A. Latar Belakang Peristiwa Tiga Daerah
Peristiwa tiga daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara oktober sampai desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di keresidenan Pekalongan Jawa tengah, dimana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran islam, sosialis dan komunis.
Peristiwa ini sering disebut, tetapi pengertiannya masih kabur. Kata-kata perampokan, penyelewengan dan pemberontakan masih sering dipakai disamping kata-kata pergerakan, perjuangan atau peristiwa untuk tiga daerah. Sejarah tiga daerah penting sebagai peristiwa lokal revolusi Indonesia, karena merupakan sebuah revolusi sosial dengan ciri khas tersendiri. Disini, revolusi sosial diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial feodal menjadi susunan masyarakat yang lebih demokratis. Cita-cita ini mulai diperjuangkan oleh sarekat Islam di Pekalongan pada tahun 1918, diteruskan oleh gerakan PKI dan Sarekat Rakyat sampai dengan tahun 1926, tetapi baru tercapai pada bulan Oktober-November 1945.
Untuk memahami mengapa terjadi Peristiwa Tiga Daerah pada tahun 1945, kita perlu juga mengetahui sejarah politik daerah tersebut. Pada abad sembilan belas, terjadi aksi protes terhadap tanam paksa (gula) dan beban wajib kerja (corvee) yang menjadi inti dari sistem Tanam Paksa Belanda. “Brandal Mas Cilik” di Tegal merupakan pemberontakan petani pada tahun 1864, dipimpin seorang dukun yang bernama Mas Cilik, yang menyerang pabrik gula dan membunuh pegawai belanda. Aksi protes muncul lagi pada tahun 1926 dengan pemberontakan di dukuh karangcegak, selatan tegal. Kali ini petani melawan wajib kerja (corvee) dengan senjata ideologi modern, yaitu komunis. Peristiwa pemberontakan tahun 1926 ini mengakibatkan banyak pemimpin Tegal dibuang ke tempat pengasingan Boven Digul di irian Jaya. Golongan inilah yang muncul kembali memimpin badan-badan perjuangan dan menyusun strategi politik mengubah struktur pemerintah di Tiga daerah pada tahun 1945 itu. Peristiwa tiga daerah terjadi di sebagian wilayah Jawa Tengah tepatnya di daerah Karesidenan Pekalongan pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini merupakan salah satu dari pergolakan yang muncul di beberapa daerah di Indonesia pada bulan-bulan pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan disebut Revolusi Sosial. Peristiwa terjadi akibat rasa tidak puas secara sosial ekonomi rakyat setempat pada elite birokrasi yang telah memerintah atas nama Belanda pada dasawarsa kekuasaan kolonial. Taraf hidup kalangan elite birokrasi yang sangat berbeda secara menyolok dengan penduduk kelas bawah memperlebar jurang pemisah dua kelompok tersebut. Hubungan tradisional patron clien antara birokrasi dan petani rusak. Dalam diri kelas bawah telah tertanam dendam untuk membalas hal tersebut dikemudian hari. Dengan tujuan memecat elite birokrasi dan menggantinya dengan penguasa Indonesia yang berbeda nilai dan sikapnya, masyarakat di bawah pimpinan pemimpin-pemimpin Nasionalis Lokal melakukan serangan terhadap elite-elite birokrasi.
B. Peristiwa Tiga Daerah
Proklamasi membawa dua arah angin yang berbeda, di satu sisi rakyat
menanggapinya dengan penuh kegembiraan terutama di kalangan nasionalis namun di sisi lain disambut kebingungan oleh kalangan elite birokrasi dan Jepang. Akhirnya Proklamasi melahirkan dilema bagi para pejabat setempat dalam menentukan sikap terhadap pejabat sipil dan militer yang masih berkuasa di keresidenan tersebut.
menanggapinya dengan penuh kegembiraan terutama di kalangan nasionalis namun di sisi lain disambut kebingungan oleh kalangan elite birokrasi dan Jepang. Akhirnya Proklamasi melahirkan dilema bagi para pejabat setempat dalam menentukan sikap terhadap pejabat sipil dan militer yang masih berkuasa di keresidenan tersebut.
Golongan rakyat yang revolusioner menanggapi proklamasi dengan kegembiraan sedangkan elite birokrasi sama sekali tidak mengetahuinya dan kebingungan semakin menjadi-jadi karena sumber informasi mereka yakni pejabat Jepang setempat, menolak membenarkan desas-desus proklamasi tersebut. Misalkan Bupati Brebes yang mengatakan bahwa Proklamasi tidak berarti apa-apa sampai penguasa Jepang di Keresidenan Pekalongan secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Republik setempat.
Ketika gerakan revolusioner ini terjadi banyak pejabat-pejabat elite birokrasi yang dibuat malu dengan dipecat oleh barisan Komite Nasional Pekalongan, misal di sebuah kecamatan di Tegal Selatan. Bahkan dalam tempo seminggu, revolusi sosial ini sudah melanda kawasan pedesaan Tiga Daerah.
Gelombang revolusional tersebut juga melabrak ibu-ibu kota Kabupaten Pemalang dan Tegal pada tanggal 19 Oktober dan 4 November, dan Brebes di antara kedua waktu itu. Banyak pejabat yang mencari perlindungan dari serbuan gerakan revolusioner ini, termasuk meminta saran kepada Komite Nasional setempat.
Serangan atau revolusi sosial dimulai ketika seorang kepala Desa dipermalukan dan dipecat dari jabatannya di sebuah Kecamatan di Tegal Selatan. Diawali dari peristiwa itu, dalam tempo satu minggu revolusi sosial telah melanda kawasan pedesaan tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang). Mereka menyerang, menculik dan membunuh wedana, camat, kepala desa, dan pejabat-pejabat elite birokrasi lainnya. Selain itu polisi, Tentara Keamanan Rakyat, orang-orang Cina dan Eropa turut menjadi serangan rakyat. Harta kekayaan orang Cina yang kelihatan seperti toko-toko dan penggilingan padi, dirampok dan diambil alih. Akibatnya banyak pejabat-pejabat elite birokrasi, orang-orang Cina dan Eropa yang tewas terbunuh. Puncak dari kekejaman masyarakat terjadi ketika pada pertengahan bulan Oktober, lebih dari seratus orang Indo-Eropa, Ambon dan Manado mati terbunuh karena dianggap pro tentara Belanda. Peristiwa berakhir pada awal bulan November 1945. Setelah berhasil menggulingkan elite birokrasi setelah itu disusun orang-orang yang akan menggantikan administrator lama. Tokoh lokal yang paling tersohor dalam peristiwa Tiga Daerah ialah kutil dari desa Talang, sebuah kecamatan di Selatan Tegal, oleh karena itu peristiwa Tiga Daerah sering juga disebut dengan “Gerakan Kutil”.
Pada akhir abad XIX, di Jawa timbul huru-hara kerusuhan dan kekacauan yang memuncak menjadi pemberontakan. Hal ini terjadi terutama di daerah pedesaan sehingga fenomena gerakan ini bersifat endemis. Huru-hara kerusuhan dan kekacauan yang berakhir dengan pemberontakan seringkali mengarah pada persoalan-persoalan yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, politik, dan agama. Sebab persoalan ini dianggap sangat komplek dan di jadikan dasar suatu kelompok untuk melakukan tindakan tidak puas terhadap tatanan yang ada.
Revolusi kemerdekaan RI merupakan Revolusi politik terhadap stuktur politik baru, menggantikan sistem kolonial. Pengertian struktur politik ditandai dengan proklamasi kemerdekaan yang berakibat terjadinya perubahan besar dan mendasar pada tahun 1945-1946. Revolusi social yang terjadi ini tidak hanya terjadi di Tegal saja namun meliputi juga wilayah kabupaten Brebes, dan kabupaten Pemalang mengakibatkan dampak/perubahan yang fundamental dalam masyarakat. Perubahan yang fundamental itu tampak pada perubahan struktur dari masyarakat kolonial/feodal menjadi susunan suatu masyarakat yang lebih demokratis.
Revolusi sosial yang terjadi di Tegal kurang lebih, dua setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya bulan Oktober 1945 berbentuk Gerakan Rakyat atau lebih dikenal dengan sebutan Revolusi Sosial. Revolusi sosial adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat setempat bertujuan menghapus tatanan lama, misalnya mengganti kepalakepala desa, pamong desa, Camat, Wedana, serta pemerintah Kabupaten.
Gerakan rakyat semakin matang dilakukan dengan melihat kondisi social rakyat, sebab setelah terjadi proklamasi, keadaan tidak menjadi lebih baik malah sebaliknya, kelaparan dan kekurangan yang dialami malah semakin bertambah. Berbagai usaha dilakukan untuk memperoleh keadilan, karena rakyat selama ini merasa dibodohi, rakyat selalu saja dibebani pajak dan pungutan maupun pekerjaan.
Revolusi Sosial tidak hanya terjadi pada bidang politik saja tetapi juga terjadi pada bidang ekonomi dan sosial. Kemunculan tiga kelompok sosial baru di daerah Tegal memberi perubahan pada bidang politik dan sosial. Kelompok ini berpangaruh dan mempunyai peran yang luas dalam gerakan. Kelompok baru ini adalah kelompok agama, kelompok komunis dan kelompok leggaong (bandit). Munculnya kelompok tersebut tentunya membawa gerakan yang dapat memobilisasi rakyat, karena rakyat sebagai unsur terpenting. Kelompok Islam di daerah Tegal menjadi komponen penting dalam perjuangan yang memiliki basis kuat untuk memobilisasi rakyat.
Pengangkatan K.H. Abu Suja I sebagai Bupati Tegal pada bulan November 1945 yang memposisikan ulama sebagai elit birokrasi baru yang menggantikan elit birokrasi lama bupati Sunaryo. Pengangkatan KH. Abu Suja I mendapatkan dukungan dari rakyat Tegal, walaupun secara resmi pemerintah menolak keberadaanya sebagai Bupati. Kelompok komunis sengaja menggunakan Islam dan ulama sebagai kekuatan ajarannya karena mereka menganggap bahwa dalam Islam secara realistis merupakan kekuatan politis yang besar di Indonesia. Kelompok Komunis, perjuangannya sudah dimulai sejak Sarekat Islam di pekalongan pada tahun 1918. diteruskan oleh gerakan PKI dan Sarekat Rakyat sampai dengan tahun 1926. Di Jawa pemberontakan meletus pada tahun 1927 tetapi baru tercapai pada bulan Oktober sampai November. Peristiwa pemberontakan tahun 1926 ini mengakibatkan banyak pemimpin dari Tegal dibuang ketempat pengasingan Boven Digul di Irian Jaya.
Tanggal 21 Oktober 1945 diumumkan bahwa PKI berdiri kembali. Di Tegal saat itu juga PKI mempunyai pengaruh yang sangat besar di Jawa dan cabang-cabang sarekatnya mendukung secara aktif. Karesidenan Pekalongan menjadi sebuah pusat dari kegiatan politik yang radikal dan para pengikut PKI di Tegal dan Pekalongan adalah tokoh-tokoh penggerak terkenal dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1926 sehingga di Tegal dan Pekalongan menjadi pangkalan kuat kelompok komunis.
Kelompok Komunis di Tegal membentuk front rakyat yang disebut Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D). Berdiri pada tanggal 16 November 1945 dengan markas di Kantor Partai Sosialis Amir Syarifudin, cabang Tegal. Kemunculan Lenggaong di daerah Tegal seringkali memberi rasa takut, di desa-desa yang di tempati para Lenggaong, seperti di kecamatan Talang dikenal dengan nama Kutil jagoan yang bernama asli Syakyani. pekerjaannya sebagai tukang cukur yang dianggap mempunyai kekuatan doa-doa dan jimat. Dia di anggap sebagai Ratu Adil sebagai dampak gejala Missianisme. Gerakan Tiga Daerah disebut-sebut sebagai Negara Talang dan Kutil berperan sebagai perantara antara kelompok agama dengan kelompok lenggaong sertamempunyai peran politik. Pengaruh Kutil dalam Revolusi sosial adalah melakukan protes sosial dengan memimpin aksi dombreng, aksi dombreng sama artinya dengan tindakan mengarak dan mengerahkan massa sebagai bentuk kebencian rakyat terhadap pangreh Praja. Sikap pemerintah daerah yang kurang tegas yang masih memegang tradisi lama yang selalu menunggu perintah dari atas atau pusat adalah alasan rakyat menginginkan pergantian pejabat pangreh praja. Karena rakyat menginginkan pejabat dari kalangan sendiri, orang-orang yang mereka pilih sendiri, orang-orang yang memperjuangkan kemerdekaan mereka, memperhatikan kesejahteraan mereka. Lenggaong atau perbanditan selalu memperkuat militansinya.dengan kekuatan magis keagamaan yang di pandang sebagai resistensi sosial. Kelompok Kutil melakukan kegiatan bawah tanah yang bersifat tertutup. tanpa diketahui oleh orang lain, dengan melakukan penyusupan, meskipun bentuknya tradisional gerakan ini mempunyai struktur dan pemimpin. struktur itu menunjukan hubungan antara satu bagian dengan bagian lain yang merupakan ikatan atas bawah dan mempunyai tugas yangberbeda-beda. Situasi daerah Tegal dalam penguasaan Kutil ketika itu lebih menjurus kearah anarkhis, terutama tindakan-tindakan komplotan kutil yang bergaya mirip koboy, ugal-ugalan, berseragam polisi negara lengkap dengan pistol serta adanya pengangkatan oleh dirinya sendiri sebagai kepala kepolisian.
Sikap menunggu perintah yang sudah menjadi pola elite birokrat adalah alasan yang kuat awal terjadinya pemberontakan. Karena sikap menunggu yang di tunjukan oleh elite birokrat itu mencerminkan sifat ragu-ragu, tidak berinisiatif dan sikap kepatuhan seorang abdi yang terpuruk oleh latar belakang pendidikan kolonial belanda yang diperolehnya. Awal pemberontakan terjadi dimulai dengan dibunuhnya seorang anggota polisi setempat oleh sekelompok orang yang marah, peristiwa itu terjadi karena polisi tersebut secara tidak adil menangkap pedagang-pedagang dan menyita barang dagangannya. Pendistribusian kain yang tidak adil di Talang juga merupakan faktor awal terjadinya pemberontakan. Camat Talang mendapat 14 gulung tekstil oleh KNI di bagikan kepada mereka yang membutuhkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, tetapi Kutil menginginkan pembagian di dasarkan asas sama rata sama rasa. Kelompok yang diketuai Kutil dibentuk untuk membagi-bagikan tekstil timbunan Jepang di pabrik gula diluar kota. Tidak ada yang membayar untuk pembagian itu dan tidak ada catatan tentang jumlah pembagian itu. Anton Lucas di dalam karyanya “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” juga mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi. Dalam “peristiwa tiga daerah” di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa. Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya. Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi. Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya. Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan. Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya. Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA.
Pada akhir peristiwa Tiga Daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dari sejarah diketahui bahwa kemunculan perbanditan tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mengungkungi setiap zaman.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui untuk memahami Peristiwa Tiga Daerah. Pertama, ialah perubahan sebelum tahun 1945, yaitu dalam bidang ekonomi dan politik sebelum Perang Dunia Kedua. Hal ini harus dikaitkan dengan perubahan ekonomi akibat masuknya modal asing (Eropa) di abad sembilan belas dan sistem Tanam Paksa yang berpengaruh besar terhadap kehidupan petani. Di tempat yang memiliki pabrik gula, golongan elit birokrat maupun kepala desa sering bertindak sebagi pejabat kapitalis Eropa, seperti dalam soal sewa tanah, penarikan pajak dan corvee (kerja paksa). Hal ini menyebabkan masyarakat kecil terutama para petani menjadi semakin menderita. Dari penderitaan ini lahir semangat revolusi untuk melawan kolonial Belanda maupun birokrat pemerintah di masing-masing daerah.
Kedua, dampak pendudukan Jepang yang membebani rakyat dengan wajib pajak dalam wujud menyetorkan hasil padi, romusha, tanam paksa, dan penjarahan bahan pokok. Walaupun dampak sistem pelaksanaan pengambilan bahan pokok dalam romusha berbeda menurut tempatnya masing-masing, yaitu tergantung pada sikap pejabat-pejabat lokal dan para pemimpin perjuangan setempat, namun pelaksanaan peraturan peraturan setoran padi merupakan beban yang berat dalam bidang ekonomi di masa penjajahan Jepang. Akibat kebijakan ini, telah menyebabkan terjadinya kelaparan dimana-mana termasuk juga di tiga daerah tersebut. Oleh sebab itu, muncul perasaan kebencian yang mendalam terhadap para elite birokrat, yang menurut rakyat dianggap sebagai penyebab utaman terjadinya berbagai kasus kelaparan yang diakibatkan kesewenang-wenangan dalam menarik setoran padi.
Ketiga, terlihat daru ciri-ciri revolusi sosial di masa revolusi di Pekalongan, yaitu pembagian kekayaan, pengusiran atau pergeseran elite lama dan pemimpim tradisional lain yang dianggap terlalu keras terhadap rakyat dan setia kepada Belanda atau Jepang. Dalam hal ini revolusi di wilayah Pekalongan punya ciri khas tersendiri, yaitu dengan adanya kekerasan terhadap golongan Cina, Indo-Belanda, Pangreh Praja dan Lurah. Namun pembahasan mengenai kekerasan terhadap orang-orang Cina ini belum dapat dikatakan sebagai gerakan anti Cina sebab banyak juga orang-orang Cina yang menjadi pemimpin pejuang revolusi, khususnya di Pemalang. Mereka juga menjadi penyumbang dana terbesar untuk membantu revolusi ini.
Peristiwa Tiga Daerah bukan hanya dari sektor ekonomi maupun politik, tetapi juga dapat dilihat dari faktor budaya. Menurut pandangan kaum priyayi, kepemimpinan revolusi sosial itu adalah sesuatu yang berasal dari luar atau asing, namun menurut golongan kiri revolusioner, tujuan utama revolusi mereka adalah penghapusan hierarki sosial dalam penggunaaan bahasa. Mereka menghendaki dihapusnya sebutan-sebutan untuk kaum priyayi dan menggunakan bahasa Jawa rendah dalam berkomunikasi. Hal ini merupakan suatu gerakan radikal yang mendasar di dalam konteks kebudayaan Jawa dan didasarkan tujuan dari ideologi komunis, yaitu persamaan diantara seluruh rakyat.
A. Kesimpulan
Peristiwa Tiga Daerah adalah satu kisah revolusi yang terjadi di daerah pesisir pantai utara jawa, tepatnya di Kabupaten Pemalang, Tegal dan Brebes (eks karesidenan Pekalongan) sekitar agustus 1945 sampai Desember 1945, Revolusi sosial ini muncul bersamaan pada saat perang dunia 2 berakhir sehingga Republik Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan karena jepang menyerah kepada sekutu.
Peristiwa ini muncul sebagai akumulasi kekecewaan Rakyat pada pangreh praja/ pamong (birokrat)dari tingkat kabupaten sampai pada tataran terendah yaitu desa. Pangreh praja sebelumnya lebih bertindak sebagai centeng atau antek dari penguasa (penjajah) yaitu Belanda dan Jepang setelahnya, rakyat banya menjadi sapi perahan, hasil panen mereka dirampas, upeti yang berlebihan bahkan sampai penyiksaan serta kerja paksa.
Pada saat peristiwa ini terjadi di tiga daerah (Pemalang, tegal dan brebes) banya sekali pamong dan pejabat di arak, diadili bahkan sampai di bantai oleh Rakyat. Di Pemalang Bupati sampai di amankan di penjara untuk menghindari amukan Rakyat, dan Rakyatpun mengangkat sendiri “Supangat” sebagai Bupati Pemalang.
Revolusi ini serempak terjadi di tiga daerah ini dan puncaknya ketika massa bersama-sama “meluruk” Pekalongan untuk mengganti Residen Pekalongan. Banya sekalai tokoh dalam peristiwa ini, dari tokoh lokal sampai Nasional, dan tak dapat di hindarkan pula intrik- intrik di dalamnya, Revolusi ini sangat kental dengan peran tokoh PNI, PKI bawah tanah, Partai Sosialis dan Gerakan politik lainnya yang boleh di katakan sangat revolusioner.
DAFTAR PUSTAKA
Kahin, Audrey R. 1990. Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Grafiti.
Lucas, Anton E. 1989. Peristiwa Tiga Daerah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Tulisan ini tidak menyinggung komunisme sebagai biang dari sikap bandit sosaialis yang menatasnamakan rakyat padahal tidak bisa memimpin, hanya biang keonaran. Sikap2 merampas, seenaknya sendiri seperti ini tidak pernah ada dalam budaya Indonesia yang religius dan berbudaya. Kalau kapitalis memecah belah, menciptakan jurang ketimpangan sosial, maka komunis adalah perusuh dalam tatanan bermasyarakat dan berbangsa.
BalasHapuskoe ngawur cik
Hapus