Selasa, 30 April 2013

Sekaten Sebagai Salah Satu Alat Dakwah Islam


Sekaten Sebagai Salah Satu Alat Dakwah Islam

A.     Sejarah Sekaten
Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa. Sekaten meliputi Sekaten Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan Garebeg di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman.[1]
Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadat. Istilah Syahadat yang diucapkan sebagai Syahadatain ini kemudian berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah Sekaten hingga sekarang.
Sekaten dimulai dari zaman Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh pelosok negeri. Namun, masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu sehingga Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan meyakini akan kebenaran Agama Islam.
Raden Patah pun mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan anatar Raden Patah dan Wali Songo tersebut membahas tentang bagaimana  menyebarkan ajaran Islam dimulai dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga memiliki usul tentang cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya keramaian, dalam agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati kepada para dewa. Keramaian kemudian digantikan dengan menghormati hari raya Islam. Karena orang Jawa menyukai seni musik, maka penghormatan terhadap Hari Raya Islam diberikan unsur musik seperti menabuh gamelan. Salah satunya yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di dalam masjid diadakan tabuh gamelan agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam.
Untuk keperluan itu, para Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati. Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Songo dan Raden Patah, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud dengan unsur gamelan. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datangke masjid dan melihat gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang kekerajaan untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapahari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah tenda di alun-alun untuk bermalam. Bupati menghadap raja beserta para rakyatnya mengiring raja kemasjid. Karena hal tersebut, maka muncul kata Garebeg yang berasal dari kata Anggrubyung yang berarti menggiring atau berkerumun.[2]
Orang-orang yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk mendengarkan pidato tentang ajaran Islam. Pidato itu berisi tentang dasar ajaran Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut. Kalimat syahadat merupakan kalimat yang dibaca seseorang ketika masuk Islam dan juga untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang masjid.24 Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja yang memerintah pada masa berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram.
Pada zaman Kerajaan Mataram hingga pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk kepentingan politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten bupati harus datang dengan menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada raja. Apabila bupati berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak kerajaan. Apabila bupati yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal tersebut dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.
Pada masa Kerajaan Mataram, selain untuk tujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kepentingan politik kerajaan, sekaten diadakan untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, sekaten juga memiliki peran dalam ekonomi karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten kemudian dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan untuk berdagang oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.[3]
B. Praktek Pelaksanaan Sekaten
Upacara sekaten dimulai saat kerajaan Islam bergeser ke Mataram dan ketika kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta), perayaan Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam. Perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain: pertama, dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang; kedua, peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat, dan ketiga, pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan irimg-iringan abdi dalem (punggawa keraton) bersama-sama dengan dua set gamelan jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal prajurit kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan samapai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam terakhir gamelan ini akan dibawa pulang kedalam keraton.
Acara puncak peringatan sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis dihari ulangtahun Nabi Muhammad SAW) mulai jam 08.00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bedogo/kompi) prajurit Kraton yaitu Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawitomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido’akan gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakatyang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sacral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau ladang agar agar swah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana atau malapetaka.
Dua hari sebelum acara grebeg muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan dihalaman istana magangan pada jam 16.00 sore. Upacara ini berupa klotekan atau permainan lagu dengan kentongan, lumpang untuk menumbuk padi, dan semacxamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan.
Puncak perayaan Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari, ditandi dengan dikeluarkannya gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Tepat pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW bertempat di Masjid Agung. Perayaan mauled nabi ini ditandai dengan pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
Sekaten adalah warisan budaya Islam yang tidak sebatas seremonial. Ada banyak nilai yang terkandung di dalamnya, dari mulai ketauladanan nabi dan keagungan ajarannya yang harus kita jadikan acuan hidup, hingga menjaga eksistensi budaya Islam yang tumbuh berdapingan dengan kebudayaan.
C. Sekaten dalam sudut pandang Islam
Dalam memperingati hari kelahiran seseorang termasuk kelahiran Nabi, tidak ada tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun perintah untuk mengadakannya.
Islam tidak melarang umatnya untuk melestarikan kebudayaan selama kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Begitu pula dengan budaya sekaten. Tidak ada larangan maupun perintah dalam al-Qur’an dan al-Hadis tentang budaya sekaten, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi untuk menetapkan hukum sekaten, yaitu ijtihad yang didasarkan
illah mashlahah. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun prakteknya sekarang ini, sekaten banyak mengandung unsur kemusyrikan yang bertentangan dengan prinsip Islam seperti keyakinan masyarakat bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan dianugerahi awet muda, gunungan
sesaji dan gamelan dapat memberi berkah, puasa pensucian diri yang tidak disyari’atkan Islam.[4]























Daftar pustaka:

  • Soelarto, B. 1995, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta , Kanisius : Yogyakarta
  • Soepanto dkk, 1884. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY : Yogyakarta
  • Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta
”,http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisisekatenandi-yogyakarta/.html, akses 11 Desember 2012, pukul 15.00 WIB
http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/nus-13.htm akses 11 Desember 2012, pukul 16.00 WIB
  • Wawancara dengan Bapak Slamet Musowir, BA anggota Pimpinan Cabamg Muhammadiyah Salaman.


[1] Soelarto, B. 1995, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta , Kanisius : Yogyakarta.hlm.15

[2] Ibid.
[3] Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta”,http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisisekatenandi-yogyakarta/.html
[4] Wawancara dengan Bapak Slamet Musowir, BA anggota Pimpinan Cabang Muhammadiyah Salaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar