A. Terbentuknya Daerah Istimewa Surakarta
Sejak masa kolonial Belanda, Surakarta merupakan daerah Vorstenlanden atau daerah swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen). Surakarta tidak diatur dalam UU seperti daerah lain tapi diatur tersendiri dengan perjanjian antara Gubernur Jenderal dengan Sri Sunan dengan nama Politiek Contract (kontrak politik). Ada dua macam kontrak politik, yaitu Lang Contract (Kontrak panjang) tentang kesetaraan kekuasaan antara kerajaan asli Indonesia dengan Belanda, dan korte verklaring (pernyataan pendek) tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Dan Surakarta masuk ke dalam Lang contract. Sejak masa pendudukan Jepang pun, Surakarta tetap dipertahankan sebagai daerah istimewa dengan sebutan Kochi. Dan saat persiapkan kemerdekaan, dalam rapat PPKI, nantinya pasca Indonesia merdeka Surakarta tetap dijadikan sebagai Daerah Istimewa.
Selain itu, pada masa pergerakan nasional keraton Surakarta memberikan keleluasaan kepada organisasi pergerakan untuk bergerak, seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Muhammadiyah. Pada masa pendudukan Jepang, Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XII bersama dengan para pemuda mengepung Markas Kempetai di Timuran dan bersama-sama dengan Komite Nasional Indonesia (KNI) Surakarta melucuti persenjataan Jepang di Markas Kompetai di wilayah Kalurahan Kemlayan, sebelah barat pasar Pon dan Kidobutai di Mangkubumen Solo tanpa terjadi pertumpahan darah.
Pasca proklamasi Indonesia, Surakarta dengan sukarela ikut bergabung dalam NKRI lewat maklumatnya pada tanggal 1 September 1945. Padahal Surakarta berhak untuk menjadi negara sendiri yang berdaulat. Sebagai bentuk penghargaan maka pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII yang merupakan bagian dari wilayah RI. Piagam ini ditandatangani Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945. Dan diperkuat dengan pemberian pangkat militer kepada Susuhunan Paku Buwono XII pada tanggal 1 November 1945 dengan pangkat Letnan Jenderal.
B. Munculnya Gerakan Anti-swapraja
Berpindahnya ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta turut menarik kelompok oposisi untuk bergerak lebih dekat dengan pemerintah pusat, yaitu dengan memilih Surakarta sebagai basis pergerakan. Dalam tubuh oposisi berhaluan kiri sendiri terpecah menjadi dua, kelompok Syahrir dan Tan Malaka. Kelompok Syahrir lebih ke arah diplomasi sedangkan Tan Malaka lebih ke arah perjuangan. Untuk merealisasikan pergerakannya, Tan Malaka mencetuskan Revolusi Total. Pencetusan revolusi ini mendapat sambutan baik dari pemuda dan masyarakat. Revolusi Total yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya terbebas dari imperialisme dan kolonialisme semata tetapi terhapusnya feodalisme. Kelompok yang mendukung visi Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan (PP) pada tanggal 3 Januari 1946 yang berhasil menghimpun 141 laskar, organisasi politik dan lain-lain.
Revolusi sosial di Surakarta merupakan pertemuan antara kebencian rakyat atas pemimpin-pemimpin tradisional dengan kepentingan kekuatan politik yang ingin menggoyang pemimpin-pemimpin nasional. Kekuatan politik dan kekuatan bersenjata berhasil menciptakan dan melakukan kekerasan di Surakarta dengan memanfaatkan gerakan antiswapraja.
Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan revolusi sosial berupa gerakan-gerakan anti swapraja di Surakarta sebagai bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta. Gerakan anti Swapraja menyebabkan kedudukan kraton menjadi sangat lemah dan sulit sehingga status swapraja Surakarta dapat dengan mudah diruntuhkan. Aksi-aksi kekerasan yang menghebohkan masyarakat Surakarta adalah penculikan atas pembesar-pembesar kraton Kasunanan dan Mangkunegara.
Pada tanggal 18 April 1946, Kesatuan Barisan Banteng menahan Susuhunan diistananya agar bersedia menyerahkan wewenangnya kepada rakyat. Selain itu Barisan Banteng mengutus Dr. Muwardi, Mangkusudiyono dan Hadisunarto untuk menekan secara paksa patih Partono Handoyonoto di Mangkunegara agar bersedia menerima lenyapnya pemerintahan swapraja Mangkunegara dan bersedia bergabung dengan pemerintahan RI. Aksi penculikan dan ancaman yang ditujukan kepada kraton menjadikan kedudukan kraton menjadi lemah. Kenyataan ini menjadikan kekuatan antiswapraja semakin kuat dan semakin sering melakukan konsolidasi dan tuntutan-tuntutan yang menginginkan hapusnya swapraja Surakarta.
Pada tanggal 29 April 1946 lahir mosi dari Kepolisian, Angkatan Muda, Pamongpraja, GRI (Gerakan Rakyat Indonesia), Barisan Banteng dan PNI yang berisi tuntutan agar Daerah Istimewa Surakarta dihapuskan dan berubah menjadi residensi. Semakin lemahnya dukungan terhadap kraton dan munculnya mosi yang di dukung oleh sebagian besar kekuatan yang berpengaruh di Surakarta menjadikan Susuhunan PB XII menyerah. Pada tanggal 30 April 1946, PB XII mengeluarkan pengumuman yang berisi kerelaan akan hilangnya swapraja Surakarta dan menyerahkan semua urusan ini kepada pemerintah pusat. Kesediaan Susuhunan tidak diikuti oleh Mangkunegara VIII yang justru mempunyai sikap yang berlawanan dengan kehendak kekuatan-kekuatan yang antiswapraja. Pada tanggal 1 Mei sebuah pengumuman khusus dikeluarkan oleh pemerintah Mangkunegaran yang menyatakan bahwa untuk beberapa bulan telah direncanakan adanya suatu undang-undang baru untuk wilayah Mangkunegaran. Undang-undang dasar tersebut menetapkan Mangkunegoro sebagai kepala dari suatu Daerah Istimewa Mangkunegaran, penetapan pendapatan Mangkunegaran, harta benda, Badan Perwakilan Rakyat, pegawai-pegawai, dan lain-lain. Namun hal tersebut dikecam oleh KNI Daerah kabupaten kota Mangkunegaran dengan mosi yang berisi desakan kepada pemerintah Agoeng Mangkunegaran untuk lekas membentuk pemerintahan di Surakarta berdasar kedaulatan rakyat di bawah Pemerintah Republik. Lain lagi dengan pemerintah pusat yang condong mendukung pemerintahan swapraja. Soedarsono, selaku Menteri Dalam Negeri mengusulkan adanya pemilihan umum di daerah Surakarta.
Hal tersebut merangsang anggota-anggota Barisan Banteng yang ekstrim untuk bertindak sendiri dengan melakukan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh penting istana. Mereka yang berhasil diculik adalah Patih Sosrodiningrat, Mr. Notonegoro, Mr. Jaksonagoro dan Mr. Suwidji serta KRA. Yudonagoro. Bersamaan dengan aksi-aksi penculikan terhadap pejabat kraton, tuntutan-tuntutan yang menginginkan pembubaran Daerah Istimewa Surakarta terus berjalan. Badan-badan perjuangan dan beberapa komponen masyarakat di Klaten dan Boyolali mengadakan rapat umum yang menuntut hapusnya swapraja Surakarta. Selain itu daerah Wonogiri dan Tawangmangu menyatakan lepas hubungan dengan Mangkunegara dan menuntut pemilihan umum secara demokratis. Pada tanggal 23 Mei keadaan semakin gawat dimana pemerintahan dari 4 kabupaten telah memutuskan hubungan dengan Sunan.
Pada saat situasi di Surakarta semakin gawat, maka pemerintah mengangkat Soerjo sebagai wakil pemerintah pusat di Surakarta menggantikan R.P. Soeroso yang dianggap terlalu lemah. Soedarsono mengharapkan Soerjo mampu memecahkan persolan di Surakarta dan dia bersedia bekerjasama terhadap upaya-upaya pemerintah. Untuk menjamin kerjasama tersebut, ia memerintahkan penangkapan terhadap tokoh-tokoh oposisi terutama Barisan Banteng.
Pada tanggal 23 dan 24 Mei 1946, atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono, terjadi penangkapan terhadap 12 orang penting antiswapraja. Hal tersebut membuat marah Barisan Banteng, Hisbullah dan Polisi Istimewa dengan melakukan demonstrasi. Pada tanggal 28 Mei 1946 diadakan rapat umum/ raksasa dimana Sudiro selaku kepala Barisan Banteng memberikan batas waktu 48 jam kepada kabinet untuk melepaskan para tahanan karena jika tidak maka ia tidak akan berusaha lagi mengendalikan para pengikutnya yang sudah marah. Ultimatum Sudiro berhasil dan pada tanggal 31 Mei 1946 para tahanan yang terdiri dari Moewardi, Hadisunarto, dan Muljadi Djojomartono dibebaskan. Setelah pembebasan tersebut maka dilangsungkannya siding cabinet darurat yang dihadiri oleh presiden, wapres, Jenderal Sudirman,dan tokoh-tokoh lainnya yang memutuskan untuk membentuk suatu pemerintahan militer di Surakarta yang disebut Pemerintahan Daerah Rakyat dan Tentara (PDRT).
C. Akhir Gerakan Antiswapraja di Surakarta
Sejak Presiden Soekarno menetapkan Surakarta sebagai daerah istimewa, berdiri tiga pemerintahan di Surakarta yakni Kasunanan, Mangkunegaran, dan KomiteNasional Daerah (KND). Situasi instabilitas tersebut memunculkan kelompok pro dan antiswapraja. Kelompok pro swapraja membentuk organisasi Perkumpulan Kerabat Surakarta (PKS), pendukung PKS sebagian besar adalah masyarakat yang setia dengan pemerintah kerajaan. Sementara itu, kelompok antiswapraja muncul dari berbagai kalangan, diantaranya adalah kalangan keraton yang berfikiran modern, aktivis partai-partai politik, seperti PKI, PNI, Murba, PSI, dan organisasi masa seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan PKI dan Barisan Benteng Surakarta. Mereka bersatu dalam Panitia Anti Swapraja (PAS).
Peseteruan kedua kubu membuat pemerintah melakukan sidang kabinet darurat yang dihadiri oleh Presiden, wakil presiden, Jendral Soedirman, dan tokoh-tokoh penting lainnya. Dalam sidang tersebut diputuskan untuk membentuk suatu pemerintahan militer di Surakarta. Pemerintahan militer yang dibentuk disebut Pemerintahan Daerah Rakyat dan Tentara. Sementara itu, ketegangan di Surakarta masih berlanjut. Surakarta dan Yogyakarta telah dikuasi oleh dua golongan yaitu golongan oposisi yang ada di Surakarta dan yogyakarta sebagai markas pemerintah.
Dalam sidang luar biasa , tanggal 15 Juni 1946 di Purworejo, Badan Pekerja KNIP menerima suatu rencana undang-undang mengnai pernyataan “keadaan darurat”. Pada hari berikutnya, Hatta berangkat ke Surakarta untuk memberitahu militer dan pemimpin-pemimpin politik setempat dan para raja bahwa malam itu presiden akan mengumumkan keadaan darurat bagi Surakarta. Keadaan darurat di Surakarta benar-benar darurat disaat Syahrir diculik pada tanggal 27 Juni 1946 di kota oposisi ini.
Peristiwa itu mengundang kemarahan Sukarno. Setelah Syahrir dibebaskan, Jendral Sudarsono dan pasukannya menyerang istana presiden di Yogyakarta. Namun usaha ini gagal karena kesatuan Pasindo telah bersiap siaga di depan gedung istana. Setelah peristiwa itu pemerintah lebih berhati-hati dengan kelompok oposisi. Tuntutan kelompok oposisi di Surakarta sepenuhnya dikabulkan oleh pemerintah dengan dikeluarkan Peraturan Presiden tanggal 15 Juli no.16/SD/1946 yang berbunyi: “Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran untuk sementara waktu dipandang merupakan karesidenan sebelum susunan pemerintahannya ditetapkan undang-undang”. Ini menegaskan hilangnya status istimewa dari Surakarta. Selain itu secara de fakto dan de Jure pemerintah swapraja Surakarta telah runtuh.
PENUTUP
Provinsi Surakarta atau Daerah Istimewa Surakarta (DIS) adalah sebuah provinsi yang pernah ada sejak Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946. Provinsi ini merupakan bagian dari Republik Indonesia yang terdiri atas Daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunagaran dan diperintah secara bersama oleh KNI Daerah Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegara.Pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti Swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, dimana salah seorang pimpinannya disebut-sebut adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan komunis.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan & pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS & menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan & Mangkunegaran & daerah Surakarta yg bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk & susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta & Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat & warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni & budaya Jawa. Keputusan ini berdasarkan Peraturan Presiden tanggal 15 Juli no. 16/SD/1946 yang berbunyi: ““Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran untuk sementara waktu dipandang merupakan karisidenan sebelum susunan pemerintahannya ditetapkan undang-undang”.
DAFTAR PUSTAKA
Didin harianto. 2011. Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta. Dalam http://hariantodidin.blogspot.com diunduh hari kamis 4 April 2013. Pukul 02.00.
Julianto Ibrahim. 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja. Malioboro Press.
_____________. 2008. Bandit dan pejuang di simpang Bengawan: kriminalitas dan kekerasan masa revolusi di Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Ramadan Agndriyanto. 2009. Skripsi. Gerakan Antiswapraja di Surakarta Tahun 1945-1946. tp.
Sri Juari Santosa. 2012. Suara Nurani Keraton Surakarta: Peran Keraton Surakarta dalam Mendukung dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar