A.
Awal
Berdirinya Kerajaan Singasari
Pada akhir kerajaan
Kediri, daerah Tumapel yang terletak disebelah timur Gunung Kawi merupakan daerah
yang dikepalai oleh seorang Akuwu beranama
Tunggul Ametung. Daerah Tumapel termasuk kedalam wilayah kekuasaan raja
Kertajaya dari Daha (Kediri). Kedudukan Tunggul Ametung berakhir setelah ia
dibunuh oleh Ken Arok. Kemudian ia mendirikan kerajaan Singasari dan menjadi
raja dengan gelar Sri Ranggah Rajasa
Amurwabhumi. Ia tidak dikenal dari prasasti-prasasti melainkan dari kitab
Pararaton dan kitab Negarakertagama.[1]
Menurut kitab Pararaton
Ken Arok adalah penjelmaan kembali seseorang yang
pada waktu hidup didunia merupakan seorang yang bertingkah laku baik, tetapi
karena ia sanggup dikorbankan untuk Dewa penjaga pintu, ia dapat kembali ke
Wisnubhawana. Ken Arok dilahirkan di Desa Pangkur disebelah timur Gunung Kawi,
ibunya bernama Ken Endok. Pada suatu saat Ken Arok diakui sebagai anak oleh
seorang Brahmana bernama
Danghyang Lohgawe, yang sengaja datang dari Jambudwipa ke Jawa untuk mencari
Ken Arok. [2]
Dengan perantara
Danghyang Lohgawe ia dapat diterima mengabdi kepada Akuwu Tunggul Ametung. Ken Arok tertarik dengan istri Akuwu yang
bernama Ken Dedes. Pada suatu malam dibunuhnya Tunggul Ametung oleh Ken Arok
dengan menggunakan sebilah keris buatan Mpu Gandring. Setelah Tunggul Ametung
meninggal, Ken
Arok memperistri Ken Dedes dan menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai
Akuwu di Tumapel.
Setelah ia menjadi Akuwu Tumapel ia sering didatangi Brahmana dari Daha untuk
meminta perlindungan Ken Arok dari tindakan raja Daha. Kemudian para Brahmana
menobatkan Ken Arok sebagai raja Tumapel yang bergelar Sri Rajasa Amurwabhumi.
Pada tahun 1222 M ia melawan Kertajaya di desa Ganter dan berhasil
mengalahkannya, kemudian Kediri dapat direbutnya.[3]
Sementara menurut
Negarakertagama pada tahun 1104 Saka (1182 M) ada seorang raja besar yang gagah
perwira, putra Sri Girinatha. Konon kabarnya lahir tanpa melalui kandungan. Sri
Ranggah Rajasa namanya, penggempur musuh dan pahlawan bijak. Semua orang sujud
menyembah sebagai tanda bakti.[4]
Ibukota kerajaannya
bernama Kutharaja. Tahun 1144 Saka (1222 M) ia melawan Raja Kertajaya dari
Kediri. Setelah raja Kertajaya dikalahkan, Kediri dapat direbutnya. Bersatulah
Jenggala dan Panjalu
dibawah kekuasaan Ken Arok. Makin bertambah besarlah kekuasaan dan wibawa Putra
Sri Girinatha. Pada tahun 1170 Saka (1227 M) ia pulang ke Swargaloka,
dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha.[5]
Selain dari kedua
sumber tersebut riwayat Ken Arok masih dapat kita jumpai dalam beberapa Kidung.
Akan tetapi keterangan dari Kitab-kitab Kidung tersebut tidak memberikan
kejelasan mengenai kesejarahan Ken Arok.[6]
B.
Masa
Pemerintahan Kertanegara
Berdasarkan
kitab Negarakertagama, pada tahun 1254 M Kertanegara diangkat oleh ayahnya, Raja Wisnuwardhana sebagai Yuwaraja atau Putra mahkota. Setelah dinobatkan,
putra mahkota mengambil nama abhiseka
Sri Kertanegara mahkota. Tahun 1254 M ibukota kerajaan yang semula bernama
Kutaraja diubah menjadi Singasari.[7]
Kertanegara memerintah
pada tahun 1268-1292 M dengan
gelar Nararyya Murdhaja. Raja
Kertanegara adalah seorang raja Singasari yang sangat terkenal baik dalam
bidang politik maupun keagamaan. Dalam bidang politik, ia terkenal sebagai
seorang raja yang mempunyai gagasan cakrawala
mandala keluar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Dalam bidang keagamaan, ia
sangat menonjol dan dikenal sebagai seorang penganut agama Budha Tantrayana.[8]
Tentang pemerintahannya, sang raja dibantu dengan tiga orang Mahamantri ialah
Rakryan I Hino, Rakryan I Sirikan dan Rakryan I Halu. Mereka meneruskan dan
mengatur perintah-perintah raja melalui menteri pelaksana yaitu Rakryan Apatih,
Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Mengenai urusan keagamaan pada masa
pemerintahan Kertanegara terdapat dua
agama
resmi. Kedua agama tersebut dikepalai oleh seorang Dharmadhyaksa. Selain itu
ada seorang rohaniawan istana, bergelar Mahabrahmana, yang tahu betul akan isi
Reg-Weda, yang dengan korban-korbannya kepada Ciwagni memperkekal kekuasaan
raja.[9]
Pada tahun 1270 M ia
berhasil memadamkan pemberontakan kalana bahaya (cayaraja), dalam pemberontakan
itu kalana Bhaya mati terbunuh. Pada tahun 1275 M Kertanegara mengirimkan
ekspedisi untuk menaklukan Malayu. Pada tahun 1280 M berhasil membinasakan
durjana yang bernama Mahisa Rangkah dan pada tahun 1284 M berhasil menaklukan
Bali. Demikianlah seluruh daerah-daerah lain tunduk dibawah kekuasaan raja
Kertanegara yaitu seluruh Pahang, seluruh Malayu, seluruh Gurun, seluruh
Bakulapura dan seluruh Pulau Jawa.[10]
Dalam Negarakertagama
diterangkan, bahwa tidak ada raja mashur seperti Kertanegara, karena
Kertanegara sempurna dalam enam macam ilmu tata negara, ilmu pengetahuan, tahu
benar tentang buku ilmu kenyataan yang berpengaruh, teguh dalam sumpah Jina,
pandai akan perbuatan, dan bijaksana. Oleh karena itu semua keturunannya
menjadi maharaja “duli yang mulia”. Dalam prasasti Jokodolog di Surabaya juga
menyebutkan bahwa Kertanegara adalah seorang raja yang tahu benar akan sastra.
Ia dianggap sebagai penulis Rajapatigundala, yaitu suatu pengumpulan
aturan-aturan tentang agama terutama tentang hal menjadi Yogiswara.[11]
Ekspedisi Pamalayu.
Kertanegara sebagai
raja kerajaan Singasari sejak tahun 1268 M memiliki ambisi yang sangat besar
dalam memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasannya itu di
mulai pada tahun 1275 M dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo
Anabrang untuk menaklukkan Bhumi Malayu. Sebenarnya tujuan dari Ekspedisi ini
adalah untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik namun tujuan tersebut mengalami
perubahan karena Raja Swarnnabhumi melakukan perlawanan. Meskipun demikian,
pasukan Singasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.[12]
Namun
menurut para sejarahwan latar belakang pengiriman Ekspedisi ini adalah untuk
membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan (Dinasti
Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu Kertanegara mencoba
mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing
tersebut. Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa tujuan dari
ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan Nusantara di bawah satu komando
Singasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan Mongol.[13]
Beberapa
literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri
Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian,
posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun
pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah.
Nagarakertagama
yang ditulis tahun 1365 M juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama
Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman
tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.[14]
Catatan
dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 M tentara Jawa
menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi
tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi
memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun
1225 M, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain,
San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana mereka
menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.[15]
Jadi, sasaran Ekspedisi
Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakertagama telah disebutkan bahwa kerajaan
wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan
Majapahit, dimana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri
yang ada di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya.[16]
Ketika pasukan tiba
kembali di Singasari Sang Raja sudah tidak ada lagi (meninggal), diakibatkan
adanya serangan dari Jayakatwang.
Berdasarkan prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang
adalah kemanakan raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanegara.[17]
Jayakatwang
menyerang Singasari melalui dua jalan yaitu jalan utara dan
jalan selatan. Jalan utara bergeraklah tentara yang tidak begitu kuat tetapi
mengacau sepanjang jalan dan menimbulkan kegaduhan dimana-mana, sementara jalan
selatan bergeraklah dengan diam-diam pasukan
induknya. Kertanegara mengira serangan hanya datang dari utara saja, maka
dikirimkanlah dua orang menantunya yaitu Raden Wijaya dan Arddharaja untuk
menghadapi serangan Kediri itu. Tentara Kediri terpukul mundur, dan dikejar
terus. Akan tetapi, pasukan Kediri yang dari selatan dengan mudahnya melakukan
serangannya dan memasuki kota dan keraton Singasari. Kertanegara beserta
patihnya, pendeta-pendeta terkemuka, dan pembesar lain sedang melakukan upacara
keagamaan yaitu makan dan minum sampai mabuk, sehingga dalam serbuan itu mereka
terbunuh semua.[18]
Kertanegara merupakan
penganut aliran Tantrayana yang taat dengan abbiseka
bathara Shiwa-Budha. Selain itu juga di tabhiskan menjadi Jina dengan gelar
Jnanabajreswara atau Jnanes-warabajra dikuburan Wurara. Raja Kertanegara
dicandikan di Candi Singasari dengan tiga arca perwujudan, yang melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam
bentuk Bhairawa yang melambangakan nirmanakaya,
sebagai ardhanari lambang sambhogakaya
dan sebagai jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangakan dharmmakaya.[19]
Aksobhya
adalah sebuah arca Dhyani-Budha yang duduk menghadap ke timur, dengan
bhumisparsa-mudra (mudra=sikap tangan), yaitu tangan kiri dalam pangkuan,
tangan kanan di atas lutut menghadap ke bawah. Sikap ini menggambarkan ketika
Budha sebelum menerima bodhi, memanggil bumi sebagai saksi tatkala digoda oleh
setan bernama Mara.[20]
C.
Sejarah
Candi Singasari
Bersumber dari kitab Negarakertagama
dan kitab Pararaton dapat diperoleh keterangan yang cukup meyakinkan, bahwa
pembangunan candi bertalian erat dengan wafatnya seorang raja. Sebuah candi
didirikan sebagai tempat untuk mengabdikan dharmanya dan memuliakan rohnya yang
telah bersatu dangan dewa penitisnya. Umumnya seorang raja didharmakan lebih
dari satu tempat, seperti raja Kertanegara yang didharmakan dan diarcakan di
dua tempat yaitu candi Singasari dan candi Jawi.[21]
Informasi mengenai
candi Singasari dapat diketahui dari teks Jawa Kuno abad ke -14 yaitu
“Pararaton” atau kitab raja. Candi Singasari yang dibangun tahun 1304 M ini
umumnya dihiasi dari bawah hingga atasnya. Namun, bila diperhatikan hiasan
tersebut tidak seluruhnya diselesaikan, sehingga ada dugaan bahwa candi ini
dalam proses pembangunan yang belum selesai kemudian ditinggalkan. Dilihat dari
teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi, tampak bahwa hiasan itu dikerjakan
dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi
(tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum
diselesaikan. Kemungkinkan belum terselesaikannya pembangunan candi tersebut
akibat adanya peperangan yaitu serangan kerajaan Gelang-gelang pimpinan
Jayakatwang tahun 1292 M hingga menghancurkan kerajaan Singasari.[22]
a.
Sejarah Penemuan Candi Singasari
Candi Singasari
ditemukan sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850 M) oleh orang Belanda yang
kemudian diberi nama candi Menara.
Mungkin pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat
juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan
berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinding dibagian tubuhnya. Menurut
laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856 M,
penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang
dipakai adalah Candi Singasari karena letaknya di Singasari, adapula sebagian
orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.[23]
Candi Singasari baru
mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20
dalam keadaan berantakan. Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 M dan
bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936 M.[24]
b.
Letak
Candi Singasari
Candi Singasari adalah
candi bercorak Hindu dan Budha yang merupakan peninggalan sejarah Kerajaan
Singasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singasari, Kabupaten
Malang, Jawa Timur atau sekitar 10 km dari Kota Malang, terletak di lembah
antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna pada ketinggian 512 m di atas
permukaan laut. Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri
dari beberapa candi.[25]
c.
Arsitektur
Candi Singasari
Bangunan candi utama
dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar
berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m.[26]
Candi
sebagai bangunan terdiri dari 3 bagian yaitu kaki candi, tubuh candi dan atap. Bangunan candi bukanlah sekedar tumpukan batu yang
tidak berarti, tetapi candi sangat erat hubungannya
dengan keagamaan, bersifat suci. Tinjauan dari filsafat Hindu bahwa kaki candi
(Bhurloka=alam bawah) tempat manusia biasa, tempat manusia dimana masalah
keduniawian sangat menonjol. Manusia masih senang mengejar harta
benda yang berlebihan. Tubuh candi
(Bhuwarloka=alam antara), tempat manusia meninggalkan segala keduniawian. Atap
candi (Swarloka=alam atas) tempat dewa-dewa.
Pada
kaki candi (subasemen=soubasement), yang biasa berbentuk persegi empat, yang pada salah satu sisi terdapat suatu tangga yang digunakan
untuk naik ke atas. Pada bagian tengah-tengah
subasemen terdapat sumuran (lubang) yang berisi abu dari seorang raja yang
wafat. Sementara
di atas lubang diletakkan patung dewa
(Siwa atau Wisnu atau Brahma) atau pengganti Siwa yang berwujud lingga dan
yoni. Pada kaki candi ada hiasan menurut profil tertentu. Pada bagian sebasemen, dengan naik melalui tangga kita dapat
melakukan pradaksina, yaitu berjalan
keliling dengan menyebelah kanankan candi. Pradaksina dilakukan untuk melihat
dewa-dewa di bilik-bilik samping atau melihat relief-relief yang berada di
pagar langkan. Pradaksina dilakukan di Jawa Tengah. Berbeda halnya dengan
keadaan di Jawa Timur, kita berjalan mengirikan candi yang disebut prasawya. Bagian atas atap candi merupakan meru yang bertingkat-tingkat,
ada puncak atap yang mempunyai bentuk bermacam-macam menurut dasar agama candi
itu. Puncak candi yang merupakan penutup ada 3 macam: penutup candi Siwa atau
Budha berbentuk stupa, penutup candi Siwa saja merupakan lingga, dan penutup
candi bentuk teratai.[27]
Berdasarkan
agama Hindu, candi adalah replika candi Himalaya di
India, pada keempat puncaknya disebut “Gaurisangkar” dan
dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa, juga dikenal sebagai Meru.
Candi Singasari dibangun
tinggi seperti menara dengan dasar tinggi, cella kecil; pintu masuk berhias
patung kala. Pada pintu dan tangga tidak terdapat lagi makara, hanya motif yang
serupa garis-garis dan sulur-sulur bunga. Gaya Singasari kelihatan sekali
pengaruhnya di Sumatera, yakni kerajaan Minangkabau, seperti terbukti pada
patung Bhairawa di sungai Langsat (Bukittinggi).[28]
Candi Singasari
ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Dalam ruang utama terdapat lingga dan
yoni (lingga sudah tidak ada). Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dahulu
berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dahulu berisi arca Ganesha,
serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya).[29]
Dalam
komplek
candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang
ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di
Institut Tropika Kerajaan Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
Gb. Denah Candi
Singasari
Keterangan:
A.
Lingga dan Yoni
B.
Tempat arca
B1. Arca Dewi Durga
B2. Arca Ganesha
B3. Arca Resi
Agastya
C.
Batur
D.
Tangga
Denah candi berdasarkan gambar H.L. Leydie Melville.
Denahnya berbentuk segi empat. Sebuah ruang ditengah berfungsi sebagai ruang
utama, sedangkan ruang lainnya disetiap sisinya merupakan tempat diletakkannya
patung dewa.
Bila
diperhatikan hiasan pada kala tidak seluruhnya terselesaikan, sehingga ada
dugaan bahwa candi ini dalam proses pembangunan yang belum salesai kemudian
ditinggalkan. Dilihat dari teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi., tampak
bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan
sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian
bawah sama sekali belum diselesaikan. Kemungkinkan belum terselesaikannya
pembangunan candi tersebut akibat adanya peperangan yaitu serangan kerajaan
Gelang-gelang pimpinan Jayakatwang tahun 1292 hingga menghancurkan kerajaan
Singasari.[1]
Bagian
sisi
barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m,
disebut Dwarapala) dengan posisi gada menghadap ke bawah, hal ini menunjukkan
meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua
mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Posisi arca ini hanya ada di Singasari,
tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Didekat arca Dwarapala terdapat alun-alun.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.[2]
Letak candi Singhasari
yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan
ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam
wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati)
sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang
Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau Gauri). Dikarenakan letak candi Singasari yang sangat dekat
dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna,
penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan Gunung Arjuna
dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.[3]
Dalam
komplek candi
Singasari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, diantaranya berupa tubuh
dewa atau dewi meskipun bisa dkatakan tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu
arca Dewi Parwati yang memiliki kepala yang terlihat "aneh". Nampaknya
bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca
yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali.[4]
a.
Keunikan
Candi Singasari
Keunikan Candi
Singasari terletak pada relung-relung candi atau bilik-bilik candi yang
letaknya berada di kaki candi berbeda dengan candi-candi pada umumnya yang
relungnya berada ditubuh candi. Selain itu bentuk dwarapala yang berbeda dengan
candi pada umunya karena dwarapalanya tersenyum dan dwarapala tersebut merupakan
dwarapala terbesar di Indonesia. Selain itu kala pada Candi Singasari belum di
ukir semuanya. Kala adalah muka
seorang raksasa dengan mata melotot, hidung lebar dan taring pada kedua pihak.
Pada kedua pihak kadang-kadang terlihat kuku yang besar.[5]
Pada Candi Singasari hanya bagian atas dikarenakan teknik
pembuatan ornamen (hiasan) candi dikerjakan dari atas ke bawah. Candi Singasari merupakan bentuk perpaduan dua agama
yaitu agama Budha dan Hindu, dan candi Singasari erat kaitannya dengan candi
Jawi.[6]
Bentuk hiasan tanaman
di Candi Singasari berbentuk batang teratai yang menjulang keatas yang
keluar dari umbinya. Hal ini merupakan suatu ciri kesenian dari kerajaan
Singasari. Sedangkan pada candi-candi Majapahit, batang teratai keluar dari
dalam bejana atau pot.[7]
Kesimpulan
Candi Singasari adalah
candi bercorak Hindu dan Budha yang merupakan peninggalan sejarah Kerajaan
Singasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten
Malang, Jawa Timur. Candi ini didirikan untuk memuliakan raja Kertanegara yang
merupakan raja yang memiliki peranan besar dalam perkembangan Kerajaan
Singasari. Dalam komplek
Candi Singasari Raja Kertanegara di candikan dengan tiga arca perwujudan, yang
melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam bentuk Bhairawa yang
melambangkan nirmanakaya, sebagai Ardhanari lambang sambhogakaya, dan sebagai
Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan dharmmakaya.
Cara pembuatan candi
Singasari cukup unik dan istimewa karena hanya dengan menumpuk batu andhesit
hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas
candi turun ke bagian bawah. Dalam
candi ini terdapat sepasang arca raksasa besar (dwarapala) dengan membawa gada
yang menghadap ke bawah dengan wajah tersenyum,
hal ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada kasih sayang
terhadap semua makhluk hidup. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca dan
relief. Di ruang utama terdapat lingga dan yoni (lingga sudah tidak ada), di
sebelah utara terdapat arca Durga (sudah hilang), di sebelah timur terdapat
arca Ganesha (sudah hilang), di sebelah selatan terdapat arca Resi Agastya. Dalam komplek candi ini juga terdapat
arca Prajanaparamita (dewi Kebijaksanaan) yang sekarang ditempatkan di Museum
Nasional Indonesia.
Saran
1.
Perlunya
pemeliharaan dan perawatan komplek percandian Singasari di Malang dari pemerintah khususnya Dinas Purbakala.
2.
Perlunya
publikasi dari pemerintah tentang peninggalan sejarah agar wisatawan, sejarawan
dan khususnya masyarakat luas agar mereka lebih mengetahui tentang peninggalan
sejarah (candi Singasari).
[3] Ibid hlm. 422.
[4] Ibid
[6] Ibid
[7] Slamet Mulyana, Negarakertagama dan tafsir sejarahnya, (Jakarta: Bhratara Karya
Aksara, 1979), hlm. 107.
[9] Ibid hlm. 436.
[10] Ibid hlm. 437.
[11] Ibid
[13] ibid
[14] Ibid hlm. 108.
[15] Ibid
[16] Ibid hlm. 109.
[17] Ibid
[20]
Asmito. Sejarah Kebudayaan Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1988), hlm. 140.
[21]
Sartono Kartodirjo, 700 Tahun Majapahit
Suatu Bunga Rampai , (Jawa
Timur : Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Tingkat 1 Jawa Timur,1993)
[23] http://petibaru.blogspot.com/2010/12/candi-singosari.html.
diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 18.30.
[25]
Informasi lisan dari Indah Sri Pinasti, M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar