A.
Biografi Sunan Kudus
Ja'far Sodiq, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, adalah putera dari pasangan Raden Usman Haji yang bergelar
dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (letaknya disebelah utara kota
Blora) dengan Syarifah
Dewi Rahil binti Sunan Bonang.[1]
Lahir pada 9 September 1400M/ 808 H. Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha
(Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan
sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.
Menurut cerita rakyat Sunan
Kudus adalah cucu Sunan Ampel. Ada yang mengatakan bahwa beliau keturunan orang
Persia ,tetapi ada juga yang menyatakan beliau itu orang Jawa asli. Jika
mengingat pengaruhnya yang sampai sekarang masih besar di kalangan masyarakat Kudus,
yaitu mempunyai jiwa dagang, maka menurut dugaan Sunan Kudus itu adalah keturunan
Persia atau setidak –tidaknya dari Pasai.
Sunan Kudus memiliki
sifat gagah berani sebagai seorang panglima perang, beliaulah yang menggatikan
ayahnya memimpin ekpedisi ke Jawa Timur ,setelah ayahnya gugur di medan
pertempuran. Sunan Kudus adalah ulama fiqih yang sangat ketat memegangi syariat dalam cara
berfikirnya dan tegas dalam bertindak menghadapi penyelewengan .
Diriwayatkan, beliaulah
yang banyak mengambil peranan dalam bidang para wali yang dikuasakan oleh Sultan
Demak mengadili Syaiq Siti Jenar. Memang Siti Jenar sebagai seorang sufi dan Sunan
Kudus terkenal oleh faqih (ahli fiqif
) yang kuat syairatnya , sudah barang tentu memiliki pandangan hidup dan
tinjauan terhadap berbagai persoalan yang sangat jauh berbeda .
Sunan Kudus menyiarkan
agama islam seperti para wali yang lain yaitu dengan kebijaksanaan, tidak
memakai kekerasan atau paksaan. Dintaranya caranya dapat disebutkan misalnya;
melarang untuk memotong binatang yang dianggap suci bagi agama Hindu,
menggunakan elemen–elemnen bangunan candi Hindu untuk bangunan masjid makam,
menciptakan gending Maskumambang dan Mijil. Dengan cara demikian Sunan Kudus mengajarkan
agama islam kepada mereka dan lambat laun dengan kemauanya sendiri para
penganut agama Hindu ini kemudian masuk islam.[2]
B.
Strategi Dakwah Sunan Kudus
a. Kondisi masyarakat Jawa pada masa
Walisanga
Situasi
masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam termasuk di daerah Kudus, kehidupannya
banyak dipengaruhi oleh system kasta atau perbedaan golongan kelas, sehingga
kehidupan masyarakatnya terpecah-pecah. Maka setelah Islam datang ke tanah
Jawa, secara bertahap perbedaan kasta itu mulai terkikis dan hak asasi manusia
mulai mendapat tempat secara lebih layak, meski harus melalui proses yang
panjang sehinga harkat dan martabat umat semakin terangkat.[3]
Dalam
sejarahnya, kehadiran Islam di Jawa tidak lepas dari peran sejumlah wali yang
dikenal dengan Walisanga. Walisanga merupakan pelopor dan pemimpin dakwah Islam
di Nusantara atau khusunya di Jawa. Perintis pertama adalah Syaikh Maulana Malk
Ibrahim. Walisanga telah berhasil merekrut dan mengkader murid-muridnya untuk
menjalankan dakwah Islam di Nusantara sejak abad 15. Walisanga terdiri dari
Sembilan wali yaitu ; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan
Kalijaga.
Hanya
sembilan wali yang sampai sekarang banyak dikenal masyarakat, hal itu
dikarenakan hanya sembilan wali yang benar-benar sebagai pelopor dakwah Islam
di daerahnya masing-masing dan paling mendapat pengakuan dari masyarakat. Hal
tersebut ditunjukkan antara lain dengan berbagai peninggalan benda cagar
budaya, seperti masjid, menara, makam kramat, dan benda-benda lain yang
bernafaskan Islam seperti Tasbih, bedug, surban dan sebagainya.
Secara
garis besar dalam menjalankan dakwahnya walisanga melalui jalan damai dengan
strategi rekonsiliasi dengan nilai, kebiasaan dan budaya lokal. Walisanga telah
mendudukkan posisinya sebagai agen unik di Jawa yang mampu mengkombinasikan
aspek spiritual yang sacral dengan aspek secular yang profane dalam menyiarkan
Islam sehingga mengkonstitusi dalam bentuk Islam yang sufisme. Sufisme yang
begitu toleran terhadap tradisi Jawa serta memodifikasinya di bawah bendera
Islam, kenyataannya diikuti oleh para tokoh di masyarakat pesisir utara Jawa,
termasuk Sunan Kudus. Apalagi di Kudus yang secara nyata merupakan daerah yang
menjadi pusat dakwah dua wali sekaligus yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria. Oleh
karena itu konstruksi islam di Kudus dalam perjalanannya tidak lepas dari peran
tokoh Sunan Kudus itu sendiri.[4]
b. Strategi dakwah Sunan Kudus
Secara umum metode
dakwah walisanga dikenal dengan pendekatan kultural sehingga memberikan watak
islam yang ramah, damai, dan toleran, namun masing-masing wali memiliki
keunikan tersendiri sejalan dengan watak sosial dan budaya daerah yang
disinggahi oleh para wali. Mengenai strategi dakwah Sunan Kudus, akan
dijelaskan sebagai berikut ;
1.
Pendekatan struktural dakwah Sunan Kudus
Dalam
struktur “Dewan Wali” menurut kitab walisanga karangan Sunan Giri, Sunan Kudus
dipercaya sebagai Panglima perang di Kerajaan Demak Bintoro. Sunan Kudus juga
dikenal sebagai “eksekutor” ketika terjadi ketetapan hokum atas sebuah masalah
yang diputuskan oleh Dewan Walisanga. Hal itu terjadi ketika Syaikh Siti Jenar
karena dianggap menyimpang atau membelot dari ajaran walisanga, sehingga
dianggap akan menyesatkan umat yang baru saja memeluk Islam. Maka Syeikh Siti
Jenar mendapatkan putusan hukuman mati. Eksekutor dalam hukuman ini diserahkan
kepada Sunan Kudus. Meskipun pada akhirnya Syaikh Siti Jenar memilih sendiri
caranya untuk mati.[5]
Strategi dakwah Sunan Kudus yang
menggunakan pendekatan struktural yaitu dengan cara mengislamkan penguasa atau
ikut terlibat dalam pendirian kekuasan baru, seperti kesultanan Demak dan
Cirebon. Sunan Kudus turut terlibat sebagai senopati di Kasultanan Demak.
2.
Pendekatan kultural dakwah Sunan Kudus
Sunan Kudus sejak memulai dakwahnya di Kudus enam
abad yang lalu melalui jalur pendekatan kultural. Beberapa model dakwah Sunan
Kudus yang mengedepankan pendekatan cultural akan dijelaskan sebagai berikut ;
·
Menciptakan ruang budaya
Langkah pertama aksi dakwah yang
dilakukan oleh Sunan Kudus ketika memulai gerakannya adalah membangun masjid.
Meskipun pada awalnya dalam bentuk yang sederhana, dalam perspektif budaya
Sunan Kudus sebenarnya sudah sadar akan pentingnya ruang budaya dalam melakukan
transformasi sosial. Masjid dalam hal ini menjadi smacam nilai simbolik babak
baru dalam melakukan transmisi nilai, meski dari segi struktur bentuk masjid
masih tetap memperhatikan budaya local yang mirip bangunan pure, tempat ibadah
bagi umat Hindu.
Keberadaan masjid Al Aqsha dan
menara kudus yang kokoh, tegak dan menjulang tinggi terseut sebagai penanda
yang jelas menyiratkan adanya penanda bahwa bangunan kepercayaan lama segera
ditinggalkan, beralih kepada kepercayaan baru.namun nilai-nilai lama yang tidak
bertentangan denagna islam yan dimiliki oleh Hindu tidak serta merta
dihilangkan secara total. Oleh karena itu dalam konstruksi bangunan masjid dan
menara tersebut Sunan Kudus tetap memperhatikan dan menghargai pola dan bentuk
bangunan yang sebelumnya sudah ada,
yaitu miripatap bangunan pure.
·
Akulturasi
Pola akulturasi sangat kental dalam
strategi dakwah Sunan Kudus, beliau mencoba membawa unsur-unsur budaya baru
yang sarat dengan muatan islami, namun tetap mempertahankan unsur-unsur budaya
lamayang melekat dalam masyrakat Kudus saat itu.[6]
Jauh sebelum kehadiran islam yang dibawa oleh sunan
kudus kebanyakan masyarakat memiliki kepercayaan yang cenderung bertentangan
dengan tauhid. Struktur masyarakat dibangun denganm system kasta atau perbedaan
golongan kelas, sehingga kehidupan masyarakat cenderung diskriminatis, tidak
adil pada saatt itu. Manifestasi yang suci diwujutkan dalam bentuk arca dan
juga binatang-binatang tertentu yang dianggap memiliki nilai sakral. Yang
menonjol aalah mempercayai adanya banyak tuhan (politeisme).
Maka ketika sunan kudus membawa ajaran baru dengan
agama islam yang menekankan aspek tauhid (monoteisme), jelas sangat bertolak
belakang dengan ajaran masayarakat setempat. Ini merupakan tantangan berat bagi
sunan kudus. Maka denganm penuh bijaksana sunan kudus tidak secara frontal
menyampaikan ajaran islam tersebut kepada mereka. Akulturasi islam dan budaya
lokal adalah salah satu strategi yang ditawarkan oleh sunan kudus. Beberapa
bentuk pola alkuturasi budaya lokal yang dekat dengan tradisi hindu dengan
nilai-nilai islam dapat dicermati pada
pembahasan berikut :
a. Berntuk
bangunan
Pola alkuturasi budaya local hindu /buda dengan
islkam dalam bentuk arsitektur yang paling jelas terdapat pada bangunan menara
kudus yang menjadi kebanggaan umat islam. Kalau diperhatikan bentuk menara kudus
itu menyerupai bangunan pura di bali atau candi jago peninggalan hindu-budha di
malang. Demikian juga ornamen–ornamen yang ada pada menara kudus juga
mencerminkan lintas budaya, seperti piringan yang melekat di dinding menara
adalah model piringan cina.
Menara kudus yang bentuknya mirip pura, di fungsikan
sebagai tempat adzan agar orang-orang bisa mendengarkan bila adzan
dikumandangkan.di menara ini juga selalu dibunyikan bedug setiap kali datangnya
bulan suci ramadhan, sebagai tanda masuknya ibadah puasa.
Bentuk lain pola alkuturasi juga bisa dilihat pada 8
pancuran/padasan kuno. Tiap–tiap pancuran dihiasi dengan relief arca sebagai
ornament penambah estetika. Pancuran wudhu itu mengadopsi ajaran budha, asta sanghika marga yakni 8 jalan utama
yang menjadi pegangan umat saat itu dengan merujuk pada 8aspek yang penting
dalam kehidupan yakni: pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya,
usaha, meditasi, dan keutuhan. Pada ornamen pancuran yang masih otentik
tersebut dialih fungsikan untuk bersuci sebelum shalat dilakukan yang hingga
sekarang masih ada dan berfungsi dengan baik.
b. Mangikat
sapi di halaman masjid.
Untuk mengait masyarakat sekitar agar tertarik
datang masuk ke masjid menara kudus, sunan kudus medatangkan sapi lalu dikat di
depan masjid. Dalam kepercayaan mereka sapi adalah binatang yang dihormati,
sehingga jarang orang memiliki sapi. Sapi biasanya hanya oleh orang–orang
tertentu yaitu pemuka–pemuka mereka. Dengan cara yang seperti itu, orang berbondong–bondong
datang ke masjid, yang tujuan awalnya adalah menghampiri sapi yang langka itu.
Maka ketika sudah banyak orang yang berkumpul di masjid, sunan kudus
menyampaikan wejangan–wejangan ringan terkait dengan ajaran islam.
Yang tak kalah menarik sunan kudus juga melarang
jamaahnya untuk menyembelih sapi, meski dalam islam hal itu dihalalkan. Hal ini
sebagai wujud strategi menarik simpati masyarakat yang kebanyakan saat itu
menganggap binatang sapi sebagai makhluk yang suci. Ternyata apa yang dilakukan
oleh sunan kudus benar–benar ampuh, sehingga dalam waktu yang tidak lama islam
dapat diterima dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Kudus hingga sekarang
warga kudus masih mempertahankan adat tersebut dengan tidak menyembelih sapi
pada saat hari raya idul atha. Dengan demikian sunan kudus lebih mengedepankan
toleransi dan harmoni dari pada konflik dalam menyiarkan islam.
c. Mengubah
tembang dan cerita ketauhidan
Sunan kudus juga dikenal sebagai penyair dan
pengubah cerita rakyat yang berfisi ketauhidan. Buah karyanya adalah lagu
gending maskumambang dan mijil. Dalam banyak hal sunan kudus mencoba mewarnai
gending atau cerita–cerita tertentu yang semula kering dari nilai islam, diisi
dengan semangat ketauhidan.
C.
Peninggalan-peninggalan Sunan Kudus
Pada
tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus,
yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung
Kudus dan masih bertahan
hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus
Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada
masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha
untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi
dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih
banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
Kesimpulan
Sunan Kudus atau Syeh
Ja'far Shodiq adalah seorang yang tidak hanya merupakan senopati di Kerajaan
Demak Bintaro namun juga ahli hukum agama Islam. Pada waktu itu suasana di
Kudus banyak terdapat kedholiman. Banyak masyarakat yang suka foya-foya, judi,
mabuk-mabukan dll. Hal tersebut membuat Sunan Kudus risau dapatkah orang-orang
yang dholim itu disadarkan.Akhirnya melalui dakwah, Sunan Kudus berhasil
mengajak mereka memeluk agama Islam.
Sunan Kudus atau Ja’far
Shodiq adalah putra dari Raden Usman Haji. Sunan Kudus ahli di dalam ilmu
agama, pemerintahan dan kesusasteraan. Tidak heran jika beliau menduduki
jabatan-jabatan penting. Di dalam menyebarkan agama islam, beliau menggunakan
cara-cara yang sangat bijaksana, melihat situasi dan kondisi masyarakat
setempat. Ini terbukti dari :
- Bangunan Masjid dan Menara Kudus disesuaikan dengan seni bangun atau arsitektur Hindu. Ini akan memberikan kesan bahwa agama yang dibawa oleh Sunan Kudus sama dengan agama Hindu. Jadi masyarakat tidak terkejut atau menolak.
- Masyarakat Hindu menganggap bahwa sapi atau lembu adalah binatang suci yang tidak boleh diganggu. Sunan Kudus juga memerintahkan kepada masyarakat supaya jangan menyembelih lembu. Jika ini terjadi, maka masyarakat akan marah, sebab binatang kesayangannya diganggu.
- Lubang pancuran yang berjumlah delapan buah dan berbentuk kepala arca. Angka delapan ini menurut orang Buddha diartikan delapan jalan kebenaran.
Sunan
Kudus selain terkenal sebagai seorang wali, ahli dalam bidang agama,
pemerintahan dan kesusasteraan, beliau juga dikenal sebagai pedagang yang kaya.
Beliau mendapat gelar Waliyyul Ilmi, sehingga beliau diangkat sebagai penghulu
(Qodi) di kerajaan Demak.
Saran
1. Perlunya pemeliharaan dan perawatan komplek Makam
Masjid Menara Kudus dari
pemerintah khususnya Dinas Purbakala.
2. Perlunya peraturan yang ketat dalam
pengelolaan Makam Masjid Menara Kudus dari penjaga saat para peziarah dan
wisatawan datang.
Daftar
Pustaka
Soekmono,
1973, Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 3, Yogyakarta: Kanisius.
Notosusanto,
Nugroho, 1993, Sejarah Nasional Indonesia
3, Jakarta: Balai Pustaka.
Abd. Moqsith Ghazali,
Djohan Effendi, 2009, Merayakan Kebebasan
Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta: ICRP Bekerjasama
dengan Kompas.
Said, Nur, 2010, Jejak
Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Brilian
Media Utama.
Salam, Solichin,
1960, Sekitar Walisanga,
Kudus: Menara Kudus.
Muljana, Slamet,
2005,
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara, PT LKiS Pelangi Aksara.
[1]Slamet Muljana, 2005, Runtuhnya
kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, PT LKiS
Pelangi Aksara, hal. 52.
[2]
Solichin Salam, 1960, Sekitar Walisanga,
Kudus: Menara Kudus, hal 13.
[3]
Nur Said, 2010, Jejak Perjuangan Sunan
Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Brilian Media Utama, Hal 54-57.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid., hal. 58
[6]
Ibid., hal. 68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar