Selasa, 07 Januari 2014

CANDI SINGASARI SEBAGAI PENDHARMAAN SRI KERTANEGARA



A.          Awal Berdirinya Kerajaan Singasari
Pada akhir kerajaan Kediri, daerah Tumapel yang terletak disebelah timur Gunung Kawi merupakan daerah yang dikepalai oleh seorang Akuwu beranama Tunggul Ametung. Daerah Tumapel termasuk kedalam wilayah kekuasaan raja Kertajaya dari Daha (Kediri). Kedudukan Tunggul Ametung berakhir setelah ia dibunuh oleh Ken Arok. Kemudian ia mendirikan kerajaan Singasari dan menjadi raja dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Ia tidak dikenal dari prasasti-prasasti melainkan dari kitab Pararaton dan kitab  Negarakertagama.[1]
Menurut kitab Pararaton Ken Arok adalah penjelmaan kembali seseorang yang pada waktu hidup didunia merupakan seorang yang bertingkah laku baik, tetapi karena ia sanggup dikorbankan untuk Dewa penjaga pintu, ia dapat kembali ke Wisnubhawana. Ken Arok dilahirkan di Desa Pangkur disebelah timur Gunung Kawi, ibunya bernama Ken Endok. Pada suatu saat Ken Arok diakui sebagai anak oleh seorang Brahmana bernama Danghyang Lohgawe, yang sengaja datang dari Jambudwipa ke Jawa untuk mencari Ken Arok. [2]
Dengan perantara Danghyang Lohgawe ia dapat diterima mengabdi kepada Akuwu Tunggul Ametung.  Ken Arok tertarik dengan istri Akuwu yang bernama Ken Dedes. Pada suatu malam dibunuhnya Tunggul Ametung oleh Ken Arok dengan menggunakan sebilah keris buatan Mpu Gandring. Setelah Tunggul Ametung meninggal, Ken Arok memperistri Ken Dedes dan menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai Akuwu di Tumapel. Setelah ia menjadi Akuwu Tumapel ia sering didatangi Brahmana dari Daha untuk meminta perlindungan Ken Arok dari tindakan raja Daha. Kemudian para Brahmana menobatkan Ken Arok sebagai raja Tumapel yang bergelar Sri Rajasa Amurwabhumi. Pada tahun 1222 M ia melawan Kertajaya di desa Ganter dan berhasil mengalahkannya, kemudian Kediri dapat direbutnya.[3]
Sementara menurut Negarakertagama pada tahun 1104 Saka (1182 M) ada seorang raja besar yang gagah perwira, putra Sri Girinatha. Konon kabarnya lahir tanpa melalui kandungan. Sri Ranggah Rajasa namanya, penggempur musuh dan pahlawan bijak. Semua orang sujud menyembah sebagai tanda bakti.[4]
Ibukota kerajaannya bernama Kutharaja. Tahun 1144 Saka (1222 M) ia melawan Raja Kertajaya dari Kediri. Setelah raja Kertajaya dikalahkan, Kediri dapat direbutnya. Bersatulah Jenggala dan Panjalu dibawah kekuasaan Ken Arok. Makin bertambah besarlah kekuasaan dan wibawa Putra Sri Girinatha. Pada tahun 1170 Saka (1227 M) ia pulang ke Swargaloka, dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha.[5]
Selain dari kedua sumber tersebut riwayat Ken Arok masih dapat kita jumpai dalam beberapa Kidung. Akan tetapi keterangan dari Kitab-kitab Kidung tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai kesejarahan Ken Arok.[6]
B.           Masa Pemerintahan Kertanegara
Berdasarkan kitab Negarakertagama, pada tahun 1254 M Kertanegara diangkat oleh ayahnya, Raja Wisnuwardhana sebagai Yuwaraja atau Putra mahkota. Setelah dinobatkan,  putra mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanegara mahkota. Tahun 1254 M ibukota kerajaan yang semula bernama Kutaraja diubah menjadi Singasari.[7]
Kertanegara memerintah pada tahun 1268-1292 M dengan gelar Nararyya Murdhaja. Raja Kertanegara adalah seorang raja Singasari yang sangat terkenal baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Dalam bidang politik, ia terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai gagasan cakrawala mandala keluar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Dalam bidang keagamaan, ia sangat menonjol dan dikenal sebagai seorang penganut agama Budha Tantrayana.[8]
Tentang pemerintahannya, sang raja dibantu dengan tiga orang Mahamantri ialah Rakryan I Hino, Rakryan I Sirikan dan Rakryan I Halu. Mereka meneruskan dan mengatur perintah-perintah raja melalui menteri pelaksana yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Mengenai urusan keagamaan pada masa pemerintahan Kertanegara terdapat dua agama resmi. Kedua agama tersebut dikepalai oleh seorang Dharmadhyaksa. Selain itu ada seorang rohaniawan istana, bergelar Mahabrahmana, yang tahu betul akan isi Reg-Weda, yang dengan korban-korbannya kepada Ciwagni memperkekal kekuasaan raja.[9]
Pada tahun 1270 M ia berhasil memadamkan pemberontakan kalana bahaya (cayaraja), dalam pemberontakan itu kalana Bhaya mati terbunuh. Pada tahun 1275 M Kertanegara mengirimkan ekspedisi untuk menaklukan Malayu. Pada tahun 1280 M berhasil membinasakan durjana yang bernama Mahisa Rangkah dan pada tahun 1284 M berhasil menaklukan Bali. Demikianlah seluruh daerah-daerah lain tunduk dibawah kekuasaan raja Kertanegara yaitu seluruh Pahang, seluruh Malayu, seluruh Gurun, seluruh Bakulapura dan seluruh Pulau Jawa.[10]
Dalam Negarakertagama diterangkan, bahwa tidak ada raja mashur seperti Kertanegara, karena Kertanegara sempurna dalam enam macam ilmu tata negara, ilmu pengetahuan, tahu benar tentang buku ilmu kenyataan yang berpengaruh, teguh dalam sumpah Jina, pandai akan perbuatan, dan bijaksana. Oleh karena itu semua keturunannya menjadi maharaja “duli yang mulia”. Dalam prasasti Jokodolog di Surabaya juga menyebutkan bahwa Kertanegara adalah seorang raja yang tahu benar akan sastra. Ia dianggap sebagai penulis Rajapatigundala, yaitu suatu pengumpulan aturan-aturan tentang agama terutama tentang hal menjadi Yogiswara.[11]
Ekspedisi Pamalayu.
Kertanegara sebagai raja kerajaan Singasari sejak tahun 1268 M memiliki ambisi yang sangat besar dalam memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasannya itu di mulai pada tahun 1275 M dengan pengiriman pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk menaklukkan Bhumi Malayu. Sebenarnya tujuan dari Ekspedisi ini adalah untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik namun tujuan tersebut mengalami perubahan karena Raja Swarnnabhumi melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.[12]
            Namun menurut para sejarahwan latar belakang pengiriman Ekspedisi ini adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan (Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu Kertanegara mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan Nusantara di bawah satu komando Singasari yang bertujuan untuk menahan kemungkinan serangan Mongol.[13]
            Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakertagama yang ditulis tahun 1365 M juga tidak pernah menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, tetapi melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.[14]
            Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 M tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225 M, istilah San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.[15]
Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakertagama telah disebutkan bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak daerah jajahan Majapahit, dimana penyebutan Malayu tersebut dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya.[16]
Ketika pasukan tiba kembali di Singasari Sang Raja sudah tidak ada lagi (meninggal), diakibatkan adanya serangan dari Jayakatwang. Berdasarkan prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemanakan raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanegara.[17]
Jayakatwang menyerang Singasari melalui dua jalan yaitu jalan utara dan jalan selatan. Jalan utara bergeraklah tentara yang tidak begitu kuat tetapi mengacau sepanjang jalan dan menimbulkan kegaduhan dimana-mana, sementara jalan selatan bergeraklah dengan diam-diam pasukan induknya. Kertanegara mengira serangan hanya datang dari utara saja, maka dikirimkanlah dua orang menantunya yaitu Raden Wijaya dan Arddharaja untuk menghadapi serangan Kediri itu. Tentara Kediri terpukul mundur, dan dikejar terus. Akan tetapi, pasukan Kediri yang dari selatan dengan mudahnya melakukan serangannya dan memasuki kota dan keraton Singasari. Kertanegara beserta patihnya, pendeta-pendeta terkemuka, dan pembesar lain sedang melakukan upacara keagamaan yaitu makan dan minum sampai mabuk, sehingga dalam serbuan itu mereka terbunuh semua.[18]
Kertanegara merupakan penganut aliran Tantrayana yang taat dengan abbiseka bathara Shiwa-Budha. Selain itu juga di tabhiskan menjadi Jina dengan gelar Jnanabajreswara atau Jnanes-warabajra dikuburan Wurara. Raja Kertanegara dicandikan di Candi Singasari dengan tiga arca perwujudan, yang melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam bentuk Bhairawa yang melambangakan nirmanakaya, sebagai ardhanari lambang sambhogakaya dan sebagai jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangakan dharmmakaya.[19]
Aksobhya adalah sebuah arca Dhyani-Budha yang duduk menghadap ke timur, dengan bhumisparsa-mudra (mudra=sikap tangan), yaitu tangan kiri dalam pangkuan, tangan kanan di atas lutut menghadap ke bawah. Sikap ini menggambarkan ketika Budha sebelum menerima bodhi, memanggil bumi sebagai saksi tatkala digoda oleh setan bernama Mara.[20]

C.          Sejarah Candi Singasari
            Bersumber dari kitab Negarakertagama dan kitab Pararaton dapat diperoleh keterangan yang cukup meyakinkan, bahwa pembangunan candi bertalian erat dengan wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabdikan dharmanya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dangan dewa penitisnya. Umumnya seorang raja didharmakan lebih dari satu tempat, seperti raja Kertanegara yang didharmakan dan diarcakan di dua tempat yaitu candi Singasari dan candi Jawi.[21]
Informasi mengenai candi Singasari dapat diketahui dari teks Jawa Kuno abad ke -14 yaitu “Pararaton” atau kitab raja. Candi Singasari yang dibangun tahun 1304 M ini umumnya dihiasi dari bawah hingga atasnya. Namun, bila diperhatikan hiasan tersebut tidak seluruhnya diselesaikan, sehingga ada dugaan bahwa candi ini dalam proses pembangunan yang belum selesai kemudian ditinggalkan. Dilihat dari teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi, tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan. Kemungkinkan belum terselesaikannya pembangunan candi tersebut akibat adanya peperangan yaitu serangan kerajaan Gelang-gelang pimpinan Jayakatwang tahun 1292 M hingga menghancurkan kerajaan Singasari.[22]
a.             Sejarah Penemuan Candi Singasari
Candi Singasari ditemukan sekitar awal abad 18 (tahun 1800-1850 M) oleh orang Belanda yang kemudian  diberi nama candi Menara. Mungkin pemberian nama ini disebabkan bentuknya yang menyerupai menara. Sempat juga diberi nama Candi Cella oleh seorang ahli purbakala bangsa Eropa dengan berpedoman adanya empat buah celah pada dinding-dinding dibagian tubuhnya. Menurut laporan dari W. Van Schmid yang mengunjungi candi ini pada tahun 1856 M, penduduk setempat menamakan Candi Cungkup. Akhirnya nama yang hingga sekarang dipakai adalah Candi Singasari karena letaknya di Singasari, adapula sebagian orang menyebutnya dengan Candi Renggo karena letaknya didesa Candirenggo.[23]
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 M dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936 M.[24]

b.            Letak Candi Singasari
Candi Singasari adalah candi bercorak Hindu dan Budha yang merupakan peninggalan sejarah Kerajaan Singasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Jawa Timur atau sekitar 10 km dari Kota Malang, terletak di lembah antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna pada ketinggian 512 m di atas permukaan laut. Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi.[25]

c.             Arsitektur Candi Singasari
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m.[26]
Candi sebagai bangunan terdiri dari 3 bagian yaitu kaki candi, tubuh candi dan atap. Bangunan candi bukanlah sekedar tumpukan batu yang tidak berarti, tetapi candi sangat erat hubungannya dengan keagamaan, bersifat suci. Tinjauan dari filsafat Hindu bahwa kaki candi (Bhurloka=alam bawah) tempat manusia biasa, tempat manusia dimana masalah keduniawian sangat menonjol. Manusia masih senang mengejar harta benda yang berlebihan. Tubuh candi (Bhuwarloka=alam antara), tempat manusia meninggalkan segala keduniawian. Atap candi (Swarloka=alam atas) tempat dewa-dewa.
Pada kaki candi (subasemen=soubasement), yang biasa berbentuk persegi empat, yang pada salah satu sisi terdapat suatu tangga yang digunakan untuk naik ke atas. Pada bagian tengah-tengah subasemen terdapat sumuran (lubang) yang berisi abu dari seorang raja yang wafat. Sementara di atas lubang diletakkan patung dewa (Siwa atau Wisnu atau Brahma) atau pengganti Siwa yang berwujud lingga dan yoni. Pada kaki candi ada hiasan menurut profil tertentu. Pada bagian sebasemen, dengan naik melalui tangga kita dapat melakukan pradaksina, yaitu berjalan keliling dengan menyebelah kanankan candi. Pradaksina dilakukan untuk melihat dewa-dewa di bilik-bilik samping atau melihat relief-relief yang berada di pagar langkan. Pradaksina dilakukan di Jawa Tengah. Berbeda halnya dengan keadaan di Jawa Timur, kita berjalan mengirikan candi yang disebut prasawya. Bagian atas atap candi merupakan meru yang bertingkat-tingkat, ada puncak atap yang mempunyai bentuk bermacam-macam menurut dasar agama candi itu. Puncak candi yang merupakan penutup ada 3 macam: penutup candi Siwa atau Budha berbentuk stupa, penutup candi Siwa saja merupakan lingga, dan penutup candi bentuk teratai.[27]
Berdasarkan agama Hindu, candi adalah replika candi Himalaya di India, pada keempat puncaknya disebut “Gaurisangkar” dan dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa, juga dikenal sebagai Meru.
            Candi Singasari dibangun tinggi seperti menara dengan dasar tinggi, cella kecil; pintu masuk berhias patung kala. Pada pintu dan tangga tidak terdapat lagi makara, hanya motif yang serupa garis-garis dan sulur-sulur bunga. Gaya Singasari kelihatan sekali pengaruhnya di Sumatera, yakni kerajaan Minangkabau, seperti terbukti pada patung Bhairawa di sungai Langsat (Bukittinggi).[28]
Candi Singasari ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni (lingga sudah tidak ada). Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dahulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dahulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya).[29]

Dalam komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
IMG_1134JJHJ.JPG
Gb. Denah Candi Singasari

Keterangan:
A. Lingga dan Yoni
B. Tempat arca
B1. Arca Dewi Durga
B2. Arca Ganesha
B3. Arca Resi Agastya
C. Batur
D. Tangga
Denah candi berdasarkan gambar H.L. Leydie Melville. Denahnya berbentuk segi empat. Sebuah ruang ditengah berfungsi sebagai ruang utama, sedangkan ruang lainnya disetiap sisinya merupakan tempat diletakkannya patung dewa.
Bila diperhatikan hiasan pada kala tidak seluruhnya terselesaikan, sehingga ada dugaan bahwa candi ini dalam proses pembangunan yang belum salesai kemudian ditinggalkan. Dilihat dari teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi., tampak bahwa hiasan itu dikerjakan dari atas ke bawah. Bagian atas dikerjakan dengan sempurna, bagian tubuh candi (tengah) sebagian sudah selesai sedangkan bagian bawah sama sekali belum diselesaikan. Kemungkinkan belum terselesaikannya pembangunan candi tersebut akibat adanya peperangan yaitu serangan kerajaan Gelang-gelang pimpinan Jayakatwang tahun 1292 hingga menghancurkan kerajaan Singasari.[1]
Bagian sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala) dengan posisi gada menghadap ke bawah, hal ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Posisi arca ini hanya ada di Singasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Didekat arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.[2]
Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau Gauri). Dikarenakan letak candi Singasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan Gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.[3]
Dalam komplek candi Singasari masih terdapat beberapa arca yang tersisa, diantaranya berupa tubuh dewa atau dewi meskipun bisa dkatakan tidak utuh lagi. Bahkan terdapat satu arca Dewi Parwati yang memiliki kepala yang terlihat "aneh". Nampaknya bagian tersebut bukan merupakan kepala arca yang sebenarnya. Karena kepala arca yang sebenarnya diduga putus dan tidak ditemukan kembali.[4]

a.             Keunikan Candi Singasari
Keunikan Candi Singasari terletak pada relung-relung candi atau bilik-bilik candi yang letaknya berada di kaki candi berbeda dengan candi-candi pada umumnya yang relungnya berada ditubuh candi. Selain itu bentuk dwarapala yang berbeda dengan candi pada umunya karena dwarapalanya tersenyum dan dwarapala tersebut merupakan dwarapala terbesar di Indonesia. Selain itu kala pada Candi Singasari belum di ukir semuanya. Kala adalah muka seorang raksasa dengan mata melotot, hidung lebar dan taring pada kedua pihak. Pada kedua pihak kadang-kadang terlihat kuku yang besar.[5] Pada Candi Singasari hanya bagian atas dikarenakan teknik pembuatan ornamen (hiasan) candi dikerjakan dari atas ke bawah. Candi Singasari merupakan bentuk perpaduan dua agama yaitu agama Budha dan Hindu, dan candi Singasari erat kaitannya dengan candi Jawi.[6]
Bentuk hiasan tanaman di Candi Singasari berbentuk batang teratai yang menjulang keatas yang keluar dari umbinya. Hal ini merupakan suatu ciri kesenian dari kerajaan Singasari. Sedangkan pada candi-candi Majapahit, batang teratai keluar dari dalam bejana atau pot.[7]
  


Kesimpulan
Candi Singasari adalah candi bercorak Hindu dan Budha yang merupakan peninggalan sejarah Kerajaan Singasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi ini didirikan untuk memuliakan raja Kertanegara yang merupakan raja yang memiliki peranan besar dalam perkembangan Kerajaan Singasari. Dalam komplek Candi Singasari Raja Kertanegara di candikan dengan tiga arca perwujudan, yang melambangkan trikaya, yaitu sebagai Siwa-Budha dalam bentuk Bhairawa yang melambangkan nirmanakaya, sebagai Ardhanari lambang sambhogakaya, dan sebagai Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan dharmmakaya.
Cara pembuatan candi Singasari cukup unik dan istimewa karena hanya dengan menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas candi turun ke bagian bawah. Dalam candi ini terdapat sepasang arca raksasa besar (dwarapala) dengan membawa gada yang menghadap ke bawah dengan wajah tersenyum, hal ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada kasih sayang terhadap semua makhluk hidup. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca dan relief. Di ruang utama terdapat lingga dan yoni (lingga sudah tidak ada), di sebelah utara terdapat arca Durga (sudah hilang), di sebelah timur terdapat arca Ganesha (sudah hilang), di sebelah selatan terdapat arca Resi Agastya. Dalam komplek candi ini juga terdapat arca Prajanaparamita (dewi Kebijaksanaan) yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia.

Saran
1.      Perlunya pemeliharaan dan perawatan komplek percandian Singasari di Malang dari pemerintah khususnya Dinas Purbakala.
2.      Perlunya publikasi dari pemerintah tentang peninggalan sejarah agar wisatawan, sejarawan dan khususnya masyarakat luas agar mereka lebih mengetahui tentang peninggalan sejarah (candi Singasari).


[1] Soetarno, Loc.Cit, hlm. 142 .
[2] Ibid
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Singhasari. diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 18.35.
[4]  Ibid
[5] Asmito, Loc. Cit., hlm. 115.
[6] Informasi lisan dari Indah Sri Pinasti, M.Si
[7] Ibid hlm. 104.





[1] Soekmono. Sejarah Kebudayaan Jilid II, (Yogyakarta : Kanisius,1981), hlm.63.
[2] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hlm. 421
[3] Ibid hlm. 422.
[4] Ibid
[5] Ibid hlm 423.
[6] Ibid
[7] Slamet Mulyana, Negarakertagama dan tafsir sejarahnya, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979), hlm. 107.
[8] Nugroho Notosusanto, Loc.Cit, hlm. 435.
[9] Ibid hlm. 436.
[10] Ibid hlm. 437.
[11] Ibid
[12] Slamet Mulyana, Loc.Cit. hlm. 107.
[13] ibid
[14] Ibid hlm. 108.
[15] Ibid
[16] Ibid hlm. 109.
[17] Ibid
[18] Soekmon, Loc. Cit. hlm. 66.
[19] Nugroho Notosusanto, Loc.Cit., hlm. 445.
[20] Asmito. Sejarah Kebudayaan Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1988), hlm. 140.
[21] Sartono Kartodirjo, 700 Tahun Majapahit Suatu Bunga Rampai , (Jawa Timur : Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Tingkat 1 Jawa Timur,1993)
[22] Nugroho Notosusanto, Lock., Cit., hlm. 443.
[23] http://petibaru.blogspot.com/2010/12/candi-singosari.html. diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 18.30.
[24] http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Singhasari. diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 18.35.
[25] Informasi lisan dari Indah Sri Pinasti, M.Si
[26] Soetarno, Loc.Cit., hlm. 142.
[27] Asmito. Loc. Cit., hlm. 112.
[28] Soetarno, Loc.Cit., hlm. 143.
[29] http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Singhasari. diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 18.35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar