Selasa, 30 April 2013

pokok-pokok gerilya - Hotoriografi pada masa revolusi


Hotoriografi pada masa revolusi di Indonesia diwarnai dengan tulisan-tulisan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa Nasionalisme masyarakat Indonesia. Salah satunya yaitu buku Pokok-Pokok Gerilya Dan Pertahanan Rebuplik Indonesia Di Masa Lalu Dan Yang Akan Datang, karangan A.H. Nasution. Pokok-pokok Gerilya menjelaskan tentang sejarah militer di Indonesia.
Setelah membaca buku Pokok-pokok Gerilya, Kita bisa membagi inti dari buku tersebut dalam 3 bagian, yaitu pada bagian awal penulis menjelaskan tentang pengertian perang gerilya dan bagaimana perang gerilya seharusnya dilaksanakan, serta  strategi dan taktik perang gerilya juga dijelaskan secara rinci. Menurut penulis, peperang dewasa ini merupakan perang rakyat semesta dimana perang tersebut melibatkan sektor militer, politik, psikologis, dan social-ekonomi. (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 1-76)
Bagian kedua, yaitu Gerilya dan Perang Kita yang Akan Datang. Pada bagian kedua, penulis menceritakan tentang bagaimana perang anti gerilya  dilaksanakan. Selain itu juga mengenai pimpinan dan pembangunan gerilya yang harus regional (Sifat “wehrkreise”). (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 77-112)
Bagian ketiga, yaitu Instruksi-instruksi Gerilya yang Terpenting 1948-1949. Pada bagian ini, menjelaskan mengenai instruksi-instruksi penting pelaksanaan perang gerilya pada tahun 1948-1949. Contohnya yaitu instruksi-instruksi pokok mengenai pemerintahan gerilya dan pertahanan rakyat di Jawa. (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 119-271)
Berdasarkan buku Pokok-pokok Gerilya tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri historiografi revolusi Indonesia yaitu:
1.      Sudut pandang penuliasannya Indonesia sentries
Sudut pandang dalam penulisan pokok-pokok gerilya ini menggunakan sudut pandang dari orang Indonesia. Hal tersebut terlihat dari rakyat Indonesia yang dijadikan sebagai subyek penulisan atau kajiannya, penulisan sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan Negara Indonesia. Penyebutan kata “tanah air” sebagai kata ganti “Indonesia” juga sering dijumpai dalam buku itu. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“ Berhubung keadaan geografis tanah air, yang luas dan terpisah-pisah, maka tentara kita yang sederhana dalam 10 รก 15 tahun yang akan datang, harus melakukan pertahanan yang regional. Maka pembangunan tentara pun dirancang sesuai dengan itu secara regional, meneruskan yang telah ada. Tiap-tiap darah, pada hakekatnya tiap suku bangsa, akan mempunyai resimennya untuk menghasilkan fanteri yang diperlukan buat tentara regular sederhana itu.” (Pokok-pokok Gerilya, 2010: 102)

2.      Perhatian berpusat pada Militer dan politik.
Keseluruhan buku ini membahas tentang perang gerilya. Pada tahun 1953 semangat revolusi kemerdekaan masih terasa sangat kuat. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“ Ideology, semangat kemerdekaan, menjadi sumber kekuatan dan kesanggupan untuk memulai peperangan melawan musuh yang kuat dan teratur dengan segala tentaranya. Kesanggupan untuk menyalakan peperangan rakyat semesta…”(Pokok-pokok Gerilya, 2010: 15)

3.      Perhatian berpusat pada tokoh atau bisa disebut berkisar pada kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan.
Perhatian penulisan historiografi revolusi kebanyakan berpusat pada tokoh-tokoh nasional Indonesia. Dalam buku ini sedikit banyak dipengaruhi oleh tokoh seperti Jendral Sudirman dan Pangeran Diponegoro, sering pula tokoh-tokoh tersebut dijadikan sebagai inspirator. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
“Jenderal Sudirman pernah mengisahkan bahwa waktu panglima Diponegoro diburu oleh Belanda, maka beliau lewat di depan sebuah pondok. Seorang perempuan segera menyapu bekas kudanya dan waktu musuh datang, tiada dapat diikuti lagi jejaknya dan tiada seorang pun yang “mengetahui”. (Pokok-pokok Gerilya, 2010:25)
Hal tersebut bisa membwerikan inspirasi atau pandangan bahwa kerjasama antara rakyat dan para gerilyawan sangat kompak untuk melaksanakan perang rakyat semesta.

4.      Penulisannya sudah menggunakan sumber yang otentik
Berbeda dengan historiografi tradisional yang sulit dibuktikan kebenarannya, penulisan historiografi revolusi ini sudah menggunakan fakta-fakta yang nyata serta didukung oleh penulisnya sendiri yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya lampiran-lampiran yang disertakan oleh A.H. Nasution dalam buku Pokok-Pokok Gerilnya ini.
5.      Tulisannya bertujuan untuk menunjukkan bahwa sejarah bisa digunakan untuk mengatasi masalah dimasa yang akan datang.
Seperti pendapat Edwar Gibbon, “Sejarah bertanggung jawab kepada masa lalu untuk masa depan”. Sejarah bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengatasi masalah dimasa yang akan datang. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai bagaimana proses antisipasi untuk melakukan perang seandainya Indonesia dihadapkan pada kondisi perang. Seperti yang dijelaskan oleh A.H. Nasution berikut;
... dan konsepsi perang gerilya dalam arti perang rakyat semesta yang juga tetap dipedomankan buat masa-masa yang akan datang, membawa corak yang tertentu pula bagi ketentaraan kita dimasa yang akan datang, sesuai dengan kodrat dari pertahanan yang sedemikian, yakni selaku perang ideologi rakyat”. (Pokok-pokok Gerilya, 2010:106)
Selain itu juga sudah dijelaskan oleh A.H. Nasution dalam kata pengantar bahwa prinsip perang gerilya tidak berubah, hanya coraknya yang berubah. Jadi pemikirannya tentang perang gerilya yang sudah dituangkan dalam buku Pokok-Pokok Gerilya ini masih tetap relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar