Pemberontakan yang banyak terjadi di Banten karena adanya faktor-faktor tertentu adanya keresahan sosial dapat dicontohkan terjadinya disintegrasi tatanan tradisional karena semakin memburuknya system politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa-penguasa asing, sehingga dapat memunculkan pemberontakan-pemberontakan pada abad 19. Aspek politik yang paling menonjol dalam pemberontakan tersebut karena kebencian rakyat terhadap pamongpraja dan perlawanan terhadap sewa tanah yang akan diterapkan oleh pemerintah kolonial di agen-agennya. Langkanya uang dan rendahnya hasil-hasil petani memunculkan pemberontakan untuk menyampaikan ketidakpuasan dan dendam mereka.
Pemberontakan ini juga karena diperkuat karena adanya kekuasaan para orang-orang kafir atau bisa disebut penganut milenari atau mesianik. Pemberontakan-pemberontakan tersebut bersifat revolusioner yang mempunyai tujuan untuk menghancurkan birokrasi yang korup dan menumbangkan sistem pemerintahan yang dibangun oleh penguasa asing. Pemberontakan tersebut juga dapat dipandang untuk merebut kekuasaan politik yang dikuasai oleh pamongpraja kolonial, akan tetapi dalam pemberontakan tersebut pihak pamongpraja kolonial yang selalu menang karena golongan-golongan yang memberontak lemah dalam bidang organisasi.
Gagasan mengenai pemberontakan sebenarnya sudah siap sejak 1884. Selang waktu antara tahun ini dengan terjadinya pemberontakan digunakan untuk membangun organisasi komplotan, juga untuk menyusun rencana-rencana pemberontakan. Guru-guru tarekat ditugaskan untuk menyebarkan gagasan dan mencari pengikut. Pejabat-pejabat Eropa merasa cemas dengan kegiatan keagamaan yang semakin meningkat, namun mereka ditenangkan oleh para pejabat lokal yang tidak melihat hal-hal yang membahayakan
Pemberontakan pertama meletus pada malam hari minggu 8 juli 1888 di cilegon dengan sasaran rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen. Serangan umum terjadi keesokan harinya. Pemimpin pertama opersi ini adalah Haji Wasid. Atas perintahnya sebagian pemberontak menyerang penjara untuk membebaskan semua tahanan, sebagian akan menyerang kepatihan dan sebagian lagi akan bergerak menuju rumah asisten residen. Setelah Cilegon diduduki oleh kaum pemberon tak, dilancarkan usaha besar-besaran utuk mencari para pejabat yang berhasil melarikan diri. Mereka tidak segan untuk membunuh pejabat-pejabat yang berhasil mereka tangkap.
Begitu pula dengan pegawai-pegawai pamongpraja tingkat rendah, baik orang Eropa atau orang Banten. Mereka juaga mengalami nasib yang sama dengan atasan-atasan mereka. Satuan-satuan pemberontak terus berdatangan dari berbagai penjuru untuk bergabung dengan pasukan induk. Para pemberontak ini berhasil mengumpulkan satu pasukan yang terdiri dari ratusan orang, dan Haji wasid sendiri terus berada di Cilegon sepanjang pagi hari itu. Setelah mengutus pembantu-pembantunya untuk menyebar luaskan pemberontakan, Haji Wasid sebuah datasemen untuk menuju serang.
Dalam keadaan yang kacau ini, haji Wasid yang bermarkas di Jombang memimpin pemberontakan ini. kaum pemberontak memberi hormat kepada Haji Wasid sebagai “raja” atau “raja islam”. Selain di Cilegon, huru-hara juga terjadi di tempat-tempat lain seperti bojonegoro, balagendung, Krapyak, Grogol dan Mancak. Ketika pasaukan pemberontak mendekati Toyomerto, mereka melihat sekelompok orang bersenjata menutupi jalan. Bupeti membujuk mereka agar tidak melanjutkan rencana mereka dan memperingatkan bahwa mereka akan melepaskan tembakan jika mereka tidak bubar. Karena peringatan itu tidak diindahkan maka tentara melepaskan tembakan dan menewaskan sembilan orang. Sesungguhnya moril kaum pemberontak sudah dipatahkan dan dengan tercerai-berainya pasukan induk mereka setelah bentrokan di Toyomerto, pemberontakan mulai surut. Oleh kerena itu kekalahan di toyo merto dapat diakatakan sebagai titik balik dalam pemberontakan itu.
Para pemberontak pada waktu itu mendengar kabar buruk, bahwa pasukan induk mereka telah dibubarkan setelah reaksi dari pihak pemerintah. Sejak awal rencan para pemberontak adalah menduduki Serang dan bertujuan untuk membantai para pamongpraja yang sangat mereka benci. Bupati dan Krontolir berusaha menghentikan para pemberontak agar menghentikan rencana mereka, namun para pemberontak tidak mengindahkan dan tentara melepaskan tembakan yang menewaskan sembilan pemberontak. Satu pukulan yang dihadapkan para pemberontak adalah tewasnya kawan seperjuangan mereka dan banyak teman-teman mereka yang luka-luka serta kekalahan bentrokan di Toyomerto yang membuat para pemberontak tidak lagi bersemangat. Para pemimpin-pemimpin pemberontakan yang kemudian ditangkap oleh para tentara. Pimpinan Kapten de Brauw melakukan pembersihan dalam pemberontakan, dengan cara menembaki siapa yang membangkang. Akan tetapi para pemimpin pemberontak bersembunyi di Ciora Kulon dan pasukan militer segera bergerak ke tempat tersebut. Desa yang paling banya kaum pemberontak adalah desa Kedung dan Trate Udik, maka para militer terlebih dahulu memasuki desa tersebut. Pengejaran dilakukan secara terus menerus, akan tetapi hasilnya mengecewakan karena tidak dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Pemerintah menawarkan hadiah lima ratus gulden yang barang siapa dapat menemukan para pemimpin pemberontakan yang terkemuka. Tetapi disini kaum pemberontak terus berjuang dengan adanya peristiwa pembakaran rumah mandor gardu. Para pemberontak terus berpindah-pindah tempat mengikuti pemimpinnya, karena terus diburu oleh pemerintah. Diantara para pemimpin mereka saling memisahkan diri karena situasi yang tidak menentu. Para pemberontak ini akhirnya melakukan perlawanan sendiri-sendiri. Para pemimpin yang menemui ajal terlebih dahulu adalah Haji Iskak yang diserang oleh orang yang tak dikenal, kemudian Haji Madani dan Haji Jahli yang juga akhirnya meninggal. Sedangkan pemberontak yang dapat melarikan diri antara lain Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban walaupun pada akhirnya mereka dapat tertangkap juga. Yang paling menarik disini adalah hanya Haji Sapiudin, Haji Kapiludin, Haji Abdulhalim yang paling sulit ditemukan jejaknya. Diperlukan waktu dua minggu untuk memburu para pemberontak tersebut dan jumlahnya yang tidak dapat diperkirakan.
Pemberontakan baru telah direncanakan Haji Akhmad yang akan dimulai pada akhir bulan puasa. Dalam satu kelompok terdiri dari empat puluh orang. Mereka dendam kepada pemerintah karena dibuang atau mungkin dibunuhnya para pemimpin mereka. Para pemberontak baru ini bersepakatan untuk membunuh para pamongpraja baik dari pribumi ataupun Eropa. Beberapa pemberontak yang berbalik arah menjadi informan bagi pihak pemerintah. Haji Abdulsalam disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas pemberontakan dan berbagai kerusuhan lainnya. Satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah harusnya ada penghargaan bagi pemerintah atau pejabat-pejabat yang berjasa menumpas pembeontakan. Pemusnahan pemberontakan harusnya mendatangkan kehormatan. Yang paling berjasa dalam pengejar antara lain R. T. Sutadiningrat, R. T. Kusumaningrat, bupati Caringan, Haji Jamaludin, dan masih banyak lagi.
KESIMPULAN
Pemberontakan yang banyak terjadi di Banten karena adanya faktor-faktor tertentu adanya keresahan sosial dapat dicontohkan terjadinya disintegrasi tatanan tradisional. Hal tersebut dikarenakan semakin memburuknya system politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa-penguasa asing. Aspek politik yang paling menonjol dalam pemberontakan tersebut karena kebencian rakyat terhadap pamongpraja dan perlawanan terhadap sewa tanah yang akan diterapkan oleh pemerintah kolonial.
Pemberontakan pertama meletus pada malam hari minggu 8 juli 1888 di Cilegon dengan sasaran rumah Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen. Serangan umum terjadi keesokan harinya. Pemimpin pertama opersi ini adalah Haji Wasid. Para pemimpin-pemimpin pemberontakan yang kemudian ditangkap oleh para tentara. Pimpinan Kapten de Brauw melakukan pembersihan dalam pemberontakan. Akan tetapi para pemimpin pemberontak bersembunyi di Ciora Kulon dan pasukan militer segera bergerak ke tempat tersebut. Pemberontak yang dapat melarikan diri antara lain Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban walaupun pada akhirnya mereka dapat tertangkap juga. Yang paling menarik disini adalah hanya Haji Sapiudin, Haji Kapiludin, Haji Abdulhalim yang paling sulit ditemukan jejaknya. Diperlukan waktu dua minggu untuk memburu para pemberontak tersebut dan jumlahnya yang tidak dapat diperkirakan.
Daftar Pustaka
Kartodirjo. Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten. Jakarta: Pustaka Jaya
P3KD. 1978. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Dep. P dan K
Priyadi. Sugeng. 2012. Sejarah Lokal. Y
Tidak ada komentar:
Posting Komentar