1. Agama Shinto di Jepang
Agama Jepang biasanya disebut dengan
agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat
yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun
ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak
istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke
dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa
China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para
dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan
untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama
Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam
masehi.
Pertumbuhan dan perkembagan agama
serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif.
Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam
pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak
menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru
memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli
dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk
tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang
terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu
kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi
asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran
suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang Shintoisme.
I.
Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada
“Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi
“Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah
meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata
“Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan
langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme
yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”.
Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme
dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok.
Sedangkan Shintoisme adalah faham
yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang.
Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai
warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya
rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya
juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.
II.
Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada
mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan
pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang
sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad
hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul dari mitos-mitos yang berhubungan
dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme
adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya
negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah
budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi
kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama
alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang
pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa
Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi
percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di
bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa
disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan “Kehidupannya”
sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara
agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan
munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto)
dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup
agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke
dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan
sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan
bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama
Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai
diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun
menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang
mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang
lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan
Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya
besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa
penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh
belas masehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk
menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori,
Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan
“Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh
bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayannya.
Pada abad kesembilan belas tepatnya
tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu
agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik
religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat
kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
III.
Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto
A. Kepercayaan agama Shinto.
Dalam agama Shinto yang merupakan
perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap
gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun
yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula
berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya
kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto),
daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto
dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan
untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih
bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi
bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda
pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.
Dewa-dewa dalam agama Shinto
jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan
dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut
agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap
mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan
bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan
maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100,
500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa
jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka
dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat
kebesaran dan keagungan “Kami”.
Pengikut-pengikut agama Shinto
mempunyai semboyan yang berbunyi “Kami negara – no – mishi” yang artinya :
tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “Kami” daripada benda-benda dan
seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “Kami” alam raya menimbulkan
kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi
dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari
(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan
serta kemajuan dalam bidang pertanian.
Disamping mempercayai adanya
dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya
kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan
Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada
pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan
yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan
dualisme dalam agama Zarathustra.
Dari kutipan di atas dapat dilihat
adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto,yaitu: :
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
3. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
B. Peribadatan agama Shinto
Agama Shinto sangat mementingkan
ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat
mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan
bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan
negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu
agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan
pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa
dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam
agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami)
yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang
pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di
atas gunung Fujiyama
2. Kepercayaan Shamanisme di Korea
Ada 2 kepercayaan yang banyak dianut oleh masyarakat korea
tradisional, yaitu shamanisme dan Konfusianisme.walaupun pengaruh konfusianisme
lebih besar dan terasa di Korea, bahkan hingga masa modern, Akan tetapi kepercayaan asli masyarakat Korea
tradisional yang sebenarnya adalah Shamanisme. Konfusianisme masuk ke Korea
beberapa abad setelah berkembangnya kepercayaan Shamanisme. Shamanisme
berkembang pada masa Tiga Kerajaan (56 SM – 676 M) dan pada masa Dinasti Goryeo
(918 M- 1392 M). Lalu pada masa dinasti Joseon (1392 M-1910 M) Shamanisme tidak
bisa berkembang, dikarenakan ada tekanan dari para pengikut Konfusianisme
walaupun ada tekanan, kepercayaan Shamanisme masih tetap berlanjut,akan tetapi
pada masa pendudukan Jepang (1910 -1945) pada masa ini, seluruh kepercayaan
asli dilarang, maka Shamanisme sama sekali tidak bisa berkembang.
Shamanisme adalah sebuah praktek spiritual yang sudah ada sejak zaman kuno, dan tidak
berlebihan apabila shamanisme di sebut sebagai salah satu kepercayaan tertua di
dunia. Pada ritual (Gut) Shamanisme,
seorang Shaman (Mu) mengalami kerasukan roh-roh, dari kemampuan seorang
Shaman (Mudang) yang dapat dirasuki oleh
roh, mereka disebut memiliki tanggung jawab untuk menghubungkan dunia roh
dengan dunia nyata. Dari ritual tersebut, di harapkan seorang Shaman dapat
menyelesaikan masalah sehari-hari dari kemampuannya berkomunikasi dengan dunia
spiritual. Ada dua jenis Shaman yang memiliki kekuatan untuk berkomunikasi
dengan dunia spiritual
1.
Kangshinmu
Kangshinmu adalah mudang yang mengadakan upacara untuk meminta
petunjuk dewa atau roh dengan cara kesurupan. Ada 2
jenis kangshinmu, yakni mudang
dan myongdu.
Seseorang
yang menjadi kangshinmu harus melakukan upacara pertama yang dinamakan Naerimgut, yang pada saat pementasan
ia akan mengalami shinbyeong,
yakni kesurupan roh yang konon diikuti kesakitan fisik dan jiwa. Para pengikut
shamanisme meyakini bahwa penyakit fisik dan mental harus disembuhkan melalui
penerimaan dan penyatuan secara penuh dengan arwah dan dewa, bukan pergi ke
dokter.
Mudang
adalah jenis shaman yang mengalami kerasukan dewa, istilahnya momju. Dalam keadaan tersebut ia
melakukan peramalan melalui tuntunan suara gaib. Gut yang mereka selenggarakan
diikuti nyanyian dan tarian. Jenis yang lebih khusus daripada mudang adalah sonmudang dan posal, yang mendapatkan kekuatan melalui pengalaman spiritual,
namun belum dapat memimpin sebuah gut. Umumnya dukun di kategori ini lelaki
yang disebut paksu.
Myongdu berbeda dari tipe mudang yang umum. Myongdu tidak
mengalami kerasukan oleh roh melainkan menerima arwah orang-orang yang sudah
meninggal (terutama anak-anak dari kerabat myongdu). Ia mengundang arwah ke
dalam kuil kecil di rumahnya. Myongdu dapat dijumpai di wilayah Honam di Korea Selatan.
2.
Saeseupmu
Saeseupmu (baca sessummu), jenis mudang yang dijumpai di
wilayah bagian selatan Sungai Han (Korea Selatan). Ia menjadi shaman karena
warisan dari keluarganya yang juga berprofesi sebagai shaman. Shaman tipe ini
terbagi atas 2 jenis, yakni shinbang
dan tang-ol.
Shinbang
serupa dengan kangshinmu yang menjadi perantara arwah dan dewa. Namun tidak
dengan cara kerasukan dan tugasnya mengadakan upacara adalah warisan dari orang
tuanya. Shinbang berhubungan dengan alam gaib melalui medium (mujeomgu) dan tak memiliki kuil sendiri.
Tang-ol
adalah jenis mudang yang dapat dijumpai di wilayah paling selatan semenanjung
Korea, seperti di wilayah Yeongnam (Gyeongsang) dan Honam (Jeolla). Tang-ol
dari Honam memiliki sebuah distrik khusus (tang-olpan) dan memiliki hak untuk
mengadakan suatu upacara gut. Gut yang diselenggarakan tang-ol meliputi tarian
dan nyanyian yang dilakukan untuk menghibur dewata-dewata dan sembahannya untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka. Upacara-upacara dan perayaan yang
dipraktikkan tang-ol telah banyak berubah sehingga sekarang sudah berkesan
terkena pengaruh agama tertentu. Tak seperti tipe mudang lain, tang-ol tidak
mengundang arwah dan dewa dalam upacara pertamanya. Ia pun tidak punya kuil dan
biasanya tidak memuja suatu dewa tertentu.
Shamanisme
sering di gunakan untuk memohon kepada
dewa supaya panen yang akan datang berlimpah,
akan tetapi tidak hanya itu saja fungsi dari Shamanisme,pada masa modern
banyak sekali macam-macam upacara Shamanisme yang memilik fungsi selain memohon
panen yang berlimpah. Shaman biasa diminta untuk meramal masa depan,
pernikahan, kelahiran, tapi kebanyakan orang-orang korea pergi ke Shaman untuk
meminta pendapat ketika mereka berada dalam kesulitan.
Biasanya seorang Shaman
berjenis kelamin perempuan, dikarenakan paradigma patrilineal yang kuat,
seorang Shaman juga dianggap sebagai warga kelas terendah. Memang ada seorang
Shaman yang berjenis kelamin laki-laki, akan tetapi hal tersebut tidak merubah posisi
kelas mereka di masyarakat menjadi lebih tinggi. Seorang Shaman dalam melakukan
ritualnya akan melakukan tarian-tarian yang akan memanggil Roh, yang kemudian
akan merasukinya. Hal tersebut dinamakan Ritual (Gut). Pada awalnya Shaman akan
mengalami hal yang bernama Shinbyeong, yang merupakan gejala awal dari
kesurupan, Shaman akan mengalami insomnia, sakit yang amat sangat, Gejala
shinbyeong beragam, bergantung dari latar belakang dan lingkungannya.
Seringkali gejala yang terjadi adalah ia tidak bisa makan dan mengalami
penurunan kesehatan tubuh dan jiwa. Di jenis shinbyeong yang lain kadang-kadang
diikuti sakit secara fisik dan gangguan jiwa, ada pula yang mengalami
kegoncangan mental akibat kejutan. Secara jarang mudang akan melakukan
peramalan lewat mimpi dimana ia berjumpa dengan dewa atau arwah.Gejala
shinbyeong dapat bertahan dalam waktu lama, rata-rata 8 tahun dan paling lama
30 tahun. Kebanyakan dari mereka akan kehilangan selera makan, mengalami
gangguan pencernaan karena sedikit makan. Tubuh mereka akan melemah dan
kejang-kejang dalam beberapa kasus diikuti buang air darah. Ia juga akan
mengalami sakit jiwa dan halusinasi dengan pikiran yang sangat lelah karena
mengalami kontak dengan alam gaib. Dalam beberapa kasus, penyakit jiwa menjadi
sangat ekstrem sehingga si mudang akan lari dari rumah dan berkeliaran di
gunung dan sawah. Gejala ini konon tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan
modern karena dipercaya hal itu akan memperparah sakit
jiwanya. Untuk menyembuhkan Shibyeong ini, maka Shaman harus melakukan ritual
dan dibantu oleh shaman yang lain.
Gut adalah ritual shamanisme yang mengharuskan si
mudang memberikan persembahan bagi dewa-dewa. Dengan menyanyi dan menari,
mudang memohon berkat dari dewa. Ia memakai pakaian yang berwarna-warni dan
menukarnya beberapa kali.
Ada 3 buah elemen dari
gut. Pertama roh dan dewa-dewa adalah objek dari pemujaan, kedua para pengikut
akan memohon berkat kepada mereka, dan terakhir, kedua hal itu akan dihubungkan
oleh si mudang
Bentuk-bentuk gut
bervariasi sesuai daerah. Bagian terpenting dari alur upacara adalah bagian
pemujaannya. Kemampuan dan karakter si mudang juga memengaruhi cara
penyelenggaraan gut
Naerim-gut (내림굿)
Naerimgut adalah ritual atau upacara permulaan.
Seseorang dapat menjadi mudang dengan cara kesurupan arwah dan juga untuk
menyembuhkan gejala shinbyeong.
Dodang-gut (도당굿)
Dodanggut adalah
upacara yang diselenggarakan di propinsi-propinsi tengah Korea Selatan.
Tujuannya adalah untuk memohon kemakmuran dan kelimpahan pangan bagi desa.
Biasanya diadakan setahun sekali atau beberapa kali, yakni sekitar tahun baru
imlek, atau di musim panas dan gugur.
Ssitgim-gut (씻김굿)
Ssitgimgut adalah upacara pembersihan jiwa orang yang sudah meninggal.
Sejak zaman dahulu, orang Korea percaya bahwa ketika seseorang meninggal,
tubuhnya mungkin tidak dapat masuk ke alam baka
karena jiwanya tidak bersih. Ssitgimgut bertujuan menyucikan kekotoran itu.
Praktik ssitgimgut dapat dijumpai di bagian barat laut Korea Selatan.
Chaesu-gut (재수굿)
Penyelenggaraan chaesu-gut dilakukan bertahap sampai
12 segmen yang mengharuskan mudang mengenakan pakaian lelaki. Mudang memerlukan
kostum lelaki karena ia akan melakukan ritual kesurupan
arwah pyolsang atau taegam (arwah mandor serakah) yang merupakan
arwah lelaki. Tetapi mudang juga akan kesurupan arwah wanita, jadi ia
mengenakan perlengkapan dan pakaian gabungan lelaki dan wanita sekaligus.
Silang pakaian menjadi rumit dan multi-fungsi sebab ia melambangkan arwah yang
merasukinya. Keadaan silang kelamin seperti ini mencakup 75 persen dalam
upacara gut yang dilakukan si mudang. Selain itu dengan "bertindak sebagai
lelaki", si mudang dapat dengan mudah memiliki wibawa lelaki dimana di
negara yang berideologi Konfusianisme ini wanita dipandang rendah. Ia memberi
kesempatan kepada para penonton wanita untuk berinteraksi dengannya. Biasanya
peran arwah laki-laki yang dimainkan mudang diisi dengan candaan, kata-kata
kotor serta perdebatan dengan penonton.
3. Agama Shinto dan Kepercayaan
Shamanisme di Masa Kontemporer
Meskipun
saat ini Jepang telah memasuki masa yang modern dan tampil sebagai salah satu
negara yang berpengaruh di dunia. Namun itu tidak berarti serta merta
kepercayaan asli mereka ditinggalkan. Selain Buddha yang banyak dipeluk oleh
masyarakat Jepang, agama Shinto tetap mendapat hati tersendiri oleh sebagian
penduduknya. Setidaknya keluarga Kerajaan masih memeluk Shinto sebagai agama
mereka. Diluar itu mereka yang memeluk agama Buddha juga masih terpangaruh oleh
ajaran Shinto sebagai sebuah kebiasaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
penduduk-penduduk Jepang sangat dipengaruhi oleh kedua agama tersebut Shinto
dan Budha dalam aspek kehidupan mereka sehingga menjadi sebuah kebudayaan,
kesenian, dsb. Seperti masih percaya terhadap Raja merupakan keturunan Amaterasu (Dewa Matahari) dan
pelaksanaan upacara-upacara keagamaan baik Shinto maupun Buddha yang diikuti
oleh seluruh masyarakatnya.
Jepang
adalah negara yang sekuler, dalam konstitusi mereka membebaskan warga negaranya
untuk memeluk agama apapun dan hak itu dilindungi. Jepang saat masa
Pemerintahan Imperialis antara 1868-1945 menjadikan agama Shinto sebagai agama
resmi negara mereka. Namun setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia II dan adanya
amandemen terhadap konstitusi maka Jepang menjadi negara yang sekuler sampai
saat ini. Tidak diketahui dengan pasti berapa pemeluk agama Shinto saat ini di
Jepang, namun diperkirakan orang-orang yang benar-benar memeluk Shinto (murni)
di Jepang tidak lebih dari 20% dari total penduduknya
Berbeda
dengan Shinto yang masih banyak dipeluk oleh masyarakat Jepang dan setidaknya
dipeluk oleh keluarga Kerajaan, Shamanisme di Korea(Selatan) pada masa modern
ini dianggap sebuah kepercayaan takhayul. Dianggap Takhayul karena dalam
Shamanisme terdapat praktek-praktek yang sukar diterima akal sehat seperti
pengobatan melalui dukun dan pencerahan spiritual melalui seorang mudang yang merupakan penghubung antara
manusia dan dewa. Shmanisme juga percaya dengan hal-hal gaib seperti
makhluk-makhluk gaib yang mereka anggap sakral dan benda yang memiliki petuah.
Berbeda dengan ajaran konfusianisme dimana hanya laki-laki yang bisa
menghubungkan antara dunia manusia dan dewa, dalam Shamanisme Korea tugas itu
diemban oleh wanita. Hal ini tak lepas dari kehidupan masyarakat Korea yang
terkena arus globalisasi dan semakin modern. Namun meskipun begitu tarian,
lagu-lagu, syair, dan mantra yang berasal dari shamanisme masih sering
dipraktikkan dan dianggap sebagai aset budaya bagi pemerintah Korea. Menurut
demografis keagamaan, rakyat korea sebagian besar merupakan Atheisme artinya
tidak memeluk suatu agama apapun atau tidak percaya adanya tuhan yang
persentasenya cukup banyak sekutar 40% dan disusul oleh agama Buddha sebesar
25%, Protestan 18%, dan Katolik 11%, sisanya ditempati oleh agama-agama lain
minoritas termasuk Shamnisme. Sebenarnya dapat disimpulkan bahwa Kepercayaan
Shamanisme di Korea punah, namun meskipun begitu praktek-prakteknya masih
dilakukan oleh masyarakat desa, nelayan, dan juga kota-kota besar meskipun
tidak banyak
KESIMPULAN
Kedua kepercayaan
tersebut memiliki beberapa persamaan, pertama, kedua kepercayaan tersebut
merupakan kepercayaan asli yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun di
negeri asalnya, yang kedua, kepercayaan-kepercayaan tersebut menghadapi
modernisasi daerahnya masing-masing dan berusaha untuk dilestarikan
keberadaannya. Shintoisme dan Shamanisme berhasil bertahan melewati zaman-zaman
yang telah berlalu hingga kepercayaan-kepercayaan tersebut bertahan hingga saat
ini.
Shintoisme
Kepercayaan ini dalam ritualnya memiliki banyak dewa untuk
disembah, karena “Kami” dianggap sebagai sesuatu yang sangat agung dan besar
sehingga jumlah dewa pada kepercayaan ini semakin lama semakin bertambah dan
tidak memiliki jumlah tertentu seperti dewa-dewa pada kepercayaan pada umumnya.
Hingga saat ini kepercayaan Shinto masih tetap menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat modern Jepang. Pada dasarnya agama ini berasal dari animisme,
bercampur dengan mitos-mitos terjadinya negara Jepang, yang kemudian
berasimilasi dengan agama Budha. Hingga saat ini Shinto masih tetap memiliki
penganut yang cukup banyak di Jepang dan masih dianggap bagian dari masyarakat
pada umumnya.
Shamanisme
Shamanisme adalah
kepercayaan unik, dimana para Shaman (Mu) mengalami kerasukan dan dari
kerasukan itu diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Para pelaku
Shamanisme adalah para Shaman, sehingga Shamanisme bukan kepercayaan yang
dimiliki oleh sembarang orang, hanya seorang keturunan Shaman atau orang-orang
yang di tunjuk yang dapat memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dunia
spiritual. Sejak zaman dahulu, seorang Shaman selalu berada di kelas terendah
dalam masyarakat, karena kemampuan mereka dalam ilmu hitam. Walaupun mereka
merupakan kelas terendah dalam masyarakat,
masyarakat modern sering mendatangi Shaman untuk menanyakan tentang
keputusan-keputusan sulit yang akan dihadapi dalam masa depan. Karena profesi
ini semakin jarang, maka seorang Shaman bisa memiliki bayaran yang cukup
banyak, sehingga mereka menjadi kaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar