Selasa, 30 April 2013

Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965



Ahli  Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965
Berdasarkan hasil bedah buku yang dilakukan tanggal 25 November 2011, buku ini ternyata menyajikan 18 tulisan dari para penulis yang berbeda tentang aktivitas-aktivitas kebudayaan orang indonesia antara tahun 1950 sampaai 1965. Tulisan dalam buku ini dikelompokkan menjadi dua: Bagian I tentang aktivitas budaya Indonesia dengan luar negeri yang membahas interaksi yang saling mempengaruhi antara pelaku budaya Indonesia dengan luar negeri. Bagian II tentang budaya dan bangsa yang membahas aktivitas budaya untuk membentuk identitas kebersamaan
Buku ini menjelaskan tentang proses tebentuknya identitas keindonesiaan dari perspektif budaya pada tahapan politik paling dini ketika institusi negara baru saja terbentuk. Dalam buku ini penulis mencoba melihat indonesia di luar jawa ataupun jakarta. Serta mencoba melihat periode 1950an-1960an dengan cara keluar dari blokade bingkai peristiwa tragis 30 September 1965. Itu adalah suatu terobosan penting dari Historiografi Indonesia. Karena selama ini sejarah Indonesia setelah Perang Dunia II ditulis dengan acuan pada dua momen besar yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan G30S/PKI. Selain itu para penulis juga menelusuri aktivitas budaya di luar bidang kesusastraan.
Tulisan-tulisan dalam buku ini menegaskan bahwa menjadi Indonesia bukanlah sebuah proses tunggal dan soliter. Dia tidak tunggal karena melibatkan banyak aspek selain politik dan ekonomi. Aspek budaya menjadi salah satu pilar penting pembentukan jati diri keindonesiaan itu.
Buku Ahli  Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965 di dalamnya berisi ulasan-ulasan yang berisi tentang benturan wacana politik dan kebudayaan yang terjadi pada masa sebelim Revolusi Agustus 1945. Kalau sebelumnya benturan seputar bagaimana jalan untuk mengusir penjajah, maka setelah Revolusi Agustus adu gagasan berpusat pada pandangan apakah Revolusi sudah selesai atau belum.
Humanisme Universal sudah lama dikembangkan di Indonesia. Dengan ideologi estetika yang dibangun atas rumusan sekularisme, individualisme, dan komitmen terhadap kesetaraan untuk mewujudkan kemanusiaan universal, maka mereka  berhadapan dengan kelompok komunis dengan realisme sosialismenya. Perang wacana antara Humanisme Universal dengan sosialis mewarnai arena kebudayaan Indonesia tahun 1950-1965. Kedua pihak dengan argumen masiing-masing berusaha memenangkan kesadaran rakyat.semua saluran yang ada digunakan untuk berhadap-hadapan konsep dan gagasan. Salah satunya adalah lewat proyek penerjemahan. Ada du apenerbit dengan kutub politik yang berbeda yaitu yayasan pembangunan dan yayasan pembaharuan. Yayasan pembangunan merupakan penerbitan yang di komandani oleh Roh Nieuwenhuis. Penerbitan ini mempunyai dua program, yaitu menampilkan karya-karya Indonesia pada pembaca Eropa dan membanjiri masyarakat Indonesia dengan bacaan-bacaan dari Barat yang sesuai dengan gagasan Humanisme Universal. Sementar yayasan pembaharuan melakukan yang sebaliknya. Masing-masing kubu berusaha menampilkan jagoannya untuk menarik perhatian rakyat, sehingga dunia intelektual Indonesia riuh rendah dengan berbagai gagasan.
Buku ini secara luas sudah memberikan penjelasan tentang proses menjadi Indonesia. Kelebihan dari buku ini adalah dari cara pandangnya dan dari cara kerjanya. Dari cara pandangnya buku ini menggunakan perspektif dari luar jawa atau jakarta, melihat periode 1950an-1960an dengan cara keluar dari blokade bingkai peristiwa tragis 30 September 1965 dan mencari alternatif dengan sastra sebagai proses tunggal menjadi Indonesia pada waktu itu. Sementara dari cara kerjanya, buku ini ditulis melalui seni yang digunakan sebagi analisis kelas sosial.
Sementara kekurangan dari buku ini adalah msih kaburnya ulasan atas keterlibatan rakyat dalam aktivitas budaya yang dikaji, dan kaburnya pembentukan identitas sebagai proses budaya yang terbebas dari ideologi politik. Serta kurangnya pembahasan tentang keterlibatan tentara ( A ngkatan Darat ) dalam berbagai benturan tersebut. Padahal pada periode 1950-1965 tentara mempunyai peran yang penting. Dengan doktrin Dwi Fungsi mereka merambah berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Buku Ahli  Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965 mengajak kita pada masa ketika gagasan dan wacana masih dihargai. Ditengah hingar-bingar politik, benturan tersebut terjadi secara wajar. Sayang, masa itu dipupus oleh Kelahiran Orde Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar