1. Siapakah Muhammad Ahmad bin Abdullah Al-Mahdi
Terlahir dengan nama Muhammad Ahmad pada 12 Agustus 1844, di Provinsi Dongola Sudan. Nama bin Abdullah diambil dari nama ayahnya Abdullah dan keluarganya mengaku memiliki garis keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Ayah Mahdi dikenal sebagai pembuat kapal, semasa Mahdi kecil keluarga Abdullah pindah ke selatan 12 km dari Khartoum karena disana bahan untuk pembuatan kapal seperti kayu masih tersedia banyak. Ditempat itulah ayahnya meninggalkan empat orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Seluruh saudaranya meneruskan pekerajaan ayahnya sebagai pembuat kapal, kecuali Mahdi yang lebih tertarik belajar mendalami agama. Mahdi kemudian belajar dengan seorang guru agama yang digaji oleh Kerajaan. Semasa ia tamat belajar dan dirasakan ilmu agamanya telah cukup ia tidak melanjutkan memperdalam Ilmu Agamanya ke Al-Azhar (Universitas) sebagaimana lazimnya pelajar Sudan waktu itu. Namun ia lebih memilih menjadi seorang Sufi dan mengamalkan amalan baik di hidupnya yang tersisa.
Pada tahun 1861 ia menjadi murid Syaikh Muhammad Sharif Nur Daim, cucu dari penggagas tarekat Samaniyah di Sudan. Mahdi menetap kurang lebih selama 7 tahun dan menjadi murid yang baik dari Syaikh Muhammad Sharif Nur Daim gurunya. Hingga akhirnya dia pun dilantik menjadi Syaikh pada tarekat Samaniyah dan menjelajah ke seluruh Sudan untuk berdakwah mensyiarkan Islam. Ia mendirikan rumah di Khartoum dan tinggal bersama istri dan adiknya. Pada tahun 1880 Syaikh Al- Quraishi meninggal dunia sebagai Ketua Tarekat Samaniyah, posisinya kemudian digantikan oleh Mahdi.
Pada awalnya Muhammad Abdullah tidak pernah mentahbiskan dirinya sebagai seorang Imam Mahdi yang dikirimkan Allah untuk membaskan umat muslim. Namun pada 1881, seseorang yang bernama Abdullah bin Muhammad datang kepada Mahdi untuk mengabdi kepada Tarekat Samaniyah. Abdullah bid Muhammad yang oleh Allah diberi kelebihan sebagai peramal lewat mimpinya menyampaikan kepada Muhammad Ahmad bahwa ia adalah seorang Imam Mahdi.
Pengakuan Abdullah bin Muhammad tak lantas diamini oleh Muhammad Ahmad begitu saja bahwa ia adalah Al-Mahdi atau Imam Mahdi. Ia termasuk orang yang tidak senang begitu saja disanjung-sanjung oleh pengikutnya. Semula Muhammad Ahmad mempelajari lebih dalam tentang Kedatangan Imam Mahdi di muka bumi. Lalu ia memabandingkan dirinya sendiri dengan Imam Mahdi. Hingga akhirnya ia mengakui dirinya sebagai Al-Mahdi ditambah dengan popularitasnya saat itu. Menurutnya orang saat ini sedang mencari-cari penyelamat yang dapat membebaskan diri mereka dari malapetaka menegakkan keadilan di muka bumi. Pelantikan dirinya sebagai Imam Al-Mahdi dilakukan pada bulan Mei 1881 yang didukung oleh masyarakat yang mendukungnya serta tentu saja murid/pengikutnya. Dengan semangat yang berkobar-kobar, ia menyatakan dan mengajak pengikutnya untuk Berjihad. Ia berjanji akan membebaskan Sudan dari kezaliman penjajah Mesir dan menaklukkannya, beliau berjanji akan mengambil alih Mekkah dan terus bergerak ke Jerusalem dimana Nabi Isa AS akan turun dan berjumpa dengannya dan melanjutkan perjuangan menegakkan Islam di muka bumi.
2. Sudan di Bawah Kolonialisasi Mesir
Sudan merupakan wilayah kekuasaan Mesir yang ditaklukkan sejak Muhamamd Ali jadi Raja Mesir tahun 1821. Penggantinya Raja Khedive Ismail, namun merupakan Raja yang sangat boros dalam mengeluarkan anggaran dan perbelanjaan bagi negaranya. Selama ia memerintah 16 tahun tak kurang ia membelanjakan 90 juta Poundsterling untuk berbagai kepentingan yang sebenarnya tidak perlu, seperti menambah upeti tahunan kepada Sultan Turki Usmani sebagai tanda terima kasih sultan menganugerahkan gelar “Khedive” sebagai pengganti sebutan Pasha (Mesir saat itu masuk dalam kekuasaan Turki). Akibatnya hutang Mesir meningkat dari 3 juta Poundsterling di tahun 1863 menjadi 80 juta Pound pada tahun 1876. Untuk menyelamatkan keuangan negara dari kebangkrutan, Mesir menjual saham Terusan Suez kepada asing dan dibeli Inggris sebanyak 44%. Sejak saat itulah Inggris mulai masuk ke Mesir menanamkan pengaruhnya bahkan hingga mengurus urusan dalam negeri Mesir.
Sejak masa Mesir dipimpin oleh Muhammad Ali pada 1821 penaklukkan ke Sudan sebenarnya sudah dilakukan dan berhasil. Tahun 1830 didirikan ibu kota untuk koloni Mesir di Sudan yakni Khartoum oleh Gubernur Jenderal Khursid Pasha (1825-1838). Muhammad Ali digantikan oleh Khedive Ismail dan pada tahun 1869 mulai melakukan kampanyenya menaklukkan Sudan sebelah Selatan. Pemerintahan dibentuk di Bahr El-Ghazal dan ditunjuk Sir Samuel Baker sebagai Gubernur Jenderal yang merupakan seorang Inggris. Baker dipilih karena ia pernah melakukan penjelajahan di daerah Sudan dan memiliki pengetahuan yang cukup disana. Tahun 1874 Baker digantikan oleh Charles George Gordon. Khedive Ismail turun tahta dan digantikan anaknya Tawfiq yang tak lain seperti Boneka Inggris. Tahun 1877-1879 oleh Tawfiq, Gordon diangkat menjadi Gubernur Jenderal seluruh Sudan.
Kondisi di Sudan saat masanya inilah ketidakpuasan dan pemberontakan mulai timbul. Salah satu penyebabnya ialah diterapkannya kembali perdagangan budak, eksploitasi terhadap kekayaan alam untuk menambah kas negara Mesir yang masih defisit ditambah untuk membayar hutang-hutangya. Selain itu pegawai pemerintah Mesir di Sudan terkenal korup, keras, dan culas dalam menjalakan pemerintahan disana.
3. Latar Belakang dan Jalannya Pemberontakan Al-Mahdi di Sudan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang menjadi latar belakang terjadinya pemberontakan Al-Mahdi di Sudan ialah karena ekploitasi besar-besaran yang dilakukan Mesir seperti perdagangan budak dan ekploitasi kekayaan alam. Masyarakat Sudan sudah terlalu lama hidup di bawah penderitaan pemerintahan mesir yang bertindak kejam dan sewenang-wenang, ditambah dengan keyakinan Muhammad Ahmad bin Abdullah bahwa dirinya adalah Al-Mahdi yang dilahirkan untuk membebaskan umat Islam yang tertindas selama ini.
Pertempuran awalnya pecah tak lama setelah pembaiatan Muhammad Ahmad sebagai Al-Mahdi. Ucapan Al-Mahdi yang bersumpah akan membebaskan Sudan dari kezaliman Mesir dianggap sebagai provokasi. 200 prajurit dikirim untuk menangkap pemberontak dan menumpaskan kumpulan itu. Karena terlalu meremehkan kekuataan kelompok Al Mahdi, 200 prajurit tersebut berhasil dikalahkan dan Mahdi mundur ke Kordofan dan menyatakan Jihad Fisabilillah kepada seluruh pengikutnya. Di Kordofan pasukan Al-Mahdi berhasil merebut kota dan menghancurkan barisan pasukan mesir yang terlatih dan bersenjata modern. Di bulan Januari 1883 Pasukan Al-Mahdi berhasil menguasai Bandar Al-Obeid yang begitu strategis di mata Mesir setelah perang selama 6 bulan di kota itu sejak Agustus 1882.
Jatuhnya Al-Obeid dan Kordofan ke tangan pasukan Al-Mahdi, membuat Khartoum berada dalam bahaya. Usaha untuk memberangus gerakan Al Mahdi kembali coba dilakukan saat masa Ala’al Din Pasha menjadi Gubernur Jenderal Sudan pada 1883. Kolonel William Hicks dari tentara Inggris didatangkan ke Khartoum dari Bombay India khusus untuk mengalahkan Al-Mahdi. Untuk menghadapi Al-Mahdi, Hicks mempersiapkan 1000 tentara berkuda dan 8000 ekor tentara ber-unta. Mereka juga dilengkapi dengan Senapan Mesin. Meskipun dilengkapi dengan tentara terlatih dan memiliki persenjataan yang canggih, mereka harus menghadapi 50.000 pasukan Mahdi dengan semangat yang berkobar-kobar dan berani mati di Jalan Allah. Pada 5 November 1883 pertempuran berakhir dan kemenangan di pihak Mahdi. Hanya sekitar 30 orang saja yang selamat dari seluruh pasukan Hicks, termasuk Kolonel William Hicks sendiri tewas dalam pertempuran. Kota Khartoum juga belum berhasil direbut keseluruhan oleh pasukan Mahdi.
Kemenangan-kemenangan kaum pemberontak membuat dan kekalahan tentara Mesir berturut-turut mengakibatkan posisi Mesir sulit di Sudan. Mesir ingin membiarkan tentaranya di Sudan untuk mempertahankan daerah yang masih dikuasai. Namun itu berarti membiarkan tentaranya habis dan hancur diserang pasukan Mahdi. Di suatu sisi apabila pasukan Mesir ditarik berarti merosotkan kewibawaan negerinya oleh penduduk Mesir sendiri dan dunia Internasional. Saat itu kondisi keuangan Mesir juga dalam kondisi yang tidak baik dan tenaga cadangan untuk Angkatan Perang sudah digunakan secara regular. Sir Evelyn Baring petinggi Inggris seperti Penasehat di Mesir, beberapa kali dimintai tolong oleh Mesir untuk membantunya dalam menaklukkan Sudan. Namun atas perintah dari London, Baring menyampaikan kepada Khedive Mesir bahwa Kerajaan Inggris tidak bisa membantu Mesir dalam menggunakan tentaranya untuk menaklukkan Sudan. Bahkan Baring menyarankan Khedive untuk menunda serangan ke Sudan setelah kondisi keuangan Mesir telah pulih. Bukannya melakukan apa yang disarankan Baring, Khedive malah mengirimkan Jenderal Valentine Baker dan 25000 tentara ke Suakin untuk merebut kota Sinkat dan Tokar. Sekali lagi usaha Khedive gagal merebut kedua kota tersebut.
Kekalahan Hicks dan Valentine Baker membuat Mesir dan Inggris menggunakan siasat baru untuk menaklukkan Sudan. Jenderal Charles Gordon yang dahulu pernah menjadi Gubernur Jenderal di Sudan kembali dikirimkan pada 1884 dan membujuk Mahdi untuk menjadi Raja di Kordofan dan membebaskan tawanan perang dari bangsa Eropa. Terang saja tawaran Gordon ini ditolak mentah-mentah. Campur tangan Inggris sudah semakin menjadi dalam permasalahan Sudan yang sebenarnya antara Mahdi dan Kerajaan Mesir-Turki, hal ini membuat Mahdi gerah dan bersiap untuk menyerang Khartoum. Khartoum yang merupakan Ibukota Sudan harus ditaklukkan segera. Lord Cromer yang merupakan pembesar Inggris di Mesir sudah memperingatkan Gordon untuk segera lari dan meninggalkan Sudan sebelum terlambat. Gordon tidak mengindahkan peringatan, menurutnya apabila Khartoum jatuh ke tangan Mahdi, maka akan sangat sukar kota itu direbut kembali dan gerakan Mahdi harus ditindas. Mahdi malah menulis surat kepada Gordon untuk segera menyerahkan diri, Gordon tidak memberikan jawaban. Bhar El Ghazal, kota sebelum Khartoum telah berhasil direbut Mahdi dan Jenderal Stewart yang berada di kota tersebut tewas. Akhir 1884 Khartoum sudah dikepung oleh pasukan Mahdi.
Pada 25 Januari 1885, serangan Al Mahdi mulai dilakukan untuk merebut Khartoum. Dalam beberapa jam saja Khartoum berhasil ditaklukkan tentara Mahdi. Pemerintah Inggris terpaksa mengirimkan ekspedisi dari Mesir untuk menolong Gordon yang terdesak. Akan tetapi terlambat, Jenderal Gordon dan tentaranya berhasil dibunuh oleh pasukan Mahdi.
Sebagian Sudan sudah berhasil dikuasai, beberapa kota yang belum kemudian mendudukkan diri. Tentara Mesir dan Inggris semuanya sudah ditarik ke Mesir. Di wilayah Sudan berdiri Negara Mahdi dan Muhammad Ahmad Al-Mahdi lah yang menjadi pemimpinnya dengan sistem Kehalifahan. Negara dijalankan dengan prinsip Syariah yang mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukumnya. Namun 5 bulan setelah Khartoum berhasil di rebut, Mahdi meninggal dunia karena sakit. Dipuncak kejayaannya justru Mahdi harus terlebih dahulu dipanggil oleh yang maha kuasa. Beruntung muridnya Abdullah Bin Muhammad yang dianggap paling cakap dapat menggantikan dirinya sebagai Khalifah di Negara Mahdi hingga tahun 1899.
KESIMPULAN
Gerakan pemberontakan atau Revolusi di Sudan dipelopori oleh Muhammad Ahmad bin Abdullah. Muhammad Ahmad lahir di Dongola Sudan pada 12 Agustus 1844 dari ayah yang bernama Abdullah seorang pembuat kapal. Berbeda dengan saudara-saudaranya, Mahdi lebih memilih belajar agama dan mendalami Agama Islam. Tahun 1861 ia menjadi murid Syaikh Muhammad Sharif Nur Daim, cucu dari penggagas tarekat Samaniyah di Sudan. Tahun 1880 pemimpin Tarekat Samaniyah Syaikh Al- Quraishi meninggal, beliau berhasil menggantikannya. Pada Mei 1881, Muhammad Ahmad mentahbiskan dirinya seorang Imam Mahdi atau Al-Mahdi setelah mendengar pengakuan dari seseorang muridnya yang bernama Abdullah bin Muhammad yang memiliki kemampuan meramalkan. Hal ini didukung oleh banyak pihak terutama pengikutnya Muhamamd Ahmad. Kebetulan kondisi saat itu di Sudan sedang terjajah dan menghadapi kezaliman oleh penduduk Mesir yang mengekploitasi besar-besaran Sudan baik sumber alamnya maupun penduduknya.
Sudan merupakan wilayah yang sudah mulai ditaklukkan mesir sejak tahun 1821 saat Mesir dipimpin oleh Muhammad Ali. Raja Khedive Ismail meneruskan Muhammad Ali dan kembali berambisi menaklukkan Sudan hingga ke wilayah selatannya. Upaya awalnya ialah mengirimkan dan menjadikan Sir Samuel Baker sebagai Gubernur Jenderal di Sudan pada 1869. Kemudian digantikan oleh Jenderal George Gordon pada 1874.
Saat Muhammad Ahmad membaiat dirinya sebagai Imam Mahdi, 200 tentara Mesir dikirimkan untuk menangkap Mahdi yang dianggap sebagai gerakan yang membahayakan. Namun karena meremehkan kekuatan Mahdi, 200 prajurit itu gagal dan banyak yang tewas. Selanjutnya banyak kota dan bandar yang berhasil direbut pasukan Al-Mahdi, antara lain Al-Obeid dan Kota Kordofan. Akibat dari jatuhnya kedua kota tersebut, pusat pemerintahan sudan di Khartoum dalam posisi bahaya dan terdesak. Pada 1883 Ala’al Din Pasha sebagai Gubernur Jenderal di Sudan meminta bantuan kepada Inggris untuk mengalahkan gerakan Al-Mahdi, Kolonel William Hicks didatangkan khusus dari Bombay India. Usaha tersebut berhasil dipatahkan pasukan Mahdi bahkan Hicks terbenuh dalam peperangan.
Upaya untuk memberangus gerakan Mahdi kembali dilakukan oleh Mesir, sejumlah pasukan kembali dikirimkan dibawah pimpinan Valentine Baker. Posisi ini membuat Khartoum semakin terdesak. Jenderal Gordon dikirimkan kembali ke Sudan pada tahun 1884 untuk menggunakan cari lain untuk menaklukkan gerakan Mahdi. Yakni dengan cara diplomasi dengan diimingi menjadi Raja di Kordofan. Jelas saja hal ini ditolak mentah-mentah Mahdi. Akhir 1884 Kota Khartoum dikepung oleh pasukan Mahdi dan 25 Januari 1885 akhirnya berhasil direbut. Jenderal Gordon yang bersikeras tetap tinggal di Khartoum akhirnya juga ikut tewas dalam peperangan tersebut. Sejak saat itulah Negara Mahdi yang dijalankan dengan prinsip kekhalifahan dan syariah dimulai. Lima bulan kemudian dipuncak kejayaannya Mahdi meninggal dunia dan digantikan muridnya Abdullah bin Muhammad hinga 1899.
Beberapa hal yang menjadi catatan mengapa perlawanan Mahdi di Sudan tergolong berhasil ialah karena Mahdi memiliki pendukung yang banyak, militan, dan loyal terhadapnya. Ditambah mereka meyakini bahwa perang dalam membebaskan Sudan ialah Jihad Fisabilillah sehingga mereka tak takut mati dan dibalas dengan jaminan Surga.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Dokumen :
Darsiti Soeratman, 2012. Sejarah Afrika, Penerbit Ombak, Yogyakarta
Maryam Jameelah, 2013. Suka Duka Gerakan Islam Dunia Arab, Kuala Lumpur
Robert W. July, 1970. A History of The African People, Charles Scrbner’s Sons Publisher, New York
Website :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar