar lain:
a.       Sifat VOC sebagai badan dagang untuk memerintah daerah yang luas tidak dapat dipertahankan lagi.
VOC mempunyai daerah jajahan yang sangat banyak di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah VOC membutuhkan pegawai yang sangat banyak untuk ditempatkan di semua tanah jajahan. Tetapi hal ini membuat pemerintah VOC mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk menggaji pegawai-pegawai VOC yang tersebar di segala tempat dan memberikan dana untuk administrasinya sangat menguras dana yang cukup banyak. Lama-kelamaan pemerintah VOC tidak sanggup untuk menanggung semua kerugian yang telah terjadi. Akhirnya VOC dikembalikan kepada pemerintah Belanda
b.      Korupsi yang merajalela.
c.       Saingan kongsi-kongsi dagang lain negara.
Persaingan dagang antara Belanda dengan Negara-negara Eropa lainnya sudah terjadi beberapa tahun. Belanda yang diwakili kongsi dagangnya yaitu VOC berusaha agar tetap eksis dalam persaingannya dengan Inggris yang mana dalam hal ini diwakili oleh EIC. VOC berusaha agar dapat menggenggam semua perdagangan di Asia Tenggara. Dan hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
d.      Perang yang terus-menerus menelan biaya yang besar.
Pada saat VOC berada di Indonesia, sementara itu perang di Eropa makin meluas. Perancis bersekutu dengan Belanda melawan Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan Nusantara, dari 1781 sampai 1795 VOC terpaksa menambah utang. Hal ini tentunya akan menyedot uang VOC untuk diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tetapi karena perang tersebut tak berkesudahan, menyebabkan pemerintah Belanda kocar-kacir untuk mendapatkan uang guna membiayai perang yang sudah lama terjadi. Hanya VOC lah yang menjadi andalan pemerintah Belanda untuk mendapatkan uang yang sangat banyak. Tetapi VOC juga sangat membutuhkan dana untuk membiayai segala sesuatu yang terjadi di Negara jajahannya.
e.       Terlalu lama mempertahankan monopoli, menimbulkan bentrokan-bentrokan dan penyelundupan. Selain itu system monopoli sudah out of date ( ketinggalan zaman) karena perkembangan liberalisme yang menghendaki usaha bebas.[6]
Willem V memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Maka berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah suatu badan untuk mengambil alih semua tanggung jawab atas milik dan utang VOC. Badan ini bernama Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia. Pengambilalilahan itu resmi diumumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut dan seluruh hak miliknya berada di bawah kekuasaan Negara Belanda.
Setelah VOC bubar, Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (Republik Bataaf). Pegawai-pegawai VOC menjadi pegawai pemerintah Belanda. Hutang VOC juga menjadi tanggungan negeri Belanda. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1800 Indonesia dijajah langsung oleh negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia disebut Hindia Belanda. Sejak itu di Indonesia berlangsung masa kolonialisme.

Sumber :
·         Kartodirjo, Sartono, 1993, Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari kolonialisme sampai nasionalisme, Jakarta : Gramedia.
·         Moedjanto, 1991, Indonesia abad ke-20, Yogyakarta : Kanisius.
·         Parakitri T. Simbolon. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta:Kompas
·         M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta.



[1] Moedjanto, 1991, Indonesia abad ke-20, Yogyakarta : Kanisius hlm. 16.
[2] Kartodirjo, Sartono, 1993, Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900: Dari kolonialisme sampai nasionalisme, Jakarta : Gramedia.
[3] Moedjanto, Loc.Cit ,hlm17.
[4] Simbolon, Parakitri T. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta:Kompas. Hlm.36
[5] Ibid. Hlm.40
[6] Moedjanto, Loc.Cit ,hlm17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar